Di atas batu yang membara, budak hitam terbakar punggungnya dengan siksa. Hanya seruan Ahad..ahad yang diucapkan.
Dia hanya menyatakan keimanannya tetapi tak meminta kebebasannya. Aku percaya penciptaku ada, aku tak meminta kebebasanku, aku hanya menyatakan keyakinanku. Ahad...ahad.
Dan ia pun memperoleh kemuliaan yang tak pernah dimintanya. Dan dari mulutnya yang mulia itulah kita selalu mengenangnya 5 waktu sehari.
Seorang budak yang menyatakan imannya, tetapi tak meminta kebebasannya mengajarkanku Ramadhan adalah wasilah manifestasi keimanan kita. Dan biarlah Ia mebalasnya.
Marhaban ya Ramadhan
Ahad...ahad...ahad.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Monday, August 9, 2010
Sunday, July 11, 2010
Thursday, June 17, 2010
Thursday, June 3, 2010
1000 Jawab
Sebuah tanya memecah sunyi
Benak tergelitik
Mata tertuju
Kesadaran menggeliat
Dan menunggu
Dan penasaran
Dan tak sabar
Tetapi jawab tak segera
Dia sengaja
Dia menjadi perhatian
Wajah-wajah penasaran
Wajah-wajah ingin tahu
Menatapnya dalam-dalam
Menelannya dalam fikir
Mengunci semua gerakannya dalam mata-mata yang fokus
Ia pun bersuara
Setiap tanya yang ada aku punya 1000 jawab untuknya
Dan ia pun bernarasi
Satu per satu hingga seribu
Saat ke seribu tiba sudah tak ada mata yang menatapnya
Saat ke seribu tiba ia hanya di dengar angin
Benak tergelitik
Mata tertuju
Kesadaran menggeliat
Dan menunggu
Dan penasaran
Dan tak sabar
Tetapi jawab tak segera
Dia sengaja
Dia menjadi perhatian
Wajah-wajah penasaran
Wajah-wajah ingin tahu
Menatapnya dalam-dalam
Menelannya dalam fikir
Mengunci semua gerakannya dalam mata-mata yang fokus
Ia pun bersuara
Setiap tanya yang ada aku punya 1000 jawab untuknya
Dan ia pun bernarasi
Satu per satu hingga seribu
Saat ke seribu tiba sudah tak ada mata yang menatapnya
Saat ke seribu tiba ia hanya di dengar angin
Apa Kabar Merdeka?
Dulu pejuang-pejuang itu berteriak merdeka
Agar nyali-nyalinya yang kecil tak membuatnya gentar
Agar semuanya merasa perjuangan itu ada
Agar musuh tahu kita meradang dan melawan
Dulu pejuang-pejuang itu merangkak dalam kegelapan
Bukan karena takut mati
Bukan karena takut terluka
Tetapi kemerdekaan itu perlu banyak jiwa
Dulu pejuang-pejuang itu melupakan lelah
Mulutnya terjaga dari mengeluh
Semangatnya terjaga dari luntur
Meskipun mereka tahu merdeka belum tentu untuk mereka
Apa kabar merdeka?
Agar nyali-nyalinya yang kecil tak membuatnya gentar
Agar semuanya merasa perjuangan itu ada
Agar musuh tahu kita meradang dan melawan
Dulu pejuang-pejuang itu merangkak dalam kegelapan
Bukan karena takut mati
Bukan karena takut terluka
Tetapi kemerdekaan itu perlu banyak jiwa
Dulu pejuang-pejuang itu melupakan lelah
Mulutnya terjaga dari mengeluh
Semangatnya terjaga dari luntur
Meskipun mereka tahu merdeka belum tentu untuk mereka
Apa kabar merdeka?
Wednesday, June 2, 2010
Teriakan Sang Jendral
Seorang Jendral berteriak memacu semangat prajurit-prajuritnya untuk mendaki bukit kemenangan...
'Kemenangan sudah di depan mata kita'
'Kemenangan sudah tak akan lari ke musuh kita'
'Genggam kuat-kuat, kita sedang tak bermimpi'
'Ini realita yang harus kita terima'
'Hayo... jangan padamkan semangatmu'
'Berdiri di samping ku untuk merasakan hebatnya perjuangan'
'Berdiri di samping ku, temani aku mengibarkan bendera kita'
Sang Jendral memang sudah di puncak bukit kemenangan, meskipun hanya seorang diri dia tersenyum optimis. Dilihatnya prajurit-prajurit yang tak kenal lelah itu mendaki dengan pasti menyusulnya. Rintangan demi rintangan telah dilalui, dan ia tahu bahwa ia tak akan pernah sendiri.
'Darah kita adalah darah pejuang'
'Dia mengalirkan api-api semangat yang tak boleh padam'
'Selama kita berdegup'
'Selama kita berkedip
'Selama kita mendengar'
'Selama kita melangkah'
'Biarkan...biarkan....'
'Hayo... daki dan taklukkan bukit ini'
Tersenyum dan tersenyum ia kegirangan, kini sudah banyak yang menemaninya di bukit yang sepi itu. Sekarang tidak hanya dia yang dapat melihat indahnya kemenangan. Ia sudah mempunyai banyak teman di atas bukit itu, dan semuanya merasakan apa yang ia rasakan, melihat apa yang ia lihat. Dan itulah kemenangan yang ia idam-idamkan. Meskipun masih banyak bukit lagi yang perlu ditaklukkan.
Ia pun berbisik pada angin yang menghampiri:
Merdeka !
'Kemenangan sudah di depan mata kita'
'Kemenangan sudah tak akan lari ke musuh kita'
'Genggam kuat-kuat, kita sedang tak bermimpi'
'Ini realita yang harus kita terima'
'Hayo... jangan padamkan semangatmu'
'Berdiri di samping ku untuk merasakan hebatnya perjuangan'
'Berdiri di samping ku, temani aku mengibarkan bendera kita'
Sang Jendral memang sudah di puncak bukit kemenangan, meskipun hanya seorang diri dia tersenyum optimis. Dilihatnya prajurit-prajurit yang tak kenal lelah itu mendaki dengan pasti menyusulnya. Rintangan demi rintangan telah dilalui, dan ia tahu bahwa ia tak akan pernah sendiri.
'Darah kita adalah darah pejuang'
'Dia mengalirkan api-api semangat yang tak boleh padam'
'Selama kita berdegup'
'Selama kita berkedip
'Selama kita mendengar'
'Selama kita melangkah'
'Biarkan...biarkan....'
'Hayo... daki dan taklukkan bukit ini'
'Berdiri di samping ku untuk merasakan hembusan kemenangan'
'Berdiri di samping ku, temani aku mengibarkan bendera kita'
Tersenyum dan tersenyum ia kegirangan, kini sudah banyak yang menemaninya di bukit yang sepi itu. Sekarang tidak hanya dia yang dapat melihat indahnya kemenangan. Ia sudah mempunyai banyak teman di atas bukit itu, dan semuanya merasakan apa yang ia rasakan, melihat apa yang ia lihat. Dan itulah kemenangan yang ia idam-idamkan. Meskipun masih banyak bukit lagi yang perlu ditaklukkan.
Ia pun berbisik pada angin yang menghampiri:
Merdeka !
Sunday, May 30, 2010
Berjuang
Rasa ini menyekat fikir ku
Rasa ini membekukan ku
Rasa ini mengunci seluruh diriku
Entah mesti kupanggil apa rasa ini
Mungkin kupanggil malas, padahal aku semangat berapi-api
Mungkin kupanggil tak berdaya, tapi aku meronta
Pada pikir ke-2 aku merasa tak berdaya adalah nama yang tepat
Dan aku pun menamai rasa ini Tak Berdaya
Ku kumpulkan semua daya yang kupunya
Ku kumpulkan semua energi yang ada
Hingga sekat-sekat di fikir ku terusir
Hingga kebekuanku mencair
Hingga seluruh diriku bebas
Entah mesti kupanggil apa kerja ini
Mungkin kupanggil memberontak, padahal aku mematuhi aturan
Mungkin kupanggil perjuangan, tetapi aku sudah merdeka
Pada pikir ke-2 rasanya Berjuang adalah nama yang tepat
Dan aku pun Berjuang untuk mengalahkan Tak Berdaya yang bersemayam
Merdeka.....!
Rasa ini membekukan ku
Rasa ini mengunci seluruh diriku
Entah mesti kupanggil apa rasa ini
Mungkin kupanggil malas, padahal aku semangat berapi-api
Mungkin kupanggil tak berdaya, tapi aku meronta
Pada pikir ke-2 aku merasa tak berdaya adalah nama yang tepat
Dan aku pun menamai rasa ini Tak Berdaya
Ku kumpulkan semua daya yang kupunya
Ku kumpulkan semua energi yang ada
Hingga sekat-sekat di fikir ku terusir
Hingga kebekuanku mencair
Hingga seluruh diriku bebas
Entah mesti kupanggil apa kerja ini
Mungkin kupanggil memberontak, padahal aku mematuhi aturan
Mungkin kupanggil perjuangan, tetapi aku sudah merdeka
Pada pikir ke-2 rasanya Berjuang adalah nama yang tepat
Dan aku pun Berjuang untuk mengalahkan Tak Berdaya yang bersemayam
Merdeka.....!
Friday, May 28, 2010
Kenangan
Kenangan yang tak terduga itu muncul menghancurkan jemu yang mengikat, padahal telah terpendam dan terbenam di dasar laut memori masa kecil. Kenangan itu memberikan bunga-bunga rasa entah namanya apa, padahal aku sudah menua, melaju jauh dari waktu itu.
Kesendirianku ternyata sudah terusir. Senyum-senyum kecil menemaniku memberikan meriah, bahkan ia sangat akrab denganku diwaktu ini. Apakah ini kegilaan, buah dari kejemuan yang tiba-tiba terpangkas. Tercabut begitu saja, berikut akar-akarnya yang ternyata dalam tertanam. Dan tanaman jemu itu pun segera tergantikan dengan tunas-tunas kenangan.
Tunas-tunas itu tumbuh begitu cepat memenuhi semua ruang yang ada. Membuatku terkadang terpingkal-pingkal, membuatku terkadang sedih , ah rasa-rasa itu terkadang silih berganti, meskipun sekilas, hanya sekelebat, hanya sepersekian detik, berlomba mengisi jiwaku.
Ternyata aku sudah menua. Menua yang kusadari ternyata bermakna kaya, kaya dengan kenangan, kaya dengan rasa, kaya dengan emosi, dan semuanya adalah aku di saat ini.
Kesendirianku ternyata sudah terusir. Senyum-senyum kecil menemaniku memberikan meriah, bahkan ia sangat akrab denganku diwaktu ini. Apakah ini kegilaan, buah dari kejemuan yang tiba-tiba terpangkas. Tercabut begitu saja, berikut akar-akarnya yang ternyata dalam tertanam. Dan tanaman jemu itu pun segera tergantikan dengan tunas-tunas kenangan.
Tunas-tunas itu tumbuh begitu cepat memenuhi semua ruang yang ada. Membuatku terkadang terpingkal-pingkal, membuatku terkadang sedih , ah rasa-rasa itu terkadang silih berganti, meskipun sekilas, hanya sekelebat, hanya sepersekian detik, berlomba mengisi jiwaku.
Ternyata aku sudah menua. Menua yang kusadari ternyata bermakna kaya, kaya dengan kenangan, kaya dengan rasa, kaya dengan emosi, dan semuanya adalah aku di saat ini.
Thursday, May 27, 2010
Pengelana Khayal (2) - Istana Rembulan
Malam ini kucoba melenakan diri
Untuk tenggelam dalam khayalku
Tetapi kucari-cari entah kemana ia pergi
Berbagai sudut pikiran kutelusuri
Berbagai gelombang emosi kuarungi
Tak jua kutemui
Bagaimana malam ini harus kulalui...
aku sang pengelana khayal
Yang tak pernah merasa hidup tanpa khayalan
Yang dalam jemu jika tak berkhayal
Hingga penat itu hinggap
Kepenatan kulepaskan sejenak ke sungai
Ikan-ikan pesut di sungai itu terlalu kusam
Bahkan sungai yang bening itu menjadi suram
Kepenatan kulepaskan sejenak ke angkasa
Malam dengan bintang
Malam dengan rembulan
Terlalu sama
Terlalu seragam dengan yang lalu
Khayalku yang mati tak memberinya warna
Waktu yang berlalu pun menawanku memberi bosan
Tetapi ia membebaskan khayalku
Aku pun mendekati waktu untuk menawanku malam ini
Waktu tawanlah aku...waktu tawanlah aku
Ternyata ia mendengar
Dan angkasa penuh dengan peri-peri yang menari-nari
Serbuk-serbuk terbang milik Peter Pan memandikanku
Ringan sekujur tubuh membumbung tinggi
Bercakap-cakap dengan peri-peri itu
Yang akunya lebih sering mendengar dan mereka bercerita
Mendengarkan mereka indahnya angkasa dan semesta
Mendengarkan mereka indahnya negeri-negeri yang ada di bumi
Mendengarkan mereka indahnya istana-istana yang pernah ada
Mataku berbinar-binar mendengar
Hatiku mencerah dari kesuraman
Ikan-ikan pesut dan air sungai yang kupandang pun begitu sekali
Begitu menghidupkan
Begitu membunuh kejemuan
Suasana ini pun segera kurekam dalam benakku
Tetapi peri-peri itu segera menarik perhatianku
Dikenakannya sepatu awan di kedua kakiku
Mereka hanya memberi isyarat diam padaku
Mereka hanya memintaku memejamkan mata
Istana indah di rembulan membuatku nanar
Berlian-berlian yang pernah ada terkalahkan kilaunya
Menara-menaranya menjulang megah
Menara utara berwarna biru benhur yang bening
Menara selatan berwarna hijau pualam yang teduh
Menara timur berwarna merah delima yang menyemangatkan
Menara barat berwarna violet yang menawan
Pemandangan yang melenakan mata
Dan kubiarkan tubuhku merebahkan diri di dalamnya
Di atas pualam yang memberi sejuk tak terhenti
Aku pun berbisik pada waktu
Waktu tawanlah aku... waktu tawanlah aku
Ia pun masih mau mendengar
Untuk tenggelam dalam khayalku
Tetapi kucari-cari entah kemana ia pergi
Berbagai sudut pikiran kutelusuri
Berbagai gelombang emosi kuarungi
Tak jua kutemui
Bagaimana malam ini harus kulalui...
aku sang pengelana khayal
Yang tak pernah merasa hidup tanpa khayalan
Yang dalam jemu jika tak berkhayal
Hingga penat itu hinggap
Kepenatan kulepaskan sejenak ke sungai
Ikan-ikan pesut di sungai itu terlalu kusam
Bahkan sungai yang bening itu menjadi suram
Kepenatan kulepaskan sejenak ke angkasa
Malam dengan bintang
Malam dengan rembulan
Terlalu sama
Terlalu seragam dengan yang lalu
Khayalku yang mati tak memberinya warna
Waktu yang berlalu pun menawanku memberi bosan
Tetapi ia membebaskan khayalku
Aku pun mendekati waktu untuk menawanku malam ini
Waktu tawanlah aku...waktu tawanlah aku
Ternyata ia mendengar
Dan angkasa penuh dengan peri-peri yang menari-nari
Serbuk-serbuk terbang milik Peter Pan memandikanku
Ringan sekujur tubuh membumbung tinggi
Bercakap-cakap dengan peri-peri itu
Yang akunya lebih sering mendengar dan mereka bercerita
Mendengarkan mereka indahnya angkasa dan semesta
Mendengarkan mereka indahnya negeri-negeri yang ada di bumi
Mendengarkan mereka indahnya istana-istana yang pernah ada
Mataku berbinar-binar mendengar
Hatiku mencerah dari kesuraman
Ikan-ikan pesut dan air sungai yang kupandang pun begitu sekali
Begitu menghidupkan
Begitu membunuh kejemuan
Suasana ini pun segera kurekam dalam benakku
Tetapi peri-peri itu segera menarik perhatianku
Dikenakannya sepatu awan di kedua kakiku
Mereka hanya memberi isyarat diam padaku
Mereka hanya memintaku memejamkan mata
Istana indah di rembulan membuatku nanar
Berlian-berlian yang pernah ada terkalahkan kilaunya
Menara-menaranya menjulang megah
Menara utara berwarna biru benhur yang bening
Menara selatan berwarna hijau pualam yang teduh
Menara timur berwarna merah delima yang menyemangatkan
Menara barat berwarna violet yang menawan
Pemandangan yang melenakan mata
Dan kubiarkan tubuhku merebahkan diri di dalamnya
Di atas pualam yang memberi sejuk tak terhenti
Aku pun berbisik pada waktu
Waktu tawanlah aku... waktu tawanlah aku
Ia pun masih mau mendengar
Monday, May 24, 2010
Tataplah Mataku
Jika kejujuran yang kau cari
Jika kebenaran yang kau cari
Tataplah mataku
Tataplah mataku lekat-lekat
Dengan semua nyalimu
Dengan semua energimu
Tataplah mataku
Tataplah mataku jangan kau lepas
Genggamlah ia di jiwamu
Citrakanlah ia di benakmu
Tataplah mataku
Tataplah mataku jangan kau lupa
Sekiranya ragu padaku
Sekiranya sangsi pada lidahku
Tataplah mataku
Bila waktu yang mengalir memberimu sendiri
Padahal engkau punya aku nun jauh di sana
Menatapku tak mungkin jua
Tunggulah kerlip bintang di Utara
Itulah aku yang memandangmu
Tataplah mataku
Jika kebenaran yang kau cari
Tataplah mataku
Tataplah mataku lekat-lekat
Dengan semua nyalimu
Dengan semua energimu
Tataplah mataku
Tataplah mataku jangan kau lepas
Genggamlah ia di jiwamu
Citrakanlah ia di benakmu
Tataplah mataku
Tataplah mataku jangan kau lupa
Sekiranya ragu padaku
Sekiranya sangsi pada lidahku
Tataplah mataku
Bila waktu yang mengalir memberimu sendiri
Padahal engkau punya aku nun jauh di sana
Menatapku tak mungkin jua
Tunggulah kerlip bintang di Utara
Itulah aku yang memandangmu
Tataplah mataku
Tak Perlu Dimengerti
Malam yang dingin ini ia tak mau bercermin.
Cermin membuatnya malu terhadap dirinya.
Jiwanya menolak apa yang dilihatnya.
Pagi yang cerah ini tetap tak mengusiknya untuk bercermin.
Meskipun dia tetap menyisir rambutnya yang indah itu.
Ia tetap tak mau melihat dirinya.
Ternyata bukan karena mentari, pagi, siang, dan malam, ia pun masih tak mau bercermin.
Ia sudah tak berselera melihat dirinya sendiri.
Ia sudah tak peduli pada tampilan dirinya sendiri.
Dunia sudah tak memberi tempat untuknya.
Ia pun tak memberi tempat untuk dirinya sendiri.
Meskipun itu di dalam cermin.
Cermin membuatnya malu terhadap dirinya.
Jiwanya menolak apa yang dilihatnya.
Pagi yang cerah ini tetap tak mengusiknya untuk bercermin.
Meskipun dia tetap menyisir rambutnya yang indah itu.
Ia tetap tak mau melihat dirinya.
Ternyata bukan karena mentari, pagi, siang, dan malam, ia pun masih tak mau bercermin.
Ia sudah tak berselera melihat dirinya sendiri.
Ia sudah tak peduli pada tampilan dirinya sendiri.
Dunia sudah tak memberi tempat untuknya.
Ia pun tak memberi tempat untuk dirinya sendiri.
Meskipun itu di dalam cermin.
Sunday, May 23, 2010
Mentari dan Kopi
Sehangat pagi di saat dhuha, hati ini merasa sehat. Memandang ke belakang tidaklah memberi kuat. Sakit yang ada, pedih yang meradang, demam yang singgah, semua adalah lalu yang harus kusekat.
Kuhirup secangkir kopi memberi bau optmis yang lekat. Otakku memberi sinyal rileks, laraku yang lalu pun pelan-pelan dikerat. Mentari dan kopi kolaborasi yang tepat. Menikmatinya dengan seksama, membekas dihati, memberi semangat. Dan hari pun terasa cerah tak pucat.
Langkah kakiku hari ini terasa mantap. Cahaya, memberi terang, mengusir gelap. Arah yang dituju sudah kutatap. Halangan dan rintangan tak akan membuat kalap. Sabar, kebranian, dan keyakinan adalah bekal, jangan sampai silap.
Kolaborasi mentari dan kopi memang luar biasa.
Kuhirup secangkir kopi memberi bau optmis yang lekat. Otakku memberi sinyal rileks, laraku yang lalu pun pelan-pelan dikerat. Mentari dan kopi kolaborasi yang tepat. Menikmatinya dengan seksama, membekas dihati, memberi semangat. Dan hari pun terasa cerah tak pucat.
Langkah kakiku hari ini terasa mantap. Cahaya, memberi terang, mengusir gelap. Arah yang dituju sudah kutatap. Halangan dan rintangan tak akan membuat kalap. Sabar, kebranian, dan keyakinan adalah bekal, jangan sampai silap.
Kolaborasi mentari dan kopi memang luar biasa.
Saturday, May 22, 2010
Jejak Cinta
Telah kutinggalkan jejakku dalam hidupmu. Mungkin kelak engkau ingin mengenangnya. Sedih atau tawa engkau yang memilikinya. Biarkan atau lupakan atau kau perkaya terserah padamu. Engkau yang memutuskan. Matikan ragumu, matikan sangsimu. Jangan pernah kelam dan gelap yang kubuat menjatuhkamu. Maaf.... Majulah, lajulah, aku selalu memberimu jendela yang terbuka untuk kau tengok berulangkali, dari jejakku yang ada di hatimu. Semoga suatu hari nanti engkau mengerti. Semoga suatu hari nanti engkau membuka jendela itu. Dan engkau menemukan di situ lah indahnya cintaku.
Friday, May 21, 2010
Lelaki dan Bayangan (2)
Pagi yang indah pun datang. Mentari memberinya keceriaan. Sinarnya menyusup dari kaca jendela kamarnya. Bayangan dirinya mulai jelas terlihat. Lelaki itu pun tersenyum padaku. Percakapanku dengannya semalam sudah dilupakannya. Ia kembali asyik menatap bayangannya dan mengajakku berbicara. Ia ceritakan isi hatinya yang menyimpan gundah gulana. Ia ceritakan rasa pesimis yang mengunci masa depannya. Ia tidak menangis, tetapi ia sangat sedih.
Istrinya yang cantik jelita itu mendesah menatap kami. Langkah kakinya menghampiri jendela dan menutup tirai, ia membunuhku. Lelaki itu sedih melihat tak ada bayangannya di kamar. Ia pun memalingkan muka tak mengajak bicara. Istrinya berusaha membuka interaksi. Dicobanya beberapa kata pembuka. Tetapi lelaki itu melukainya dengan diam yang tajam. Dan mengena dengan telak, hingga meneteslah beberapa tetes air mata. Hangat matanya, perih hatinya.
Hingga malam yang bertugas dan siang pun pergi beristirahat. Lelaki itu menatap tembok di atas pembaringannya. Membalas tindakannya pagi tadi dan pagi-pagi sebelumnya, setiap saat kami tertangkap basah. Istrinya hanya menangis, membiarkan air matanya membanjiri bantal. Kesedihan rupanya memenjarakan hidup mereka. Tepatnya sejak dua tahun lalu. Saat itulah ia akrab denganku. Tepat saat sehari setelah bulan madu mereka. Dimana ia harus mengenakan kursi roda, karena kecelakaan yang menimpanya.
Ia tak mau mengakrabi istrinya, istrinya tak mau meninggalkannya. Meskipun ia sangat terluka, oleh sikap-sikap diam yang tajam. Lelaki itu bergumam kepada tembok 'aku hanya memiliki bayangan, tetapi istriku berulangkali membunuhnya'. Istrinya terdiam sejenak, kalimat yang sama yang didengarnya berulangkali. Ia menatap punggung yang membelakanginya. Punggung orang yang ia cintai sepenuhnya. Punggung orang yang tak ingin berbagi duka dengannya. Punggung orang yang ingin mengusir dirinya dari kehidupannya.
Bingung sejenak, ingin ia berkata-kata. Kata-katanya telah dikalahkan oleh bayangan. Hatinya terlalu luka oleh diam-diam yang tajam. Ia ingin mengakhiri semua ini. Ia ingin menghancurkan tembok tak kasat mata diantara mereka. Bagaimana caranya? Malam itu ia berjuang kembali, melawan lukanya. Malam itu tekadnya sudah membaja.
Tiba-tiba istri yang cantik jelita itu berkata nyaring. 'Suamiku aku mencintaimu'. Kenyaringan dengan perih mendalam dengan nada getir. Dipeluknya suaminya secara kasar. Lelaki itu hanya diam. Tidak memberi tanda. Bahkan ketika perih di pundak kanannya terasa. Ada darah yang mengalir. Istrinya menggigit dalam-dalam pundaknya, hingga luka. 'Suamiku jika engkau melihat hatiku, lukanya lebih dalam dari lukamu. Suamiku jika engkau merasa perih, perihnya jiwaku lebih perih dari perihmu. Aku mencintaimu apa adanya'. Dan pelukkan itu mengerat, seperti simpul mati pada badannya. Lelaki itu menangis, tangisan pertama sejak dua tahun lalu.
Hening...sangat hening...sedih pun terpecahkan dengan dua pasang mata yang basah. Detik yang melaju memberi suara dari dinding. Entah berapa ribu ia melaju. Hingga sang lelaki itu membalikkan badannya. Mengucapkan kalimat pertama sejak ia membisu, 'aku hanya memilikimu'.
Istrinya yang cantik jelita itu mendesah menatap kami. Langkah kakinya menghampiri jendela dan menutup tirai, ia membunuhku. Lelaki itu sedih melihat tak ada bayangannya di kamar. Ia pun memalingkan muka tak mengajak bicara. Istrinya berusaha membuka interaksi. Dicobanya beberapa kata pembuka. Tetapi lelaki itu melukainya dengan diam yang tajam. Dan mengena dengan telak, hingga meneteslah beberapa tetes air mata. Hangat matanya, perih hatinya.
Hingga malam yang bertugas dan siang pun pergi beristirahat. Lelaki itu menatap tembok di atas pembaringannya. Membalas tindakannya pagi tadi dan pagi-pagi sebelumnya, setiap saat kami tertangkap basah. Istrinya hanya menangis, membiarkan air matanya membanjiri bantal. Kesedihan rupanya memenjarakan hidup mereka. Tepatnya sejak dua tahun lalu. Saat itulah ia akrab denganku. Tepat saat sehari setelah bulan madu mereka. Dimana ia harus mengenakan kursi roda, karena kecelakaan yang menimpanya.
Ia tak mau mengakrabi istrinya, istrinya tak mau meninggalkannya. Meskipun ia sangat terluka, oleh sikap-sikap diam yang tajam. Lelaki itu bergumam kepada tembok 'aku hanya memiliki bayangan, tetapi istriku berulangkali membunuhnya'. Istrinya terdiam sejenak, kalimat yang sama yang didengarnya berulangkali. Ia menatap punggung yang membelakanginya. Punggung orang yang ia cintai sepenuhnya. Punggung orang yang tak ingin berbagi duka dengannya. Punggung orang yang ingin mengusir dirinya dari kehidupannya.
Bingung sejenak, ingin ia berkata-kata. Kata-katanya telah dikalahkan oleh bayangan. Hatinya terlalu luka oleh diam-diam yang tajam. Ia ingin mengakhiri semua ini. Ia ingin menghancurkan tembok tak kasat mata diantara mereka. Bagaimana caranya? Malam itu ia berjuang kembali, melawan lukanya. Malam itu tekadnya sudah membaja.
Tiba-tiba istri yang cantik jelita itu berkata nyaring. 'Suamiku aku mencintaimu'. Kenyaringan dengan perih mendalam dengan nada getir. Dipeluknya suaminya secara kasar. Lelaki itu hanya diam. Tidak memberi tanda. Bahkan ketika perih di pundak kanannya terasa. Ada darah yang mengalir. Istrinya menggigit dalam-dalam pundaknya, hingga luka. 'Suamiku jika engkau melihat hatiku, lukanya lebih dalam dari lukamu. Suamiku jika engkau merasa perih, perihnya jiwaku lebih perih dari perihmu. Aku mencintaimu apa adanya'. Dan pelukkan itu mengerat, seperti simpul mati pada badannya. Lelaki itu menangis, tangisan pertama sejak dua tahun lalu.
Hening...sangat hening...sedih pun terpecahkan dengan dua pasang mata yang basah. Detik yang melaju memberi suara dari dinding. Entah berapa ribu ia melaju. Hingga sang lelaki itu membalikkan badannya. Mengucapkan kalimat pertama sejak ia membisu, 'aku hanya memilikimu'.
Labels:
bayangan,
cerita absurd,
cerita cinta,
cerita puitis
Lelaki dan Bayangan
Lelaki itu datang padaku. Mengeluhkan hidupnya dengan hartanya. Katanya 'aku tak punya apa-apa, selain bayanganku'. Ia menatapku dengan 1000 makna. Dibiarkannnya diriku mencerna kata-katanya. Tetapi aku hanya memberinya diam tanpa bahasa. Dan aku juga memberikannya telingaku untuk mendengar.
Saat itu malam sedang bertugas. Aku dan dia ditemani beberapa lampu. Dia tertawa dan menunjuk-nunjuk bayangannya.'Lihat-lihatlah itu...itulah hartaku satu-satunya'. Dia kembali menatapku, di berikannya wajah sedih yang teramat sedihnya padaku. Menarik nafaslah ia berulangkali. Berusaha mengusir energi negatif yang menguasainya. Mendesah...mendesah...sedih...sedih. Aku bingung dengan situasi ini. Ingin lari darinya saat itu juga. Dan membiarkannya tertawa sendiri. Tapi ingin itu kubuang segera.
Lelaki didepanku ini kukenal serba kecukupan. Harta bukanlah isu baginya, tetapi ia mengeluhkannya padaku. Ah...aku pun belum menangkap maksudnya.
'Aku hanya punya bayangan, kemana aku pergi aku tak mau gelap merampasnya. Ia hartaku satu-satunya'. Ia menatap lampu yang menemani kami dengan sangat mesra. Sekiranya istrinya melihat ini, ia pasti sudah memutilasi lampu itu. Padahal lampu itu hanya memberinya bayangan, tidak lebih dari itu. Dan ia pun menatap mesra lampu itu. Senangnya muncul dari senyumnya. Ia pun menarik bibirnya dengan sepenuh hati. Seolah-olah sedih sudah pergi.
Aku menatapnya dengan seribu tanya. Gusar dengan tingkah lakunya. Gusar dengan sikapnya. Kuusik dia dengan tanya yang sekedarnya: 'Lalu kalau kau dikubur apa yang kau punya?'. Dia pun berkata 'Ah bahkan bayangan pun aku tak punya'. Ia pun sedih kembali. Menatapku dan menatapku. Dimatikannya lampu itu, dimatikannya aku. Dan ia pun sendiri dalam gelap, tanpa lampu, dan tanpa aku.
Saat itu malam sedang bertugas. Aku dan dia ditemani beberapa lampu. Dia tertawa dan menunjuk-nunjuk bayangannya.'Lihat-lihatlah itu...itulah hartaku satu-satunya'. Dia kembali menatapku, di berikannya wajah sedih yang teramat sedihnya padaku. Menarik nafaslah ia berulangkali. Berusaha mengusir energi negatif yang menguasainya. Mendesah...mendesah...sedih...sedih. Aku bingung dengan situasi ini. Ingin lari darinya saat itu juga. Dan membiarkannya tertawa sendiri. Tapi ingin itu kubuang segera.
Lelaki didepanku ini kukenal serba kecukupan. Harta bukanlah isu baginya, tetapi ia mengeluhkannya padaku. Ah...aku pun belum menangkap maksudnya.
'Aku hanya punya bayangan, kemana aku pergi aku tak mau gelap merampasnya. Ia hartaku satu-satunya'. Ia menatap lampu yang menemani kami dengan sangat mesra. Sekiranya istrinya melihat ini, ia pasti sudah memutilasi lampu itu. Padahal lampu itu hanya memberinya bayangan, tidak lebih dari itu. Dan ia pun menatap mesra lampu itu. Senangnya muncul dari senyumnya. Ia pun menarik bibirnya dengan sepenuh hati. Seolah-olah sedih sudah pergi.
Aku menatapnya dengan seribu tanya. Gusar dengan tingkah lakunya. Gusar dengan sikapnya. Kuusik dia dengan tanya yang sekedarnya: 'Lalu kalau kau dikubur apa yang kau punya?'. Dia pun berkata 'Ah bahkan bayangan pun aku tak punya'. Ia pun sedih kembali. Menatapku dan menatapku. Dimatikannya lampu itu, dimatikannya aku. Dan ia pun sendiri dalam gelap, tanpa lampu, dan tanpa aku.
Labels:
bayangan,
cerita absurd,
cerita cinta,
cerita puitis
Wednesday, May 19, 2010
Malam ini Cinta Gratis
Malam ini tuan cinta gratis
Cukup kau kecup bibir nya
Kau peluk dirinya
Orang yang telah kau ikat jiwanya di depan penghulu
Malam ini tuan cinta gratis
Cukup kau tatap dalam-dalam wajah-wajahnya
Sepenuh rasa, sepenuh doa
Jiwa-jiwa yang kau panggil ayah dan bunda
Malam ini tuan cinta gratis
Cukup sujud di atas sajadah
Meminta pada Nya
Benar tuan mintalah pada Nya cinta
Semoga tuan mendapatkannya gratis
Cukup kau kecup bibir nya
Kau peluk dirinya
Orang yang telah kau ikat jiwanya di depan penghulu
Malam ini tuan cinta gratis
Cukup kau tatap dalam-dalam wajah-wajahnya
Sepenuh rasa, sepenuh doa
Jiwa-jiwa yang kau panggil ayah dan bunda
Malam ini tuan cinta gratis
Cukup sujud di atas sajadah
Meminta pada Nya
Benar tuan mintalah pada Nya cinta
Semoga tuan mendapatkannya gratis
Labels:
cinta,
gratis,
malam,
puisi,
puisi absurd,
puisi cinta
Tuesday, May 18, 2010
Tuan Penyair
Tuan penyair penamu menghantam keras wajahku
Membuatku malu tertunduk di sudut netral
Aku pun jatuh dalam hitungan ke-10
Tak berani aku bertarung lagi
Tuan penyair penamu tajam mengiris hati
Membuatku bersedih tanpa bisa berhenti
Membaca karya mu aku hanya bisa melongo dengan air mata
Pedih dan perih sekali kata-katanya
Bukan mengenai harga diriku
Tetapi ceritanya itu aku nggak ku ku...
Tuan penyair penamu membius fikirku
Sadarku terbang dalam alam imajinasi yang tak pernah kupijak
Bukan hanya sekedar wisata fikir
Tetapi juga mengolahnya dan membiarkannya menyerap gizi yang ada
Tuan penyair aku minta ampun
Penamu sudah mengoyak-ngoyak diriku
Diriku membaca karyamu menjadi diri yang lain
Apakah engkau berani bertanggung jawab atas ulahmu?
Tuan penyair aku tidak meminta engkau menikahiku
Hanya tanggung jawab yang kupinta
Membuatku malu tertunduk di sudut netral
Aku pun jatuh dalam hitungan ke-10
Tak berani aku bertarung lagi
Tuan penyair penamu tajam mengiris hati
Membuatku bersedih tanpa bisa berhenti
Membaca karya mu aku hanya bisa melongo dengan air mata
Pedih dan perih sekali kata-katanya
Bukan mengenai harga diriku
Tetapi ceritanya itu aku nggak ku ku...
Tuan penyair penamu membius fikirku
Sadarku terbang dalam alam imajinasi yang tak pernah kupijak
Bukan hanya sekedar wisata fikir
Tetapi juga mengolahnya dan membiarkannya menyerap gizi yang ada
Tuan penyair aku minta ampun
Penamu sudah mengoyak-ngoyak diriku
Diriku membaca karyamu menjadi diri yang lain
Apakah engkau berani bertanggung jawab atas ulahmu?
Tuan penyair aku tidak meminta engkau menikahiku
Hanya tanggung jawab yang kupinta
Projek Rambut Hijau (2) - Danau yang Menenangkan
Ihsan menggerakkan tubuhnya yang meringkuk dalam selimut, sejenak mematikan AC yang menggigiti kulit dan memberinya bekas dingin di wajah. Setelah diselesaikannya sholat subuh dengan segera, ia pun melangkah ke arah balkon di depan kamar tidurnya di lantai dua. Ia menarik nafas memenuhi paru-parunya dengan kesegaran, sengaja ia memperpelan degup jantungnya. Menghirup udara segar dalam-dalam, mengeluarkannya sedikit demi sedikit, dan mebiarkan sebagian terperangkap, mengulanginya lagi, hingga ia merasa sangat-sangat relaks dan segar. Ia menatap gelap yang perlahan-lahan pergi, dan temaram pagi, dan matahari pun bersinar dengan cerahnya. Semuanya ia saksikan dan dinikmatinya dari balkon, ia pun merasa segar dengan semua itu. Gelap yang pergi seolah-olah melarikan kepenatannya. Pagi yang cerah memberinya sugesti energi yang meluap-luap, hendak ia salurkan di pagi ini.
Entah apa yang mendorongnya untuk berjalan-jalan, apakah kejemuannya pada rumah, ataukah inspirasinya yang sudah mengering,ataukah dua hal itu yang sedang terjadi pada dirinya. Sudah setahun lamanya ia tinggal di lingkungan itu, tetapi ia belum terlalu dekat dengan tetangga-tetangganya. Hari itu ia bertekad untuk mencoba menceburkan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia menegur tukang-tukang sayur yang ada, mencoba berbasa-basi sedikit, meskipun beli pun tidak. Dikumpulkan keterangan tentang siapa saja tetangga-tetangganya. Informasi itu disimpan rapi dalam otaknya. Saat ini tak mungkin ia bertamu, tetapi malamnya mungkin saja. Ia pun terus berjalan-jalan menikmati pagi, tak berapa lama dia bertemu dengan pasangan-pasangan tua yang asyik berjoging. Ia pun mencoba menyamakan arah dan menyapa mereka. Ihsan sangat pandai melarutkan suasana, hingga ia pun berkenalan dengan beberapa.
Bahkan sepasang suami-istri, Pak Mulya dan Ibu Monika mengundangnya untuk mampir ke rumah mereka. Ihsan pun menyambut gembira tawaran itu, ternyata tak harus menunggu malam untuk bertamu. Hatinya yang sedang tak mampu berkarya, benaknya yang sedang berada di jalan buntu, membuatnya merasa perlu mengumpulkan sumber energi baru, sehingga ia dapat berkarya kembali. Tawaran itu tiket baginya, untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang menutup ide-ide karyanya. Tawaran itu juga kesempatan baginya membongkar tembok-tembok tinggi yang menghalangi dirinya untuk bersosialisasi. Tembok-tembok tinggi yang ia pasang di sekeliling rumahnya, yang ia pasang di sekeliling hatinya, agar dirinya tidak terganggu, agar dirinya dapat menikmati ketenangan yang ia kehendaki.
Ternyata percakapan diantara mereka mengalir begitu saja. Seolah-olah jiwa-jiwa mereka sudah saling mengenal, melewati batasan-batasan yang dibentuk oleh raga. Pak Mulya dan Ibu Monika adalah keluarga pedagang, mendengar Ihsan adalah seorang penyair, mereka pun asyik bertukar cerita tentang dunia masing-masing. Mereka bertiga larut dalam waktu, bahkan tak terasa siang pun sudah. Pak Mulya dan Ibu Monika menyarankan agar Ihsan mencoba berkontemplasi di danau yang tak jauh dari lingkungan mereka. Mereka berharap Ihsan segera dapat mengatasi kebuntuan kreasinya di sana, itulah ucapan terakhir mereka sebagai kata perpisahan.
Sore yang bersih, Ihsan membawa dirinya menuju danau yang disarankan Pak Mulya dan Ibu Monika. Tatapannya menyapu sekitar danau, ia pun tersenyum senang. Dicari-carinya tempat yang sesuai untuk menyendiri dan mencari ide. Disekeliling danau itu nampak beberapa orang yang juga asyik bersantai ria. Beberapa pohon tua untuk mencari keteduhan pun ada pula. Ia memilih salah satu pohon tua yang tak ada orang disekelilingnya, dan Ihsan pun mencoba menikmati situasi sore itu di bawah pohon pilihannya. Dan mencoba membiarkan pikirannya terbang bebas, dan mencoba membebaskan pikirannya yang terikat oleh apa yang ia pun tak tahu. Menatap langit, ia mencoba merasakan kebebasan terbang hingga ke ujungnya. Menatap danau, ia mencoba berenang merasa segarnya air yang menenangkan.
Entah apa yang mendorongnya untuk berjalan-jalan, apakah kejemuannya pada rumah, ataukah inspirasinya yang sudah mengering,ataukah dua hal itu yang sedang terjadi pada dirinya. Sudah setahun lamanya ia tinggal di lingkungan itu, tetapi ia belum terlalu dekat dengan tetangga-tetangganya. Hari itu ia bertekad untuk mencoba menceburkan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia menegur tukang-tukang sayur yang ada, mencoba berbasa-basi sedikit, meskipun beli pun tidak. Dikumpulkan keterangan tentang siapa saja tetangga-tetangganya. Informasi itu disimpan rapi dalam otaknya. Saat ini tak mungkin ia bertamu, tetapi malamnya mungkin saja. Ia pun terus berjalan-jalan menikmati pagi, tak berapa lama dia bertemu dengan pasangan-pasangan tua yang asyik berjoging. Ia pun mencoba menyamakan arah dan menyapa mereka. Ihsan sangat pandai melarutkan suasana, hingga ia pun berkenalan dengan beberapa.
Bahkan sepasang suami-istri, Pak Mulya dan Ibu Monika mengundangnya untuk mampir ke rumah mereka. Ihsan pun menyambut gembira tawaran itu, ternyata tak harus menunggu malam untuk bertamu. Hatinya yang sedang tak mampu berkarya, benaknya yang sedang berada di jalan buntu, membuatnya merasa perlu mengumpulkan sumber energi baru, sehingga ia dapat berkarya kembali. Tawaran itu tiket baginya, untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang menutup ide-ide karyanya. Tawaran itu juga kesempatan baginya membongkar tembok-tembok tinggi yang menghalangi dirinya untuk bersosialisasi. Tembok-tembok tinggi yang ia pasang di sekeliling rumahnya, yang ia pasang di sekeliling hatinya, agar dirinya tidak terganggu, agar dirinya dapat menikmati ketenangan yang ia kehendaki.
Ternyata percakapan diantara mereka mengalir begitu saja. Seolah-olah jiwa-jiwa mereka sudah saling mengenal, melewati batasan-batasan yang dibentuk oleh raga. Pak Mulya dan Ibu Monika adalah keluarga pedagang, mendengar Ihsan adalah seorang penyair, mereka pun asyik bertukar cerita tentang dunia masing-masing. Mereka bertiga larut dalam waktu, bahkan tak terasa siang pun sudah. Pak Mulya dan Ibu Monika menyarankan agar Ihsan mencoba berkontemplasi di danau yang tak jauh dari lingkungan mereka. Mereka berharap Ihsan segera dapat mengatasi kebuntuan kreasinya di sana, itulah ucapan terakhir mereka sebagai kata perpisahan.
Sore yang bersih, Ihsan membawa dirinya menuju danau yang disarankan Pak Mulya dan Ibu Monika. Tatapannya menyapu sekitar danau, ia pun tersenyum senang. Dicari-carinya tempat yang sesuai untuk menyendiri dan mencari ide. Disekeliling danau itu nampak beberapa orang yang juga asyik bersantai ria. Beberapa pohon tua untuk mencari keteduhan pun ada pula. Ia memilih salah satu pohon tua yang tak ada orang disekelilingnya, dan Ihsan pun mencoba menikmati situasi sore itu di bawah pohon pilihannya. Dan mencoba membiarkan pikirannya terbang bebas, dan mencoba membebaskan pikirannya yang terikat oleh apa yang ia pun tak tahu. Menatap langit, ia mencoba merasakan kebebasan terbang hingga ke ujungnya. Menatap danau, ia mencoba berenang merasa segarnya air yang menenangkan.
Monday, May 17, 2010
Malam Telanlah Aku
Ini ego ku yang menguasai duniaku
Ini ego ku lelaki yang berpijak pada cita-cita
Ini ego ku yang tak mau mendengar seruan
Malam...hai malam...telanlah aku
Dan biarlah aku lenyap bersama terbitnya pagi
Dan diri baru akan muncul sujud di atas sajadah
Ini ego ku lelaki yang berpijak pada cita-cita
Ini ego ku yang tak mau mendengar seruan
Malam...hai malam...telanlah aku
Dan biarlah aku lenyap bersama terbitnya pagi
Dan diri baru akan muncul sujud di atas sajadah
Sunday, May 16, 2010
Projek Rambut Hijau (1) - Sang Penyair
Rumput-rumput itu meringkuk bergesekan, berlindung dari dinginnya angin malam yang berhembus. Terus melaju hingga menghabis di depan sebuah rumah berpagar putih. Rumah dua lantai yang hanya berpenghuni satu orang saja. Orang-orang memanggilnya Ihsan seorang penyair yang gemar berkontemplasi, memikirkan nasibnya, memikirkan karyanya, memikirkan perutnya, memikirkan negaranya, bahkan terkadang ia sibuk memikirkan dunia. Tenggelam ia dalam pikirannya, dan saat itulah dunia nyata seakan tersekat, dan ia pun mengelana bebas bersama khayalnya, yang setia menemani, kapan pun ia mau, dimana saja ia mau. Begitulah kehidupan seorang penyair, lamunannya adalah tambang emasnya. Hal itu disadari oleh Ihsan, dan ia pun sering menambang, pagi hari, siang hari, hingga malam hari. Bahkan terkadang ia hanya sedikit tidur dalam beberapa hari. 'Aku menambang emas..', bisiknya memotivasi dirinya sendiri yang terkadang di ambang lelah.
Rumahnya mempunyai luas 400 m2 lebih. Kolam renang untuk relaksasinya pun ada. Ihsan memang seorang penyair yang kondang dan berhasil. Ia mempunyai karya-karya yang fenomenal, namanya sudah melegenda, kerja kerasnya telah menuai begitu banyak keberhasilan, dan ia menyisihkan sedikit keberhasilan itu dengan membangun rumah pusat aktifitasnya senyaman mungkin. Berkontemplasi, relaksasi, membakar kalori, mengundang kerabat, mengundang sahabat, sehingga ia merasa selalu dekat, dengan orang-orang yang dikenalnya. Ihsan merasa membutuhkan mereka, terkadang ia merasa benci sekali dengan kesendirian, sehingga diusirnya kesendirian itu jauh-jauh dengan keramaian. Tetapi ia terkadang juga merasa benci sekali dengan keramaian maka ia pun mengurung dirinya dalam rumah, dan menikmati sepi, menenggaknya detik-demi detik, dan tak pernah merasa kenyang, meskipun mentari pagi berulangkali terbit. Mungkin itulah alasan dirinya untuk tak segera mendua, melengkapi jiwanya yang sendiri.
Pilihan hidupnya untuk menyendiri dahulu sungguh aneh, karena karya-karya yang ditulisnya banyak mengenai cinta. Ihsan adalah sastrawan cinta. Gambarannya tentang cinta sangatlah lengkap, deskriptif, menghanyutkan, membawa ke awang-awang, tetapi juga realistis, sangat nyata, betul-betul sesuai dalam kehidupan. Penggambarannya penuh dengan paradoks-paradoks kehidupan. Banyak sekali pertentangan-pertentangan yang dapat disatukannya dalam karya-karyanya. Cinta begitu dihayatinya. Cinta adalah subyek karyanya. Ironisnya cinta belum hinggap dalam lubuk hatinya. Ironisnya seorang ahli cinta belum menemukan pelengkap jiwanya. Ihsan pun terkadang heran dengan kondisi dirinya. Ia pun terkadang mentertawakan dirinya sendiri. Tetapi hidup terus berjalan, dan ia pun membiarkan dirinya hanyut dalam aliran waktu. Tak ada niatnya untuk berenang menggapai benih-benih cinta. Belum ada dorongan yang begitu kuat membuatnya merengkuh manis pahitnya cinta. Dan ia pun lebih menikmati cinta hanya sebatas imajinasi, yang tak pernah memberinya sakit, dan yang tak pernah memberinya manis. Berkarya dan berkarya, menikmati hasilnya dan menikmatinya.
Rumahnya mempunyai luas 400 m2 lebih. Kolam renang untuk relaksasinya pun ada. Ihsan memang seorang penyair yang kondang dan berhasil. Ia mempunyai karya-karya yang fenomenal, namanya sudah melegenda, kerja kerasnya telah menuai begitu banyak keberhasilan, dan ia menyisihkan sedikit keberhasilan itu dengan membangun rumah pusat aktifitasnya senyaman mungkin. Berkontemplasi, relaksasi, membakar kalori, mengundang kerabat, mengundang sahabat, sehingga ia merasa selalu dekat, dengan orang-orang yang dikenalnya. Ihsan merasa membutuhkan mereka, terkadang ia merasa benci sekali dengan kesendirian, sehingga diusirnya kesendirian itu jauh-jauh dengan keramaian. Tetapi ia terkadang juga merasa benci sekali dengan keramaian maka ia pun mengurung dirinya dalam rumah, dan menikmati sepi, menenggaknya detik-demi detik, dan tak pernah merasa kenyang, meskipun mentari pagi berulangkali terbit. Mungkin itulah alasan dirinya untuk tak segera mendua, melengkapi jiwanya yang sendiri.
Pilihan hidupnya untuk menyendiri dahulu sungguh aneh, karena karya-karya yang ditulisnya banyak mengenai cinta. Ihsan adalah sastrawan cinta. Gambarannya tentang cinta sangatlah lengkap, deskriptif, menghanyutkan, membawa ke awang-awang, tetapi juga realistis, sangat nyata, betul-betul sesuai dalam kehidupan. Penggambarannya penuh dengan paradoks-paradoks kehidupan. Banyak sekali pertentangan-pertentangan yang dapat disatukannya dalam karya-karyanya. Cinta begitu dihayatinya. Cinta adalah subyek karyanya. Ironisnya cinta belum hinggap dalam lubuk hatinya. Ironisnya seorang ahli cinta belum menemukan pelengkap jiwanya. Ihsan pun terkadang heran dengan kondisi dirinya. Ia pun terkadang mentertawakan dirinya sendiri. Tetapi hidup terus berjalan, dan ia pun membiarkan dirinya hanyut dalam aliran waktu. Tak ada niatnya untuk berenang menggapai benih-benih cinta. Belum ada dorongan yang begitu kuat membuatnya merengkuh manis pahitnya cinta. Dan ia pun lebih menikmati cinta hanya sebatas imajinasi, yang tak pernah memberinya sakit, dan yang tak pernah memberinya manis. Berkarya dan berkarya, menikmati hasilnya dan menikmatinya.
Prasangka yang Keliru
Marah sudah sampai batasnya
Kata-kata sudah membunuh etika
Emosi mencampurkan bara dan lidah
Berikan ucapan yang menyakitkan
Mendidih, meluapkan semua serapah
Nasehat hanya untuk memalingkan muka
Merasa semua salah
Dirilah yang paling benar
Argumentasi sudah percuma
Telinga dan hati sedang ditutup kebisingan serapah
Entah apa yang dapat mendinginkan
Dan terus ia menumpahkan serapah
Hingga energinya mencapai dasar
Dan tak ada yang mampu mendorong luapan emosinya
Terduduk lemas masih dengan amarah yang digenggam
Beri air putih agar desah nafasnya teratur
Beri air putih biar serapahnya terputus
Meski ekspresi memerah padam
Meski keinginan untuk menumpahkan serapah masih besar
Seteguk demi seteguk kebeningan diteguk
Beberapa memberanikan diri menjelaskan
Beberapa memberanikan dir menceritakan
Sehingga sudut pandang pun bergeser
Api yang disulut oleh amarahnya ternyata tak menyulut yang lain
Paham...paham...ia memang bertemperamen
Beri air putih agar padam apinya
Beri air putih biar sadar mengusir emosinya
Satu kata dua kata hingga rangkaian kata dicerna
Ia pun tersenyum malu
Ego nya ditelannya bulat-bulat
Meminta maaf dengan penuh malu
Ternyata prasangkanya salah
Kata-kata sudah membunuh etika
Emosi mencampurkan bara dan lidah
Berikan ucapan yang menyakitkan
Mendidih, meluapkan semua serapah
Nasehat hanya untuk memalingkan muka
Merasa semua salah
Dirilah yang paling benar
Argumentasi sudah percuma
Telinga dan hati sedang ditutup kebisingan serapah
Entah apa yang dapat mendinginkan
Dan terus ia menumpahkan serapah
Hingga energinya mencapai dasar
Dan tak ada yang mampu mendorong luapan emosinya
Terduduk lemas masih dengan amarah yang digenggam
Beri air putih agar desah nafasnya teratur
Beri air putih biar serapahnya terputus
Meski ekspresi memerah padam
Meski keinginan untuk menumpahkan serapah masih besar
Seteguk demi seteguk kebeningan diteguk
Beberapa memberanikan diri menjelaskan
Beberapa memberanikan dir menceritakan
Sehingga sudut pandang pun bergeser
Api yang disulut oleh amarahnya ternyata tak menyulut yang lain
Paham...paham...ia memang bertemperamen
Beri air putih agar padam apinya
Beri air putih biar sadar mengusir emosinya
Satu kata dua kata hingga rangkaian kata dicerna
Ia pun tersenyum malu
Ego nya ditelannya bulat-bulat
Meminta maaf dengan penuh malu
Ternyata prasangkanya salah
Ledakkan Ekspresi
Ekspresi yang terkungkung
Membuatmu menjadi patung
Penuh emosi dan depresi
Menyeret fikir dan wawasan kedalam gelap yang dingin
Terkadang membuat hati tak bersemangat
Kusam
Marah
Putus Asa
Tak jelas apa yang dirasa
Maka ambillah dinamit dan telanlah apinya
Sehingga meledak
Meninggalkan kungkungannya
Terlepas dari jeruji-jeruji jiwa
Dan warnailah
Sehingga kusam akan lari
Senyum akan datang
Diri merasa hidup
Tak pernah jemu hinggap
Ekspresi yang lepas peliharalah dari liar
Jangan ia meloncat kesana kemari
Jangan beri derita
Bagi diri atau yang lain
Dan ekspresi itu semakin memperkuat kita
Membuatmu menjadi patung
Penuh emosi dan depresi
Menyeret fikir dan wawasan kedalam gelap yang dingin
Terkadang membuat hati tak bersemangat
Kusam
Marah
Putus Asa
Tak jelas apa yang dirasa
Maka ambillah dinamit dan telanlah apinya
Sehingga meledak
Meninggalkan kungkungannya
Terlepas dari jeruji-jeruji jiwa
Dan warnailah
Sehingga kusam akan lari
Senyum akan datang
Diri merasa hidup
Tak pernah jemu hinggap
Ekspresi yang lepas peliharalah dari liar
Jangan ia meloncat kesana kemari
Jangan beri derita
Bagi diri atau yang lain
Dan ekspresi itu semakin memperkuat kita
Friday, May 14, 2010
Sandaran Rindu
Duhai yang mempunyai rindu, cukupkah rayuku memuaskanmu.
Duhai yang mempunyai gelisah, cukupkah puisiku menenangkanmu.
Janganlah kau tanam sangsi jika tak merayu.
Janganlah kau tanam duka jika puisiku tak hadir.
Tanah tak kan menghilang untuk kau berpijak.
Langit tak kan habis untuk kau ambil udaranya.
Tetaplah yakin sekiranya ragu.
Tetaplah optimis sekiranya bimbang.
Memang rayu dan puisi tak selalu hadir.
Memang raga tak selalu bersama.
Berdoalah pada penjaga jiwa.
Bersandarlah pada penjaga jiwa.
Berdoalah pada penjaga hati.
Bersandarlah pada penjaga hati.
Karena pada Nya jiwa dan hati ini kutambatkan.
Dan pada Nya jiwa dan hati ini kusandarkan.
Duhai yang mempunyai gelisah, cukupkah puisiku menenangkanmu.
Janganlah kau tanam sangsi jika tak merayu.
Janganlah kau tanam duka jika puisiku tak hadir.
Tanah tak kan menghilang untuk kau berpijak.
Langit tak kan habis untuk kau ambil udaranya.
Tetaplah yakin sekiranya ragu.
Tetaplah optimis sekiranya bimbang.
Memang rayu dan puisi tak selalu hadir.
Memang raga tak selalu bersama.
Berdoalah pada penjaga jiwa.
Bersandarlah pada penjaga jiwa.
Berdoalah pada penjaga hati.
Bersandarlah pada penjaga hati.
Karena pada Nya jiwa dan hati ini kutambatkan.
Dan pada Nya jiwa dan hati ini kusandarkan.
Langkah Hari Ini
Merayap perlahan
Berlari melaju kencang
Melompat melewati rintangan
Apa pun itu itulah langkah kita hari ini
Semangat harus menyala
Motivasi harus senada
Niat senantiasa dijaga
Apa pun itu itulah yang mewarnai kita hari ini
Kolaborasi
Kerjasama
Komunikasi
Apa pun itu itulah yang harus kita lakukan menjaga kebersamaan hari ini
Sampaikan keberatan
Sampaikan kesetujuan
Sampaikan ide-ide
Apa pun itu itulah dirimu yang harus melangkah hari ini
Kesulitan
Kemudahan
Duka
Gembira
Apa pun itu itulah buah yang kita petik dari langkah kita hari ini
Berlari melaju kencang
Melompat melewati rintangan
Apa pun itu itulah langkah kita hari ini
Semangat harus menyala
Motivasi harus senada
Niat senantiasa dijaga
Apa pun itu itulah yang mewarnai kita hari ini
Kolaborasi
Kerjasama
Komunikasi
Apa pun itu itulah yang harus kita lakukan menjaga kebersamaan hari ini
Sampaikan keberatan
Sampaikan kesetujuan
Sampaikan ide-ide
Apa pun itu itulah dirimu yang harus melangkah hari ini
Kesulitan
Kemudahan
Duka
Gembira
Apa pun itu itulah buah yang kita petik dari langkah kita hari ini
Thursday, May 13, 2010
Rindu yang Menggigit (4) - Buku Cinta
Setahun tak terasa telah melaju.
Wanita itu masih teguh memeluk erat rindu hatinya.
Gigitannya tajam dan dalam, baik ditubuhnya, baik dijiwanya.
Godaan-godaan yang merenggangkan telah dihadapinya dengan keyakinan.
Ia menggenggam dengan kuat dan tak mau melepaskan rindu itu.
Meskipun pernah sekali ia tergelincir.
Itupun justru makin memperkuat kerinduan dan keyakinan.
Saat kebangkitannya itulah rindunya tak berteman dengan sangsi.
Saat kebangkitannya itulah rindunya berteman dengan keyakinan.
Keyakinan yang tertempa oleh cobaan.
Keyakinan yang tertempa oleh keadaan.
Keyakinan yang tertempa oleh waktu.
Rindu itu kini sudah matang.
Buah dari perjuangannya melawan waktu.
Buah dari perjuangannya sendiri dalam sepi.
Buah dari perjuangannya mempertahankan cinta yang teruji.
Hari ini genap setahun ia menunggu.
Penantiannya akan segera berakhir.
Malam-malamnya tak lagi sepi.
Karena hari ini kekasihnya, obat rindunya akan datang.
Sejak semalam sebelumnya ia telah berbenah.
Menghaluskan rambut-rambutnya yang pernah ia lupakan.
Melembutkan aroma tubuhnya.
Mempercantik wajahnya dengan apa saja yang ada.
Dan pagi ini ia tersenyum melihat dirinya dicermin.
Ceria menghiasi bibirnya mesti belum bertemu.
Wajahnya berbinar-binar memancarkan semangat.
Berpatut dan terus berpatut, memandang cermin tanpa jemu.
Pagi itu waktu baginya terasa sangat cepat.
Hingga akhirnya ia mendengar ketukan di depan pintu.
Ia pun tersenyum dan bergegas.
Mengintip, kemudian bersyukur.
Saat itu dua jiwa yang terpisahkan jarak bertemu.
Saat itu sepasang jiwa yang terpisahkan jarak merasa lengkap.
Tawa atau tangis tak tahu mana yang dahulu.
Dekap hangat, kecupan mesra meleburkan rindu mereka.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama bahagia dapat bertemu.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama memendam rindu yang besar.
Mereka berdua pun menikmati waktu yang melaju.
Mereka saling bertukar cerita tanpa henti.
Mereka saling tertawa mengupas kebahagiaannya.
Mereka saling berpelukan menebus perpisahan yang lalu.
Hingga malam memberi bulan dan bintang.
Hingga kedua jiwa itu merasa damai sejenak.
Laki-laki itu bercerita tentang perjuangannya mencari nafkah.
Rintangan demi rintangan yang ia lalui, ia ceritakan dengan penuh semangat.
Meskipun terkadang cerita itu sudah pernah ia sampaikan dalam SMS.
Berulangkali ia menekankan rasa tanggung jawabnya untuk memberikan hidup yang lebih baik.
Berulangkali ia menekankan rasa cintanyalah yang mampu membuatnya bertahan.
Tangannya terkadang meremas kuat-kuat jemari istrinya.
Tatapnya dan ekspresinya memberi keyakinan akan kebenaran mulutnya.
Terkadang ia sengaja memandang lekat-lekat wajah didepannya.
Mencari-cari adakah keraguan atau yang tak dimengerti dari ucapannya.
Dan ia pun rela mengulang cerita yang lalu untuk sekedar menghilangkan ragu istrinya.
Terkadang ia sengaja membiarkan istrinya menyelanya.
Dan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Ia pun tersenyum-senyum, senang sekali melihat ekspresi tanya itu.
Terkadang ia membiarkan istrinya dalam tanya, dan menjawabnya dalam pelukan.
Kemesraan mengental di saat itu.
Wanita itu membiarkan suaminya bercerita penuh tentang perjuangannya.
Ia sengaja tak berbagi cerita dulu tentang perjuangan melawan rindunya.
Wanita itu sesekali bertanya tentang ucapan-ucapan kekasihnya.
Bukan sekedar basa-basi pembunuh waktu, tetapi rasa perhatian dan keinginan tahunya yang mendalam.
Hingga ia merasa lelaki itu tak ada cerita lagi.
Kini ia pun berganti bercerita tentang hari-hari penantiannya.
Kekasihnya mendengarkannya dengan penuh antusias.
Tatapan mata mereka terkadang saling bertemu.
Tatapan mata mereka terkadang saling berpijar.
Dan mereka membiarkan pijar-pijar itu hidup.
Sejenak kemudian wanita itu memberikan sebuah buku.
Kekasihnya membaca dan membaca, selembar demi selembar.
Saat itu juga dengan penuh seksama.
Terkadang ia tersenyum kecil.
Terkadang ia tertawa.
Terkadang raut mukanya terharu.
Meskipun tidak meneteskan air mata.
Buku itu berisi semua SMS yang pernah mereka saling kirimkan.
Dan dibeberapa tempat diceritakan isi hatinya atas SMS itu.
Isi hatinya yang terkadang kecewa.
Isi hatinya yang terkadang jengkel.
Isi hatinya yang terkadang gembira.
Isi hatinya yang penuh rindu.
Dan malam itu setelah buku itu ditutup.
Lelaki itu menutup malam dengan pelukan.
Lelaki itu menutup malam dengan kecupan.
Dan di saat pagi menjelang.
Mereka sadar, ada yang sangat berharga yang telah mereka dapatkan.
Bahkan melebih materi yang mereka perjuangkan.
Wanita itu masih teguh memeluk erat rindu hatinya.
Gigitannya tajam dan dalam, baik ditubuhnya, baik dijiwanya.
Godaan-godaan yang merenggangkan telah dihadapinya dengan keyakinan.
Ia menggenggam dengan kuat dan tak mau melepaskan rindu itu.
Meskipun pernah sekali ia tergelincir.
Itupun justru makin memperkuat kerinduan dan keyakinan.
Saat kebangkitannya itulah rindunya tak berteman dengan sangsi.
Saat kebangkitannya itulah rindunya berteman dengan keyakinan.
Keyakinan yang tertempa oleh cobaan.
Keyakinan yang tertempa oleh keadaan.
Keyakinan yang tertempa oleh waktu.
Rindu itu kini sudah matang.
Buah dari perjuangannya melawan waktu.
Buah dari perjuangannya sendiri dalam sepi.
Buah dari perjuangannya mempertahankan cinta yang teruji.
Hari ini genap setahun ia menunggu.
Penantiannya akan segera berakhir.
Malam-malamnya tak lagi sepi.
Karena hari ini kekasihnya, obat rindunya akan datang.
Sejak semalam sebelumnya ia telah berbenah.
Menghaluskan rambut-rambutnya yang pernah ia lupakan.
Melembutkan aroma tubuhnya.
Mempercantik wajahnya dengan apa saja yang ada.
Dan pagi ini ia tersenyum melihat dirinya dicermin.
Ceria menghiasi bibirnya mesti belum bertemu.
Wajahnya berbinar-binar memancarkan semangat.
Berpatut dan terus berpatut, memandang cermin tanpa jemu.
Pagi itu waktu baginya terasa sangat cepat.
Hingga akhirnya ia mendengar ketukan di depan pintu.
Ia pun tersenyum dan bergegas.
Mengintip, kemudian bersyukur.
Saat itu dua jiwa yang terpisahkan jarak bertemu.
Saat itu sepasang jiwa yang terpisahkan jarak merasa lengkap.
Tawa atau tangis tak tahu mana yang dahulu.
Dekap hangat, kecupan mesra meleburkan rindu mereka.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama bahagia dapat bertemu.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama memendam rindu yang besar.
Mereka berdua pun menikmati waktu yang melaju.
Mereka saling bertukar cerita tanpa henti.
Mereka saling tertawa mengupas kebahagiaannya.
Mereka saling berpelukan menebus perpisahan yang lalu.
Hingga malam memberi bulan dan bintang.
Hingga kedua jiwa itu merasa damai sejenak.
Laki-laki itu bercerita tentang perjuangannya mencari nafkah.
Rintangan demi rintangan yang ia lalui, ia ceritakan dengan penuh semangat.
Meskipun terkadang cerita itu sudah pernah ia sampaikan dalam SMS.
Berulangkali ia menekankan rasa tanggung jawabnya untuk memberikan hidup yang lebih baik.
Berulangkali ia menekankan rasa cintanyalah yang mampu membuatnya bertahan.
Tangannya terkadang meremas kuat-kuat jemari istrinya.
Tatapnya dan ekspresinya memberi keyakinan akan kebenaran mulutnya.
Terkadang ia sengaja memandang lekat-lekat wajah didepannya.
Mencari-cari adakah keraguan atau yang tak dimengerti dari ucapannya.
Dan ia pun rela mengulang cerita yang lalu untuk sekedar menghilangkan ragu istrinya.
Terkadang ia sengaja membiarkan istrinya menyelanya.
Dan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Ia pun tersenyum-senyum, senang sekali melihat ekspresi tanya itu.
Terkadang ia membiarkan istrinya dalam tanya, dan menjawabnya dalam pelukan.
Kemesraan mengental di saat itu.
Wanita itu membiarkan suaminya bercerita penuh tentang perjuangannya.
Ia sengaja tak berbagi cerita dulu tentang perjuangan melawan rindunya.
Wanita itu sesekali bertanya tentang ucapan-ucapan kekasihnya.
Bukan sekedar basa-basi pembunuh waktu, tetapi rasa perhatian dan keinginan tahunya yang mendalam.
Hingga ia merasa lelaki itu tak ada cerita lagi.
Kini ia pun berganti bercerita tentang hari-hari penantiannya.
Kekasihnya mendengarkannya dengan penuh antusias.
Tatapan mata mereka terkadang saling bertemu.
Tatapan mata mereka terkadang saling berpijar.
Dan mereka membiarkan pijar-pijar itu hidup.
Sejenak kemudian wanita itu memberikan sebuah buku.
Kekasihnya membaca dan membaca, selembar demi selembar.
Saat itu juga dengan penuh seksama.
Terkadang ia tersenyum kecil.
Terkadang ia tertawa.
Terkadang raut mukanya terharu.
Meskipun tidak meneteskan air mata.
Buku itu berisi semua SMS yang pernah mereka saling kirimkan.
Dan dibeberapa tempat diceritakan isi hatinya atas SMS itu.
Isi hatinya yang terkadang kecewa.
Isi hatinya yang terkadang jengkel.
Isi hatinya yang terkadang gembira.
Isi hatinya yang penuh rindu.
Dan malam itu setelah buku itu ditutup.
Lelaki itu menutup malam dengan pelukan.
Lelaki itu menutup malam dengan kecupan.
Dan di saat pagi menjelang.
Mereka sadar, ada yang sangat berharga yang telah mereka dapatkan.
Bahkan melebih materi yang mereka perjuangkan.
Labels:
buku,
cerita,
cerita cinta,
cinta,
puisi,
puisi cinta,
puisi rindu,
RYM4
Wednesday, May 12, 2010
Rindu yang Menggigit (3) - Perisai itu ada
Perlahan-lahan wanita itu mencoba menyadari hatinya
Tetapi ia tetap tak mampu menghapus bayangan baru yang menyusup
Ia bersemangat di pagi hari
Ia bersemangat melangkahkan kaki ke kerja
Ia menyambut rutinitasnya dengan energi baru
Wajah yang menemani disendirinya
Wajah yang bukan saja bayangan bekas-bekas kenangan
Wajah yang bisa ditatapnya
Sembunyi-sembunyi dengan sudut matanya
Dan memberinya senyum manis di sudut bibirnya ketika tertangkap si empunya wajah
Dan menyusuplah rasa aneh itu ke dalam hatinya
Sang penggoda semakin agresif
Melihat kesempatan yang telah terbuka
Serangan-serangan gerilya dilancarkan
Hingga ia merasa waktunya tiba untuk mengkoyak mangsanya
Dia merasa di atas angin
Tarik ulur...
memberi rasa...
menjual mahal cinta..
memberi simpati...
memberi tanda-tanda..
sinyal-sinyal harapan
Ah...jurus-jurus penggoda yang sangat ampuh
Hati sendiri mana yang tak terpikat
Beberapa malam ini wanita itu sudah tak menangis
Ia sudah melupakan sakitnya sendiri
Ia sudah melupakan jejak-jejak kesetiaan yang digenggamnya kuat-kuat
Ia sudah lelah dengan rasa rindunya
Dan kini ia sudah merasa hidup kembali
Hidupnya bersinar
Langkahnya ringan
Ada energi yang tumbuh dari mana
Membuatnya semangat melalui hari demi hari
Tapi tiba-tiba dirinya terhentak
Tingginya matahari tiba-tiba dirasakannya asal ia terhempas
Sebuah SMS rindu dari suaminya yang tersisihkan beberapa hari dari hatinya
'Rinduku sekiranya raga belum dapat bersua, tahulah bahwa setiaku mengikat seluruh ragaku untukmu'
SMS singkat yang menggetarkan
SMS singkat yang memutarbalikkan dunia hatinya
Fikirannya tiba-tiba hampa sesaat
Jantungnya berdegup hingga terdengar ditelinganya
Serasa dunia bergoyang
Tiba-tiba ia merasa lemas
Bahkan handphone ditangannya terlepas
Istighfar...dia istighfar...
Menetes dan menetes air matanya
Malam ini rindu lamanya tumbuh kembali
Rasa aneh yang manis yang dinamakannya cinta untuk sang penggoda dimuntahkannya
Ia menangis
Tetapi ia jua tersenyum
Malam ini sujud lamanya kembali lagi
Ia kembali menelusuri sudut-sudut sajadahnya dengan tekun
Ia berbisik pada Tuhannya
'Aku mengaku salah....'
Sajadah itu basah
Matanya yang sembab itu sumbernya
Tetapi sebenarnya rindu lamanya itu lah sebabnya
Malam itu adalah titik balik dalam hidupnya
Meskipun tak bertemu, meskipun tak bersua rindu lamanya telah tumbuh kembali
Bahkan kini ia semakin mantap
Kini ia semakin tahu apa arti setia
Kini ia semakin tahu apa artinya mempertahankan cinta
Ia mempunyai perisai
Ia mempunyai keyakinan untuk melindungi rindunya sepenuh hati
Tetapi ia tetap tak mampu menghapus bayangan baru yang menyusup
Ia bersemangat di pagi hari
Ia bersemangat melangkahkan kaki ke kerja
Ia menyambut rutinitasnya dengan energi baru
Wajah yang menemani disendirinya
Wajah yang bukan saja bayangan bekas-bekas kenangan
Wajah yang bisa ditatapnya
Sembunyi-sembunyi dengan sudut matanya
Dan memberinya senyum manis di sudut bibirnya ketika tertangkap si empunya wajah
Dan menyusuplah rasa aneh itu ke dalam hatinya
Sang penggoda semakin agresif
Melihat kesempatan yang telah terbuka
Serangan-serangan gerilya dilancarkan
Hingga ia merasa waktunya tiba untuk mengkoyak mangsanya
Dia merasa di atas angin
Tarik ulur...
memberi rasa...
menjual mahal cinta..
memberi simpati...
memberi tanda-tanda..
sinyal-sinyal harapan
Ah...jurus-jurus penggoda yang sangat ampuh
Hati sendiri mana yang tak terpikat
Beberapa malam ini wanita itu sudah tak menangis
Ia sudah melupakan sakitnya sendiri
Ia sudah melupakan jejak-jejak kesetiaan yang digenggamnya kuat-kuat
Ia sudah lelah dengan rasa rindunya
Dan kini ia sudah merasa hidup kembali
Hidupnya bersinar
Langkahnya ringan
Ada energi yang tumbuh dari mana
Membuatnya semangat melalui hari demi hari
Tapi tiba-tiba dirinya terhentak
Tingginya matahari tiba-tiba dirasakannya asal ia terhempas
Sebuah SMS rindu dari suaminya yang tersisihkan beberapa hari dari hatinya
'Rinduku sekiranya raga belum dapat bersua, tahulah bahwa setiaku mengikat seluruh ragaku untukmu'
SMS singkat yang menggetarkan
SMS singkat yang memutarbalikkan dunia hatinya
Fikirannya tiba-tiba hampa sesaat
Jantungnya berdegup hingga terdengar ditelinganya
Serasa dunia bergoyang
Tiba-tiba ia merasa lemas
Bahkan handphone ditangannya terlepas
Istighfar...dia istighfar...
Menetes dan menetes air matanya
Malam ini rindu lamanya tumbuh kembali
Rasa aneh yang manis yang dinamakannya cinta untuk sang penggoda dimuntahkannya
Ia menangis
Tetapi ia jua tersenyum
Malam ini sujud lamanya kembali lagi
Ia kembali menelusuri sudut-sudut sajadahnya dengan tekun
Ia berbisik pada Tuhannya
'Aku mengaku salah....'
Sajadah itu basah
Matanya yang sembab itu sumbernya
Tetapi sebenarnya rindu lamanya itu lah sebabnya
Malam itu adalah titik balik dalam hidupnya
Meskipun tak bertemu, meskipun tak bersua rindu lamanya telah tumbuh kembali
Bahkan kini ia semakin mantap
Kini ia semakin tahu apa arti setia
Kini ia semakin tahu apa artinya mempertahankan cinta
Ia mempunyai perisai
Ia mempunyai keyakinan untuk melindungi rindunya sepenuh hati
Labels:
cerita,
cerita cinta,
cerita puitis,
perisai,
puisi,
puisi cinta,
puisi rindu,
RYM3
Senang itu pun Meledak
Diguyur oleh berita keberhasilan
Mata bersinar menatap depan
Telinga yang mendengar terangkat
Dahi mengernyit seolah masih tak percaya
Tetapi itu kenyataan
Tetapi itu lah yang didengar
Keberhasilan yang membuat menunggu
Keberhasilan yang membuat pontang-panting
Ia kini nyata
Ia kini terwujud
Raganya sudah lama menanti saat-saat ini
Jiwanya sudah lama menunggu berita itu
Dan kini keduanya mendapatkan apa yang ditunggu
Kegembiraan pun meledak dalam jiwanya
Rasa senang pun menyebar keseluruh raganya
Dari kepala hingga ibu jari kaki
Air mata menetes
Tetapi tawanya terlihat tak ada duka
Menangis dan tertawa dalam sebuah saat
Begitulah senang yang meledak
Mata bersinar menatap depan
Telinga yang mendengar terangkat
Dahi mengernyit seolah masih tak percaya
Tetapi itu kenyataan
Tetapi itu lah yang didengar
Keberhasilan yang membuat menunggu
Keberhasilan yang membuat pontang-panting
Ia kini nyata
Ia kini terwujud
Raganya sudah lama menanti saat-saat ini
Jiwanya sudah lama menunggu berita itu
Dan kini keduanya mendapatkan apa yang ditunggu
Kegembiraan pun meledak dalam jiwanya
Rasa senang pun menyebar keseluruh raganya
Dari kepala hingga ibu jari kaki
Air mata menetes
Tetapi tawanya terlihat tak ada duka
Menangis dan tertawa dalam sebuah saat
Begitulah senang yang meledak
Tuesday, May 11, 2010
Aku Menunggumu
Dinginnya tubuhku mulai terasa menghentikan jantung perlahan-lahan. Darah anyir mulai terbiasa aku cium, bahkan sadarku mulai melupakanku bahwa itu darahku sendiri. Dan malam terasa kalah gelap dari pandanganku yang mulai hilang. Wajah bidadari itu mulai tercitra kuat dalam benakku. Senyumnya sejenak menghangatkan jiwa, yang terusir oleh dingin yang melawan kuat semangat hidupku, bahkan hingga tertanam dalam tulang-tulangku. Meskipun sejenak terlupa aku akan rasa sakit, rasa nyeri, rasa sedih yang perlahan merayap.
Aku mencoba mengejarnya, bidadari ku itu hanya menjauh, kemudian mendekat, kemudian menjauh. Aku mencoba mendengarkan ucapannya, tapi tak jelas, samar, telingaku seolah tersekat. Dan diam sajalah aku memandangnya. Kurasakan kesepianku di bumi kini terbalas dengan dirinya. Dan aku pun kembali tersenyum kecil, bahkan sedikit terbahak. Bidadari ku hanya menatapku seraya berujar...ah aku tak jelas mendengarnya.
Tubuhku yang mendingin itu kini terguncang-guncang, desing-desing peluru telah berhenti, aku merasakan banyak tangan yang mengangkat ku, dalam sadarku gelap sudah pergi menutup mataku, aku pun melihat terang. Terlihat wajah-wajah tersenyum memandangku, 'Engkau tertidur selama 3 hari...., setelah gudang amunisi itu meledak, serangan besar-besaran dikerahkan, dan kami menemukanmu dengan denyut jantung yang lemah..' Ah ajaib, aku masih merasakan hidup, tanya yang entah kuberikan pada siapa. Kupandang wajah-wajah itu satu persatu, mereka menampakkan wajah kemenangan, senyumnya lepas begitu saja, tak ada beban yang tersirat dalam ekspresi-ekspresi itu. Semua orang merasakan kemenangan, semua orang merasakan kebebasan, di sini hanya aku yang merasa kalah. Hanya aku seorang yang tiba-tiba merasakan kalah, baru aku mengerti apa yang diucapkan bidadariku, rupanya dia berbisik 'Aku menunggumu....'
Aku mencoba mengejarnya, bidadari ku itu hanya menjauh, kemudian mendekat, kemudian menjauh. Aku mencoba mendengarkan ucapannya, tapi tak jelas, samar, telingaku seolah tersekat. Dan diam sajalah aku memandangnya. Kurasakan kesepianku di bumi kini terbalas dengan dirinya. Dan aku pun kembali tersenyum kecil, bahkan sedikit terbahak. Bidadari ku hanya menatapku seraya berujar...ah aku tak jelas mendengarnya.
Tubuhku yang mendingin itu kini terguncang-guncang, desing-desing peluru telah berhenti, aku merasakan banyak tangan yang mengangkat ku, dalam sadarku gelap sudah pergi menutup mataku, aku pun melihat terang. Terlihat wajah-wajah tersenyum memandangku, 'Engkau tertidur selama 3 hari...., setelah gudang amunisi itu meledak, serangan besar-besaran dikerahkan, dan kami menemukanmu dengan denyut jantung yang lemah..' Ah ajaib, aku masih merasakan hidup, tanya yang entah kuberikan pada siapa. Kupandang wajah-wajah itu satu persatu, mereka menampakkan wajah kemenangan, senyumnya lepas begitu saja, tak ada beban yang tersirat dalam ekspresi-ekspresi itu. Semua orang merasakan kemenangan, semua orang merasakan kebebasan, di sini hanya aku yang merasa kalah. Hanya aku seorang yang tiba-tiba merasakan kalah, baru aku mengerti apa yang diucapkan bidadariku, rupanya dia berbisik 'Aku menunggumu....'
Labels:
bidadari,
cerita,
cerita absurd,
puisi,
puisi absurd,
tunggu
Monday, May 10, 2010
Dan Bidadari itu Memanggilku
Malam yang belum pergi, saat aku mengendap-endap sendiri, memasuki teritori musuh yang mengancam bangsaku. Desing peluru menggodaku untuk lari terbirit-birit kembali bak domba yang melihat serigala. Tetapi ini adalah tugas yang membebani pundakku. Yang membuatku merasa sebagai anak bangsa. Yang membuatku merasa hidup punya makna.
Nafasku menderu, jantungku berirama cepat, semuanya memberi tahu aku, aku masih hidup, dan aku pun bertekad menyelesaikan tugas ini. Menghancurkan gudang amunisi terbesar milik musuh. Ini akan menjamin bangsaku aman hingga berpuluh-puluh tahun kedepan. Tugas yang membanggakan diri, meskipun nanti tak dikenali, meskipun nanti terbujur kaku di daerah musuh, membusuk tak ada yang peduli, meskipun jauh dari tanah air yang dicintai.
Pertempuran demi pertempuran telah kulewati, kebranian demi kebranian sudah menemaniku. Saat ini mungkin kebranian itu lari, saat ini mungkin terakhir kalinya ia menemaniku. Tetapi gudang amunisi itu sudah di depan mataku, beranjak lari pun percuma, bawah sadarku menggigit bibirku, dan kebranian kutawan dalam semangatku. Bazooka kubidikkan pada sasaran...kabooom... meledak menghentak angkasa, siang sejenak ditempat itu, dan aku pun terbahak-bahak. Meski desing-desing hangat itu bersarang di tubuh ku. Aku pun lemah dan hanya mendengar senyum mungil bidadari yang kuimpi-impikan. Tertawa aku saat itu dengan sangat manis, meski air mata tak tertahan menetes.... dan bidadari itu memanggilku.
Nafasku menderu, jantungku berirama cepat, semuanya memberi tahu aku, aku masih hidup, dan aku pun bertekad menyelesaikan tugas ini. Menghancurkan gudang amunisi terbesar milik musuh. Ini akan menjamin bangsaku aman hingga berpuluh-puluh tahun kedepan. Tugas yang membanggakan diri, meskipun nanti tak dikenali, meskipun nanti terbujur kaku di daerah musuh, membusuk tak ada yang peduli, meskipun jauh dari tanah air yang dicintai.
Pertempuran demi pertempuran telah kulewati, kebranian demi kebranian sudah menemaniku. Saat ini mungkin kebranian itu lari, saat ini mungkin terakhir kalinya ia menemaniku. Tetapi gudang amunisi itu sudah di depan mataku, beranjak lari pun percuma, bawah sadarku menggigit bibirku, dan kebranian kutawan dalam semangatku. Bazooka kubidikkan pada sasaran...kabooom... meledak menghentak angkasa, siang sejenak ditempat itu, dan aku pun terbahak-bahak. Meski desing-desing hangat itu bersarang di tubuh ku. Aku pun lemah dan hanya mendengar senyum mungil bidadari yang kuimpi-impikan. Tertawa aku saat itu dengan sangat manis, meski air mata tak tertahan menetes.... dan bidadari itu memanggilku.
Labels:
bidadari,
cerita,
cerita absurd,
puisi,
puisi absurd
Sunday, May 9, 2010
Dari Sebuah Pesawat
Mengarungi awan yang luas
Memandang luasnya bumi
Berdecak kagum akan ciptaanNya
Cakrawala membatasi pandang
Nafas yang menderu mengiringi fikir yang mengagumi
Memandang diri
Mencoba mengambil nilai
Mencoba memperbaiki diri
Hendaknya wawasanku meluas
Seperti bumi yang kupandang
Hendaknya cakrawalaku membentang
Hingga cita-cita yang membatasi mengarungi kemampuan yang dimiliki
Dari ketinggian inilah aku bertekad
Dari ketinggian inilah semangat terpompa
Jengkal demi jengkal cita-cita akan kuwujudkan
Kesulitan demi kesulitan akan kutaklukan
Solusi demi solusi akan ditemukan
Berharap
Berdoa
Dan bersandar pada Nya
Semuanya kan terlaksana
Memandang luasnya bumi
Berdecak kagum akan ciptaanNya
Cakrawala membatasi pandang
Nafas yang menderu mengiringi fikir yang mengagumi
Memandang diri
Mencoba mengambil nilai
Mencoba memperbaiki diri
Hendaknya wawasanku meluas
Seperti bumi yang kupandang
Hendaknya cakrawalaku membentang
Hingga cita-cita yang membatasi mengarungi kemampuan yang dimiliki
Dari ketinggian inilah aku bertekad
Dari ketinggian inilah semangat terpompa
Jengkal demi jengkal cita-cita akan kuwujudkan
Kesulitan demi kesulitan akan kutaklukan
Solusi demi solusi akan ditemukan
Berharap
Berdoa
Dan bersandar pada Nya
Semuanya kan terlaksana
Saturday, May 8, 2010
Akar Cinta
Hari ini kuusir sangsi kesudut gelap
Hari ini harapan menghangatkan qalbu
Semangat memang seharusnya kuat menjaga
Semangat memang mampu menerbitkan harap
Dan cinta adalah akar yang hidup dan kokoh menopang
Meskipun itu hanya hari ini
Hari ini cinta telah menghidupkanku
Hari ini kasih memberikan kejutan-kejutan kecil
Memang perjalanan hidup mampu mengkayakan cinta
Dan qalbu memaknai apa yang ada dengan syukur
Sehingga syukur pun menyalakan semangat yang diberi cinta
Meskipun itu hanya hari ini
Akar-akar cinta telah menutrisiku
Klorofil syukur telah meramuku
Aku menjadi pohon menua yang hidup
Berharap memberi buah dari cinta dan syukur
Berharap engkau menikmatinya
Sehingga ceria mu merindangkan hidupku
Hari ini harapan menghangatkan qalbu
Semangat memang seharusnya kuat menjaga
Semangat memang mampu menerbitkan harap
Dan cinta adalah akar yang hidup dan kokoh menopang
Meskipun itu hanya hari ini
Hari ini cinta telah menghidupkanku
Hari ini kasih memberikan kejutan-kejutan kecil
Memang perjalanan hidup mampu mengkayakan cinta
Dan qalbu memaknai apa yang ada dengan syukur
Sehingga syukur pun menyalakan semangat yang diberi cinta
Meskipun itu hanya hari ini
Akar-akar cinta telah menutrisiku
Klorofil syukur telah meramuku
Aku menjadi pohon menua yang hidup
Berharap memberi buah dari cinta dan syukur
Berharap engkau menikmatinya
Sehingga ceria mu merindangkan hidupku
Berkelana Mencari Cinta
Mencari-cari di google.com dengan kata kunci tempat cinta.
Ternyata hati merasa tak sesuai.
Lalu ku ganti kata kuncinya dengan cinta sejati.
Belum juga ada yang sesuai.
Aku pun sibuk menenggelamkan diri dengan informasi tempat-tempat yang terindah di dunia.
Berharap aku kan kesana.
Mengharap cintaku yang indah bertemu dengan jodohnya.
Dan nafas demi nafas akan kulalui dengannya memberi warna untukku dan untuknya.
Sehingga hidup lebih hidup, dan degup jantung pun lantang penuh motivasi.
Bekal demi bekal kukumpulkan.
Semangat demi semangat kujadikan tumpuan.
Peta tujuan sudah kuhapalkan.
Doa pun kupanjatkan.
Cinta... bersiaplah aku akan mengejarmu.
Cinta... aku akan mencarimu.
Dan tempat-tempat terindah yang ada di dunia aku kan kesana.
Mencarimu...
Mengejarmu...
Dan memilikimu.
Itulah optimisku, itulah semangatku.
Mesti harus berkelana mengelilingi dunia aku tak peduli.
Ternyata hati merasa tak sesuai.
Lalu ku ganti kata kuncinya dengan cinta sejati.
Belum juga ada yang sesuai.
Aku pun sibuk menenggelamkan diri dengan informasi tempat-tempat yang terindah di dunia.
Berharap aku kan kesana.
Mengharap cintaku yang indah bertemu dengan jodohnya.
Dan nafas demi nafas akan kulalui dengannya memberi warna untukku dan untuknya.
Sehingga hidup lebih hidup, dan degup jantung pun lantang penuh motivasi.
Bekal demi bekal kukumpulkan.
Semangat demi semangat kujadikan tumpuan.
Peta tujuan sudah kuhapalkan.
Doa pun kupanjatkan.
Cinta... bersiaplah aku akan mengejarmu.
Cinta... aku akan mencarimu.
Dan tempat-tempat terindah yang ada di dunia aku kan kesana.
Mencarimu...
Mengejarmu...
Dan memilikimu.
Itulah optimisku, itulah semangatku.
Mesti harus berkelana mengelilingi dunia aku tak peduli.
Friday, May 7, 2010
Akhir Rindu
Ketika burung malam memberi tanda hilangnya mentari, saat katak-katak tepi danau sesekali memberi suara, rasanya hujan mencoba mengulang sejarah.
Sepasang mata sayu menatap luasnya langit malam, mencari rembulan yang disembunyikan awan-awan gelap. Bahkan bintang-bintang pun diselimutinya seolah tak berdaya.
Dia berbisik lembut pada hatinya yang ragu. Dia bertanya pada dirinya yang merindu. 'Datangkah ia malam ini?' Rupanya rindu sudah menjadikannya penanya. Dan ia pun menatap jam di dalam rumahnya. Mengharapkan pemberi jawab mengiyakan harapannya.
Bersuara lembutlah ia pada angin. 'Angin tolong lihatlah dimana ia sekarang... Kabari aku..' Bersuara lembutlah ia pada bintang 'Bintang bersinarlah...Kalahkan awan gelap...Bimbinglah ia kepangkuanku'
Sepasang matanya yang sayu kini menjelajahi halaman rumahnya. Mencoba menembus jalan gelap di depan rumah. Waktu yang berjalan tiba-tiba terasa berhenti, ketika sesosok tubuh pembuat rindunya muncul. Sesosok tubuh yang telah lama menemani hidupnya, dalam gelap maupun terang.
Kini rindunya sudah terpangkas habis. Dalam gelap ia merasa terang. Himpitan itu telah hilang, dan ia pun merasa menang dari peperangan. Malam ini ia tutup dengan senyum yang tak berhenti.
Sepasang mata sayu menatap luasnya langit malam, mencari rembulan yang disembunyikan awan-awan gelap. Bahkan bintang-bintang pun diselimutinya seolah tak berdaya.
Dia berbisik lembut pada hatinya yang ragu. Dia bertanya pada dirinya yang merindu. 'Datangkah ia malam ini?' Rupanya rindu sudah menjadikannya penanya. Dan ia pun menatap jam di dalam rumahnya. Mengharapkan pemberi jawab mengiyakan harapannya.
Bersuara lembutlah ia pada angin. 'Angin tolong lihatlah dimana ia sekarang... Kabari aku..' Bersuara lembutlah ia pada bintang 'Bintang bersinarlah...Kalahkan awan gelap...Bimbinglah ia kepangkuanku'
Sepasang matanya yang sayu kini menjelajahi halaman rumahnya. Mencoba menembus jalan gelap di depan rumah. Waktu yang berjalan tiba-tiba terasa berhenti, ketika sesosok tubuh pembuat rindunya muncul. Sesosok tubuh yang telah lama menemani hidupnya, dalam gelap maupun terang.
Kini rindunya sudah terpangkas habis. Dalam gelap ia merasa terang. Himpitan itu telah hilang, dan ia pun merasa menang dari peperangan. Malam ini ia tutup dengan senyum yang tak berhenti.
Memeluk Rindu
Malam ini aku memeluk rindu
Malam ini aku tak mau berkawan dengan sepi
Sepi yang sendiri
Sepi menyedihkanku
Rindu memberikan binar-binar anti kebosanan
Tenggelam didalamnya memberiku senyum-senyum kecil atas kenangan
Manis sekali kenangan itu
Dan aku pun memeluk kenangan
Melupakan sejenak rindu
Melupakan sejenak sepi
Malam ini aku tak mau berkawan dengan sepi
Sepi yang sendiri
Sepi menyedihkanku
Rindu memberikan binar-binar anti kebosanan
Tenggelam didalamnya memberiku senyum-senyum kecil atas kenangan
Manis sekali kenangan itu
Dan aku pun memeluk kenangan
Melupakan sejenak rindu
Melupakan sejenak sepi
Thursday, May 6, 2010
Ujung Langit
Ujung langit saat ini berwarna kemerah-merahan
Hanya bisa dimengerti jika itu di Timur atau itu di Barat
Jika subuh tiba terang yang disambut
Jika senja tiba saatnya malam menutup
Benarkah hidup terbit dan tenggelam
Kapankah rasa merasa
hati mengerti
fikir mencerna
kita terbit
ataukah kita tenggelam
Mampukah mata jiwa melihat mentari waktu
Mampukah jiwa merasa hangatnya terbit yang menuju siang
Mampukah mata jiwa mampu membedakan
Kini saatnya terbit
Ataukah kini saatnya tenggelam
Mampukah fikir mencerna kedepan
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya bangkit dari peraduan
Ataukah saatnya kita ke peraduan
Ujung langit dimanakah dirimu dalam jiwa?
Mestikah aku tanamkan kompas dalam jiwa
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya terbit
Ataukah saatnya tenggelam
Hanya bisa dimengerti jika itu di Timur atau itu di Barat
Jika subuh tiba terang yang disambut
Jika senja tiba saatnya malam menutup
Benarkah hidup terbit dan tenggelam
Kapankah rasa merasa
hati mengerti
fikir mencerna
kita terbit
ataukah kita tenggelam
Mampukah mata jiwa melihat mentari waktu
Mampukah jiwa merasa hangatnya terbit yang menuju siang
Mampukah mata jiwa mampu membedakan
Kini saatnya terbit
Ataukah kini saatnya tenggelam
Mampukah fikir mencerna kedepan
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya bangkit dari peraduan
Ataukah saatnya kita ke peraduan
Ujung langit dimanakah dirimu dalam jiwa?
Mestikah aku tanamkan kompas dalam jiwa
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya terbit
Ataukah saatnya tenggelam
Noktah
Tak dengar
Tak awas
Teracuhkan
Tak melihat
Karena sebiji zarah menutup
Tepat pada horizon
Pandang kedepan ilusi
Sensor diri salah memberi
Meskipun hanya sebiji zarah
Telah membuat alpa
Kelengahan tak disadari
Meskipun fikir jernih dan bening
Semoga sujud membersihkan
Semoga dzikir membersihkan
Hingga alpa tak terjadi
Kelengahan dihindari
Pandang ke depan berpijak pada bumi
Sensor diri alarm sejati
Mendengar
Melihat
Waspada
Jangan biarkan noktah hinggap
Meskipun sebiji zarah
Tak awas
Teracuhkan
Tak melihat
Karena sebiji zarah menutup
Tepat pada horizon
Pandang kedepan ilusi
Sensor diri salah memberi
Meskipun hanya sebiji zarah
Telah membuat alpa
Kelengahan tak disadari
Meskipun fikir jernih dan bening
Semoga sujud membersihkan
Semoga dzikir membersihkan
Hingga alpa tak terjadi
Kelengahan dihindari
Pandang ke depan berpijak pada bumi
Sensor diri alarm sejati
Mendengar
Melihat
Waspada
Jangan biarkan noktah hinggap
Meskipun sebiji zarah
Tuesday, May 4, 2010
Pencarian Hidup
Hatiku yang terluka
Hatiku yang terbuka
Fikirku mendalam kedalam lautan waktu
Fikirku mengelana kedalam kenangan lalu
Mencari dan mencari
Mencari makna
Mencari rasa
Misteri yang tak dapat dicerna dengan indra
Meski mata terbuka entah apa yang dilihat
Meski telinga terbuka entah apa yang didengar
Meski kulit merasa entah apa yang dirasa
Lalu kemanakah aku mesti mencari
Bahkan disetiap sudut bumi telah ku kesana
Bahkan disetiap ujung langkit telah ku kesana
Mungkinkah salah aku mengelana?
Haruskah jiwa yang lebih dipahami?
Haruskah jiwa yang lebih diselami?
Ataukah biar jiwa yang mengelana?
Mengelana ke setiap sudut bumi
Mengelana ke setiap ujung langit
Dan raga terpasung oleh waktu diantara langit dan bumi
Apakah yang harus kucari?
Benarkah realita bisa kupahami
Benarkah realita bisa kuselami
Dan aku tak salah melangkah
Dan aku tak salah membuat
Biarlah yang telah terjadi yang memberi jawab
Yang telah terjadi adalah sejarah yang terpatri
Memberi luka, gembira, silih berganti
Dan duka dan canda ikut memberi
Makna rasa dari yang telah terjadi
Semoga aku mencerna dengan pasti
Bahwa yang kucari dan kulakukan membawaku di bahagia sejati
Hatiku yang terbuka
Fikirku mendalam kedalam lautan waktu
Fikirku mengelana kedalam kenangan lalu
Mencari dan mencari
Mencari makna
Mencari rasa
Misteri yang tak dapat dicerna dengan indra
Meski mata terbuka entah apa yang dilihat
Meski telinga terbuka entah apa yang didengar
Meski kulit merasa entah apa yang dirasa
Lalu kemanakah aku mesti mencari
Bahkan disetiap sudut bumi telah ku kesana
Bahkan disetiap ujung langkit telah ku kesana
Mungkinkah salah aku mengelana?
Haruskah jiwa yang lebih dipahami?
Haruskah jiwa yang lebih diselami?
Ataukah biar jiwa yang mengelana?
Mengelana ke setiap sudut bumi
Mengelana ke setiap ujung langit
Dan raga terpasung oleh waktu diantara langit dan bumi
Apakah yang harus kucari?
Benarkah realita bisa kupahami
Benarkah realita bisa kuselami
Dan aku tak salah melangkah
Dan aku tak salah membuat
Biarlah yang telah terjadi yang memberi jawab
Yang telah terjadi adalah sejarah yang terpatri
Memberi luka, gembira, silih berganti
Dan duka dan canda ikut memberi
Makna rasa dari yang telah terjadi
Semoga aku mencerna dengan pasti
Bahwa yang kucari dan kulakukan membawaku di bahagia sejati
Monday, May 3, 2010
Pertanyaan pada Bayangan
Kenapa engkau menjadi bayangku
Tak pernah aku mampu melupa
Apakah aku harus terus di dalam gelap
Meski mentari mengajakku beranjak
Aku bertanya pada bayangku
Tetapi engkau terbahak
Dan terus mengikutiku
Hingga aku cinta gelap
Bila terang tiba engkau selalu disana
Kemanakah mata harus kupalingkan
Kemanakah tatapku harus menghadap
Jika aku selalu dalam gelap
Sudikah kau pergi
Dan biarkan aku bersahabat dengan mentari
Dan pagi yang kujelang bernafaskan kemerdekaan dalam dadaku
Tetapi semuanya telah menyatu
Dan kemanapun mentari bersinar akan kulihat dirimu dalam bayangku
Tak pernah aku mampu melupa
Apakah aku harus terus di dalam gelap
Meski mentari mengajakku beranjak
Aku bertanya pada bayangku
Tetapi engkau terbahak
Dan terus mengikutiku
Hingga aku cinta gelap
Bila terang tiba engkau selalu disana
Kemanakah mata harus kupalingkan
Kemanakah tatapku harus menghadap
Jika aku selalu dalam gelap
Sudikah kau pergi
Dan biarkan aku bersahabat dengan mentari
Dan pagi yang kujelang bernafaskan kemerdekaan dalam dadaku
Tetapi semuanya telah menyatu
Dan kemanapun mentari bersinar akan kulihat dirimu dalam bayangku
Sunday, May 2, 2010
Cinta Hanya untuk Pemberani
Ketika berpaling dariku
Lara yang kau beri
Memberi duka yang menyakit
Aku tak mengerti kenapa terjadi
Bukankah kita sepakat tentang cinta
Tetapi begitulah adanya
Dan akupun lara
Terpukau dalam sedih hingga sadar
Cinta memang hanya untuk pemberani
Mereka yang tak takut untuk jatuh
Meskipun hati telah bersandar
Meskipun jiwa merasa lengkap
Hingga kau memberi aku hadiah
Hingga kau uji hidupku
Engkau pun pergi
Dan aku tak mampu bertanya
Meski tahuku tak menjawab heranku
Meski aku merasa lemah
Lemah itu tumbuh menguat dalam nadiku
Bahkan ia memberi dingin di tulang-tulangku
Aku tak tahu apakah engkau puas melihatnya
Atau sinis menghiasi bibirmu
Tapi kau keliru jika hidupku tak kuteruskan
Kau keliru jika aku merangkak mengais-ngais sedih
Agar hilang ditelan waktu
Tetapi benar aku sejenak terjatuh
Hingga aku sadar
Cinta hanya untuk pemberani
Lara yang kau beri
Memberi duka yang menyakit
Aku tak mengerti kenapa terjadi
Bukankah kita sepakat tentang cinta
Tetapi begitulah adanya
Dan akupun lara
Terpukau dalam sedih hingga sadar
Cinta memang hanya untuk pemberani
Mereka yang tak takut untuk jatuh
Meskipun hati telah bersandar
Meskipun jiwa merasa lengkap
Hingga kau memberi aku hadiah
Hingga kau uji hidupku
Engkau pun pergi
Dan aku tak mampu bertanya
Meski tahuku tak menjawab heranku
Meski aku merasa lemah
Lemah itu tumbuh menguat dalam nadiku
Bahkan ia memberi dingin di tulang-tulangku
Aku tak tahu apakah engkau puas melihatnya
Atau sinis menghiasi bibirmu
Tapi kau keliru jika hidupku tak kuteruskan
Kau keliru jika aku merangkak mengais-ngais sedih
Agar hilang ditelan waktu
Tetapi benar aku sejenak terjatuh
Hingga aku sadar
Cinta hanya untuk pemberani
Buah Cinta
Buah cinta adalah degup-degup saat mata bertemu
Buah cinta adalah binar-binar mata saat namamu dipanggil
Buah cinta adalah lelah yang tak dirasa
Buah cinta adalah pemakluman akan kesalahan
Bila hati terjalin
Bila sakit dipahami
Bila kelemahan pintu untuk menanam
Bila mencerna mendahului menghakimi
Buah cinta telah ada
Buah cinta adalah senyum dalam amarah
Buah cinta adalah senyum dalam lelah
Buah cinta adalah belaian dalam luka
Buah cinta adalah paradoks-paradoks yang ada
Dan berikan yang terbaik
Dan berikan maaf
Dan berikan ketulusan
Dan berikan pemahaman
Buah cinta telah ada
Buah cinta adalah binar-binar mata saat namamu dipanggil
Buah cinta adalah lelah yang tak dirasa
Buah cinta adalah pemakluman akan kesalahan
Bila hati terjalin
Bila sakit dipahami
Bila kelemahan pintu untuk menanam
Bila mencerna mendahului menghakimi
Buah cinta telah ada
Buah cinta adalah senyum dalam amarah
Buah cinta adalah senyum dalam lelah
Buah cinta adalah belaian dalam luka
Buah cinta adalah paradoks-paradoks yang ada
Dan berikan yang terbaik
Dan berikan maaf
Dan berikan ketulusan
Dan berikan pemahaman
Buah cinta telah ada
Saturday, May 1, 2010
Jemu
Pagi demi pagi
Siang demi siang
Malam demi malam
Dan detik yang terus melaju
Dan menit yang terus melaju
Dan engkau pun jemu mendengarnya
Dan aku pun jemu menuliskannya
Dan kita pun sepakat untuk jemu
Irama ketukan jari tangan mencoba mengusir
Irama ketukan kaki mencoba mengusir
Dia tetap saja datang
Sejinak kucing yang merayu
Seteguh kucing menatap sayu
Diusir hanya berpindah tempat
Diusir pergi untuk kembali
Jemu-jemu aku
Jemu-jemu kulihat diwajahmu
Jemu-jemu kita
Sekantong coklat kesabaran pun dibeli
Dimakan satu persatu
Hingga kesabaran itu tinggal sejarah
Dan kembali irama ketukan jari
Dan kembali irama ketukan kaki
Engkau tersenyum padaku
Mencoba menutupi kejemuanmu
Mencoba menghibur jemunya aku
Dua orang dalam kejemuan
Telah habis memakan coklat kesabaran
Kini hanya bisa saling tersenyum
Aku berbisik padamu
Dan kau bilang 'aku juga'
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan jari
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan kaki
Pergilah jemu pergilah jemu
Kita pun sepakat mengusirnya
Siang demi siang
Malam demi malam
Dan detik yang terus melaju
Dan menit yang terus melaju
Dan engkau pun jemu mendengarnya
Dan aku pun jemu menuliskannya
Dan kita pun sepakat untuk jemu
Irama ketukan jari tangan mencoba mengusir
Irama ketukan kaki mencoba mengusir
Dia tetap saja datang
Sejinak kucing yang merayu
Seteguh kucing menatap sayu
Diusir hanya berpindah tempat
Diusir pergi untuk kembali
Jemu-jemu aku
Jemu-jemu kulihat diwajahmu
Jemu-jemu kita
Sekantong coklat kesabaran pun dibeli
Dimakan satu persatu
Hingga kesabaran itu tinggal sejarah
Dan kembali irama ketukan jari
Dan kembali irama ketukan kaki
Engkau tersenyum padaku
Mencoba menutupi kejemuanmu
Mencoba menghibur jemunya aku
Dua orang dalam kejemuan
Telah habis memakan coklat kesabaran
Kini hanya bisa saling tersenyum
Aku berbisik padamu
Dan kau bilang 'aku juga'
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan jari
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan kaki
Pergilah jemu pergilah jemu
Kita pun sepakat mengusirnya
Kebekuan Kreasi
Terkuras habis rasa
Kreasi tak mau menampakkan diri
Terbiarlah kertas itu kosong
Mungkin sekedar jeda yang diperlukan
Atau eksplorasi diri mendalam
Tetapi kenapa kreasi tak jua menampakkan diri
Tercampaklah ke dalam kotak kebekuan
Bahkan menggoreskan ekspresi tak mampu
Beku
Atau biarkan saja
Menunggu waktu cairnya sekiranya cair
Menunggu waktu munculnya sekiranya muncul
Dimana sumber rasa ada
Mesti dicari dan dirawat
Tetapi siapa sang pemberi
Dan mesti apa agar terawat
Dan mesti apa agar terjaga
Teriaklah batin
'Beri rasa'
'Beri kreasi'
'Beri energi yang meluap-luap'
Dan kebekuan tak akan singgah
Pada siapa meminta?
Mungkin cukup mengeksplorasi diri
Mungkin cukup menyendiri
Atau perlu mencari
Kreasi tak mau menampakkan diri
Terbiarlah kertas itu kosong
Mungkin sekedar jeda yang diperlukan
Atau eksplorasi diri mendalam
Tetapi kenapa kreasi tak jua menampakkan diri
Tercampaklah ke dalam kotak kebekuan
Bahkan menggoreskan ekspresi tak mampu
Beku
Atau biarkan saja
Menunggu waktu cairnya sekiranya cair
Menunggu waktu munculnya sekiranya muncul
Dimana sumber rasa ada
Mesti dicari dan dirawat
Tetapi siapa sang pemberi
Dan mesti apa agar terawat
Dan mesti apa agar terjaga
Teriaklah batin
'Beri rasa'
'Beri kreasi'
'Beri energi yang meluap-luap'
Dan kebekuan tak akan singgah
Pada siapa meminta?
Mungkin cukup mengeksplorasi diri
Mungkin cukup menyendiri
Atau perlu mencari
Friday, April 30, 2010
Rindu yang Menggigit (2) - Godaan
Benarkah mencintai haruslah tak punya ragu
Benarkah mencintai haruslah tak punya sangsi
Benarkah mencintai mampu membuat kuat
Dan sangsi yang membakar percaya
Dan ragu yang membenamkan cinta
Dimanakah kekuatan itu berada
Seberapa dalam ia melindungi hati
Seberapa dalam ia melindungi jiwa
Seberapa dalam ia melindungi kesucian
Benarkah wanita itu terlindungi?
Wanita itu nampak melemah
Kenangan akan suaminya perlahan mulai buyar
Di dalam jiwa tempat cintanya telah terisi keraguan
Di dalam jiwa tempat keyakinan telah terisi sangsi
Siang yang lalu merupakan godaan yang terhebat
Godaan bagi seseorang yang sendiri menanti
Godaan bagi seseorang yang lama menanti
Siang yang lalu adalah kekalahannya pertama pada rindu
Sangsinya telah membuka pertahanannya
Dia tersenyum sepenuh hati pada seorang penggoda
Meskipun hanya memberikan senyuman
Tetapi dia sadar itulah kekalahannya
Dan malam ini ia menyesal sejadi-jadinya
Ada sebuah rasa yang mencoba meraja disetianya
Sebuah rasa yang membuat dirinya merasa rendah
Ia menangis
Pikirannya berperang
Tetapi hatinya tak kuasa
Sang penggoda itu telah menempati hatinya
Sang penggoda itu telah menyusup disebuah ruang tersembunyi
Dan ia bingung menyesal ataukah gembira
Gembira karena hatinya tak kering lagi
Gembira karena ada jiwa yang akan melengkapinya
Gembira karena kesehariannya tak akan kusam
Akan ada warna dalam hidupnya yang monoton
Akan ada binar-binar menyusup dalam setiap pertemuannya
Akan ada binar-binar menyusup setiap sang penggoda memanggil dirinya
Malam itu ia habiskan waktunya untuk bersujud
Rasa yang menyusup itu ingin dibunuhnya
Tetapi ia tak mampu
Dan ia pun memohon pertolongan Sang Penciptanya
Meminta hatinya dibersihkan
Meminta hatinya dibebaskan
Rasa sangsi yang menguat
Rasa cinta yang bersemi dengan sang penggoda
Rasa rindu yang perlahan mati
Rasa setia yang akan terlupakan
Dia takut
Dia bimbang
Dia tahu senyum yang diberikan siang yang lalu adalah puncak gunung es
Senyum hanyalah puncak dari penerimaan dirinya
Dirinya menerima membuka hati untuk sang penggoda
Dirinya yang lain malu menerima kenyataan ini
Dirinya yang lain menyalahkan kelemahannya
Dirinya terbagi-bagi dalam bimbang, sangsi, rindu, setia, kesepian
Berkecamuklah semua
Sepertinya tak ada yang mau mengalah
Meskipun rindu mulai terkikis oleh sangsi
Meskipun setia mulai tak seketat mengikat hatinya
Dan bersujudlah ia kembali
Dan ia pun menutup malam itu dengan doa
'Duhai Sang Penciptaku...matikanlah benih-benih rasa yang menggodaku'
Tertidurlah ia meringkuk di atas sajadah
Biarlah tidurnya menawarkan kelelahannya
Biarlah tidurnya memberi sekedar ruang kosong buat hatinya
Setidaknya hingga pagi datang
Benarkah mencintai haruslah tak punya sangsi
Benarkah mencintai mampu membuat kuat
Dan sangsi yang membakar percaya
Dan ragu yang membenamkan cinta
Dimanakah kekuatan itu berada
Seberapa dalam ia melindungi hati
Seberapa dalam ia melindungi jiwa
Seberapa dalam ia melindungi kesucian
Benarkah wanita itu terlindungi?
Wanita itu nampak melemah
Kenangan akan suaminya perlahan mulai buyar
Di dalam jiwa tempat cintanya telah terisi keraguan
Di dalam jiwa tempat keyakinan telah terisi sangsi
Siang yang lalu merupakan godaan yang terhebat
Godaan bagi seseorang yang sendiri menanti
Godaan bagi seseorang yang lama menanti
Siang yang lalu adalah kekalahannya pertama pada rindu
Sangsinya telah membuka pertahanannya
Dia tersenyum sepenuh hati pada seorang penggoda
Meskipun hanya memberikan senyuman
Tetapi dia sadar itulah kekalahannya
Dan malam ini ia menyesal sejadi-jadinya
Ada sebuah rasa yang mencoba meraja disetianya
Sebuah rasa yang membuat dirinya merasa rendah
Ia menangis
Pikirannya berperang
Tetapi hatinya tak kuasa
Sang penggoda itu telah menempati hatinya
Sang penggoda itu telah menyusup disebuah ruang tersembunyi
Dan ia bingung menyesal ataukah gembira
Gembira karena hatinya tak kering lagi
Gembira karena ada jiwa yang akan melengkapinya
Gembira karena kesehariannya tak akan kusam
Akan ada warna dalam hidupnya yang monoton
Akan ada binar-binar menyusup dalam setiap pertemuannya
Akan ada binar-binar menyusup setiap sang penggoda memanggil dirinya
Malam itu ia habiskan waktunya untuk bersujud
Rasa yang menyusup itu ingin dibunuhnya
Tetapi ia tak mampu
Dan ia pun memohon pertolongan Sang Penciptanya
Meminta hatinya dibersihkan
Meminta hatinya dibebaskan
Rasa sangsi yang menguat
Rasa cinta yang bersemi dengan sang penggoda
Rasa rindu yang perlahan mati
Rasa setia yang akan terlupakan
Dia takut
Dia bimbang
Dia tahu senyum yang diberikan siang yang lalu adalah puncak gunung es
Senyum hanyalah puncak dari penerimaan dirinya
Dirinya menerima membuka hati untuk sang penggoda
Dirinya yang lain malu menerima kenyataan ini
Dirinya yang lain menyalahkan kelemahannya
Dirinya terbagi-bagi dalam bimbang, sangsi, rindu, setia, kesepian
Berkecamuklah semua
Sepertinya tak ada yang mau mengalah
Meskipun rindu mulai terkikis oleh sangsi
Meskipun setia mulai tak seketat mengikat hatinya
Dan bersujudlah ia kembali
Dan ia pun menutup malam itu dengan doa
'Duhai Sang Penciptaku...matikanlah benih-benih rasa yang menggodaku'
Tertidurlah ia meringkuk di atas sajadah
Biarlah tidurnya menawarkan kelelahannya
Biarlah tidurnya memberi sekedar ruang kosong buat hatinya
Setidaknya hingga pagi datang
Labels:
cerita cinta,
cerita puitis,
cinta,
puisi,
puisi cinta,
rindu,
RYM2
Cermin Jiwa
Mencari cermin bagi kembaran maya jiwa
Mencari sesuatu yang tak pernah tahu tentang diri
Agar menjadi yang lebih baik
Agar noktah-noktah dosa tersucikan
Tapi dimanakah kan kudapatkan
Adakah yang mau berbagi?
Adakah yang mau memberi?
Benarkah cermin jiwa adalah mendengar?
Mendengar...dan mendengar...?
Membuka hati suara yang menyakitkan?
Membuka hati suara yang menyudutkan?
Ah...cermin jiwa datanglah
Datanglah padaku yang sedang mencari
Mencari diri yang ingin menjadi lebih baik
Mencari noktah-noktah yang hendak disucikan
Jika benar harus mendengar
Maka aku akan mendengar
Jika benar hati tersakiti
Biarlah hati ini tersakiti
Jika benar harus tersudut
Biarlah aku tersudut
Dan biarlah kembaran maya jiwaku tertangkap mata hati
Hingga aku bisa memperbaiki
Dan noktah-noktah ini pergi
Benarkah cermin jiwa adalah menghitung diri?
Menghitung kebajikan?
Menghitung keburukan?
Ah...cermin jiwa singgahlah dihatiku
Biarkan ku memiliki mu
Agar aku senantiasa berbuat kebajikan
Agar aku senantiasa tak berbuat keburukan
Jika benar harus berhitung
Biarlah diri ini ingin menjadi ahli berhitung
Tetapi apakah yang akan kuhitung
Bahkan biji zarah pun tak nampak
Bahkan kemana jatuhnya timbangan ku tak tahu
Takutku akan pembenaran-pembenaran terhadap yang salah
Takutku akan ketenangan-ketenangan palsu yang luput dari mata
Tetapi biarlah kuhitung
Agar diri belajar waspada
Agar diri senantiasa ingat
Jika benar harus dihitung
Biarlah diri menghitung dengan segala kerendahan diri pada Sang Maha Hisab
Ah..cermin jiwa menetaplah dihatiku
Biarkan hadirmu melengkapiku
Aamiin.
Mencari sesuatu yang tak pernah tahu tentang diri
Agar menjadi yang lebih baik
Agar noktah-noktah dosa tersucikan
Tapi dimanakah kan kudapatkan
Adakah yang mau berbagi?
Adakah yang mau memberi?
Benarkah cermin jiwa adalah mendengar?
Mendengar...dan mendengar...?
Membuka hati suara yang menyakitkan?
Membuka hati suara yang menyudutkan?
Ah...cermin jiwa datanglah
Datanglah padaku yang sedang mencari
Mencari diri yang ingin menjadi lebih baik
Mencari noktah-noktah yang hendak disucikan
Jika benar harus mendengar
Maka aku akan mendengar
Jika benar hati tersakiti
Biarlah hati ini tersakiti
Jika benar harus tersudut
Biarlah aku tersudut
Dan biarlah kembaran maya jiwaku tertangkap mata hati
Hingga aku bisa memperbaiki
Dan noktah-noktah ini pergi
Benarkah cermin jiwa adalah menghitung diri?
Menghitung kebajikan?
Menghitung keburukan?
Ah...cermin jiwa singgahlah dihatiku
Biarkan ku memiliki mu
Agar aku senantiasa berbuat kebajikan
Agar aku senantiasa tak berbuat keburukan
Jika benar harus berhitung
Biarlah diri ini ingin menjadi ahli berhitung
Tetapi apakah yang akan kuhitung
Bahkan biji zarah pun tak nampak
Bahkan kemana jatuhnya timbangan ku tak tahu
Takutku akan pembenaran-pembenaran terhadap yang salah
Takutku akan ketenangan-ketenangan palsu yang luput dari mata
Tetapi biarlah kuhitung
Agar diri belajar waspada
Agar diri senantiasa ingat
Jika benar harus dihitung
Biarlah diri menghitung dengan segala kerendahan diri pada Sang Maha Hisab
Ah..cermin jiwa menetaplah dihatiku
Biarkan hadirmu melengkapiku
Aamiin.
Labels:
cermin,
jiwa,
puisi,
puisi absurd,
puisi islam
Thursday, April 29, 2010
Kuukir Cinta di Pasir
Setiap hari setiap saat kucoba mengukir cinta di pasir
Tak pernah lelah mencoba
Tak pernah berputus asa kuukir cinta di pasir
Dan ombak menghapusnya tanpa peduli
Dan ombak yang berkawan dengan waktu itu tak peduli
Ia memang mencari pantai
Menghapus semua yang tertulis di pasir
Ia memang tak peduli
Ia memang tak mampu menahan diri
Pantai adalah dambaannya
Sedangkan kata cintaku tak dipandangnya
Sedangkan kata cintaku tak dibacanya
Kata cintaku hanyalah permainan ombak
Dimanakah mesti kutulis cintaku?
Salahkah aku menulisnya di pasir?
Mampukah aku mengukirnya di karang?
Yang tegar menghadapi ombak
Deburan demi deburan
Dan kata cintaku tertulis di situ sepanjang waktuku
Tapi...maukah aku?
Yakinkah aku?
Mungkin memang aku yang ingin
Mungkin memang aku yang mau
Mungkin memang aku yang sengaja
Menulisnya di atas pasir
Waktu demi waktu
Saat demi saat
Hingga aku tak mampu
Tak pernah lelah mencoba
Tak pernah berputus asa kuukir cinta di pasir
Dan ombak menghapusnya tanpa peduli
Dan ombak yang berkawan dengan waktu itu tak peduli
Ia memang mencari pantai
Menghapus semua yang tertulis di pasir
Ia memang tak peduli
Ia memang tak mampu menahan diri
Pantai adalah dambaannya
Sedangkan kata cintaku tak dipandangnya
Sedangkan kata cintaku tak dibacanya
Kata cintaku hanyalah permainan ombak
Dimanakah mesti kutulis cintaku?
Salahkah aku menulisnya di pasir?
Mampukah aku mengukirnya di karang?
Yang tegar menghadapi ombak
Deburan demi deburan
Dan kata cintaku tertulis di situ sepanjang waktuku
Tapi...maukah aku?
Yakinkah aku?
Mungkin memang aku yang ingin
Mungkin memang aku yang mau
Mungkin memang aku yang sengaja
Menulisnya di atas pasir
Waktu demi waktu
Saat demi saat
Hingga aku tak mampu
Wednesday, April 28, 2010
Sebenih Zarah
Dalam gelap tanpa arah
Dalam hampa tanpa suara
Hanya hati yang melihat
Dan lentera pun menyala
Meskipun tak padam tertelan gelap
Berharap tak padam terkena godaan
Semakin kuat setelah cobaan
Meredup ketika kebimbangan menyerang
Menyalalah tetap
Biarlah doa yang melindungi
Biarlah dzikir menjadi minyaknya
Biarlah puasa menyalangkannya
Begitulah harapan yang kutanam
Meskipun hanya sebenih zarah
Sederhana kupinta
Kepada Mu yang Maha Kaya
Dalam hampa tanpa suara
Hanya hati yang melihat
Dan lentera pun menyala
Meskipun tak padam tertelan gelap
Berharap tak padam terkena godaan
Semakin kuat setelah cobaan
Meredup ketika kebimbangan menyerang
Menyalalah tetap
Biarlah doa yang melindungi
Biarlah dzikir menjadi minyaknya
Biarlah puasa menyalangkannya
Begitulah harapan yang kutanam
Meskipun hanya sebenih zarah
Sederhana kupinta
Kepada Mu yang Maha Kaya
Dan Hidup (2)
Benih yang tertanam
Tetes demi tetes membasahinya
Hari demi hari terlindungi
Perlahan demi perlahan akarnya menguat
Perlahan demi perlahan tunasnya tumbuh
Berkembang
Menguat
Tumbuh
....dan hidup
Tetes demi tetes membasahinya
Hari demi hari terlindungi
Perlahan demi perlahan akarnya menguat
Perlahan demi perlahan tunasnya tumbuh
Berkembang
Menguat
Tumbuh
....dan hidup
Tuesday, April 27, 2010
Waktu yang Memberi
Menanti dalam relung waktu
Termangu dan termangu
Seperti boneka dengan per dileher
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Bukan mengiyakan
Bukan mencela
Hanya seperti itu apa adanya
Berusaha memahami apa yang tak dipahami
Pertanyaan sudah tak diperlukan
Jawaban sudah tak perlu dicari
Karena dalam relung waktu jawaban dan pertanyaan hanyalah alasan
Alasan bagimu
Alasan bagiku
Mungkin kini saatnya
Menikmati apa yang ada
Mensyukuri apa yang diberi
Dan waktu memperkaya kita
Dan waktu menelanjangi kita
Apa adanya
Dan apa pun adanya biarlah waktu yang memberi
Terlepas apa pertanyaanmu
Terlepas apa jawabanku
Jangan kau beri aku tanya
Dan aku tak akan memberimu jawab
Sekali lagi biarlah waktu yang memberi
Biarlah waktu yang menjawab kebimbangan kita
Biarlah waktu yang mempererat kita
Biarlah waktu yang menguji kita
Hingga kita tahu
Hingga kita memahami
Diriku dan dirimu adanya
Termangu dan termangu
Seperti boneka dengan per dileher
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Bukan mengiyakan
Bukan mencela
Hanya seperti itu apa adanya
Berusaha memahami apa yang tak dipahami
Pertanyaan sudah tak diperlukan
Jawaban sudah tak perlu dicari
Karena dalam relung waktu jawaban dan pertanyaan hanyalah alasan
Alasan bagimu
Alasan bagiku
Mungkin kini saatnya
Menikmati apa yang ada
Mensyukuri apa yang diberi
Dan waktu memperkaya kita
Dan waktu menelanjangi kita
Apa adanya
Dan apa pun adanya biarlah waktu yang memberi
Terlepas apa pertanyaanmu
Terlepas apa jawabanku
Jangan kau beri aku tanya
Dan aku tak akan memberimu jawab
Sekali lagi biarlah waktu yang memberi
Biarlah waktu yang menjawab kebimbangan kita
Biarlah waktu yang mempererat kita
Biarlah waktu yang menguji kita
Hingga kita tahu
Hingga kita memahami
Diriku dan dirimu adanya
Monday, April 26, 2010
Rindu yang Menggigit (1) - Dua Bulan Purnama Menanti
Ketika matahari mulai lelah dihari itu
Dan tenggelam secara perlahan memberi gelap
Bulan dan bintang pun menghiasi malam
Sesosok tubuh wanita yang terbalut dengan kain
Menutup setiap jengkal auratnya dengan rapi
Memanjatkan doa kerinduan pada penciptanya
Dengan lembut dan sepenuh hati ia berucap:
'Duhai penciptaku tak tertahankan rindu ini di hati'
'Rindu ini menggigiti semua jengkal jiwaku'
'Tak menyisakan ketegaran untuk melangkah'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku bertahan'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku tetap berharap'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang mengikatku pada kata setia'
Dan ia pun mengakhiri keluhannya dengan berlinang kerinduan
Tubuhnya telah lama sendiri tak dipagut
Tubuhnya telah lama sendiri berjauhan dari suaminya
Yang pergi mencari kesempatan yang lebih baik bagi mereka
Yang pergi dengan harapan memanen cita-cita
Cita-cita yang diberi nama berkecukupan
Cita-cita yang diberi nama bebas dari hutang
Cita-cita melawan ketidakpastian dalam hidup
Sudah dua bulan lamanya rindu belum terhapuskan
Bahkan oleh SMS-SMS yang paling mesra yang pernah dibuat
Dirinya sakit
Sakit rindu yang berat
Bahkan bila malam mulai merambat
Tubuhnya menggigil
Tulangnya ngilu
Hatinya gundah gulana
Dan ia pun bertambat pada Penciptanya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam hatinya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam raganya
Malam itu tepat dua bulan purnama ia sendiri
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan jernihnya akal
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan nurani sucinya
Ia biarkan matanya menelusuri langit-langit
Ia biarkan pikirannya mengumpulkan semua kenangan suaminya
Dan ia pun semakin sakit
Dan ia pun semakin rindu
Dan ia pun memanggil nama suaminya lirih
Dan ia pun memanggil Sang Penciptanya untuk mengeluh
Air mata rindunya menetes
Malam itu bantal basahnya menemaninya hingga subuh
Kelelahan dalam rindu yang membuatnya tidur
Sejenak terlupa sakitnya rindu
Pagi menjelang dan iapun bekerja
Ditempat kerja ia tak pernah bisa berkonsentrasi
Ditempat kerja ia berusaha membenamkan rindunya
Ditempat kerja ia berusaha menjadi sehat
Pekerjaan yang ada dijadikannya obat
Tetapi.....
Detik demi detik
Menit demi menit
Jam demi jam
Dilaluinya dengan kenangan-kenangan yang memenuhi ruang fikirnya
Tak ada tempat baginya untuk lari
Tak ada tempat baginya ruang bebas
Bahkan dengan pekerjaan yang menumpuk
Bahkan dengan pekerjaan yang menyita waktu
Ia dimakan bulat-bulat oleh rindu yang menggigit
Terkadang matanya menatap kosong
Terkadang mulutnya bergumam nama suaminya
Terkadang ia menjatuhkan sesuatu
Ia merasa sendiri
Ia merasa sepi
Meski tak sendiri
Meski tak menyendiri
Dan kini telah dua bulan purnama ia menanti
Ia semakin tak dapat mengendalikan diri
Ia semakin merasa tak menentu
Apakah karena penantian sekian lama
Apakah karena dua bulan purnama?
Dan tenggelam secara perlahan memberi gelap
Bulan dan bintang pun menghiasi malam
Sesosok tubuh wanita yang terbalut dengan kain
Menutup setiap jengkal auratnya dengan rapi
Memanjatkan doa kerinduan pada penciptanya
Dengan lembut dan sepenuh hati ia berucap:
'Duhai penciptaku tak tertahankan rindu ini di hati'
'Rindu ini menggigiti semua jengkal jiwaku'
'Tak menyisakan ketegaran untuk melangkah'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku bertahan'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku tetap berharap'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang mengikatku pada kata setia'
Dan ia pun mengakhiri keluhannya dengan berlinang kerinduan
Tubuhnya telah lama sendiri tak dipagut
Tubuhnya telah lama sendiri berjauhan dari suaminya
Yang pergi mencari kesempatan yang lebih baik bagi mereka
Yang pergi dengan harapan memanen cita-cita
Cita-cita yang diberi nama berkecukupan
Cita-cita yang diberi nama bebas dari hutang
Cita-cita melawan ketidakpastian dalam hidup
Sudah dua bulan lamanya rindu belum terhapuskan
Bahkan oleh SMS-SMS yang paling mesra yang pernah dibuat
Dirinya sakit
Sakit rindu yang berat
Bahkan bila malam mulai merambat
Tubuhnya menggigil
Tulangnya ngilu
Hatinya gundah gulana
Dan ia pun bertambat pada Penciptanya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam hatinya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam raganya
Malam itu tepat dua bulan purnama ia sendiri
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan jernihnya akal
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan nurani sucinya
Ia biarkan matanya menelusuri langit-langit
Ia biarkan pikirannya mengumpulkan semua kenangan suaminya
Dan ia pun semakin sakit
Dan ia pun semakin rindu
Dan ia pun memanggil nama suaminya lirih
Dan ia pun memanggil Sang Penciptanya untuk mengeluh
Air mata rindunya menetes
Malam itu bantal basahnya menemaninya hingga subuh
Kelelahan dalam rindu yang membuatnya tidur
Sejenak terlupa sakitnya rindu
Pagi menjelang dan iapun bekerja
Ditempat kerja ia tak pernah bisa berkonsentrasi
Ditempat kerja ia berusaha membenamkan rindunya
Ditempat kerja ia berusaha menjadi sehat
Pekerjaan yang ada dijadikannya obat
Tetapi.....
Detik demi detik
Menit demi menit
Jam demi jam
Dilaluinya dengan kenangan-kenangan yang memenuhi ruang fikirnya
Tak ada tempat baginya untuk lari
Tak ada tempat baginya ruang bebas
Bahkan dengan pekerjaan yang menumpuk
Bahkan dengan pekerjaan yang menyita waktu
Ia dimakan bulat-bulat oleh rindu yang menggigit
Terkadang matanya menatap kosong
Terkadang mulutnya bergumam nama suaminya
Terkadang ia menjatuhkan sesuatu
Ia merasa sendiri
Ia merasa sepi
Meski tak sendiri
Meski tak menyendiri
Dan kini telah dua bulan purnama ia menanti
Ia semakin tak dapat mengendalikan diri
Ia semakin merasa tak menentu
Apakah karena penantian sekian lama
Apakah karena dua bulan purnama?
Labels:
cerita cinta,
cerita puitis,
cinta,
puisi,
puisi cinta,
purnama,
rindu,
RYM1
Sunday, April 25, 2010
Tinggi Aku Mendongak
Fikirku tak mengakar di bumi
Khayalan memenuhi tiap sudut benak
Dan kenyataan telah hilang jauh terlupakan
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Jalan hidup di depan hanyalah waktu yang sengaja akan dilupakan
Jalan hidup yang lalu hanyalah kenangan yang tak ingin dikunjungi lagi
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Kerikil-kerikil peringatan yang menyandungku tak kuanggap
Hidup adalah khayalan yang tak pernah usai
Dan aku adalah rajanya para tukang khayal
Khayalan memenuhi tiap sudut benak
Dan kenyataan telah hilang jauh terlupakan
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Jalan hidup di depan hanyalah waktu yang sengaja akan dilupakan
Jalan hidup yang lalu hanyalah kenangan yang tak ingin dikunjungi lagi
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Kerikil-kerikil peringatan yang menyandungku tak kuanggap
Hidup adalah khayalan yang tak pernah usai
Dan aku adalah rajanya para tukang khayal
Saturday, April 24, 2010
Doa Malam
Dalam serengkuh doa
Terucap lafadz yang larut
Larut dalam khusyu
Larut dalam sujud
Dan malam ikut mendengarnya
Enggan mencibirnya
Meskipun doa seremeh kambing
Dia Maha Mendengar
Dalam bisikan lembut
Terdengar nada harap
Diantara keputusasaan yang timbul tenggelam
Nampaknya kepasrahan memimpin
Mencari sandaran
Melebihi dada bidang suaminya
Melebihi kelembutan pelukan ibunya
Dia tempat bersandar
Keinginan yang kuat mengantarnya berdoa
Keinginan yang kuat mengantarnya bersandar
Tatapnya ke langit
Tangannya memohon
Air matanya menetes
Ditutupnya dengan ucapan 'Ya Allah'
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Terucap lafadz yang larut
Larut dalam khusyu
Larut dalam sujud
Dan malam ikut mendengarnya
Enggan mencibirnya
Meskipun doa seremeh kambing
Dia Maha Mendengar
Dalam bisikan lembut
Terdengar nada harap
Diantara keputusasaan yang timbul tenggelam
Nampaknya kepasrahan memimpin
Mencari sandaran
Melebihi dada bidang suaminya
Melebihi kelembutan pelukan ibunya
Dia tempat bersandar
Keinginan yang kuat mengantarnya berdoa
Keinginan yang kuat mengantarnya bersandar
Tatapnya ke langit
Tangannya memohon
Air matanya menetes
Ditutupnya dengan ucapan 'Ya Allah'
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Cerita Cinta yang Lara (4) - Terbang-terbanglah Puisiku
Dikenangnya luka hatinya yang dalam
Dihapusnya dengan membaca dan membaca
Puisi-pusinya yang 100 itu
Puisi-puisinya teman-temannya
Dalam mengusir luka yang kadang-kadang tertiup
Dalam mengusir sepi yang kadang-kadang singgah
Dibawanya kemana-kemana 100 puisinya
Mengelilingi lembah edelweis yang indah
Bercampur baur dengan penduduk desa
Bahkan pergi ke kota untuk keperluan sehari-harinya
Tak pernah lepas dari tubuhnya
Tak pernah lepas bergumam mulutnya merapal
Puisi-puisinya teman-temannya
Cintanya yang pedih rupanya perlahan sirna
Semangat hidupnya kembali terpompa
Dan ia berjalan di jalan hidup yang tak sedih lagi
Ia membawa 100 puisi
Ia mempunyai 100 optimisme
Ia mempunyai 100 harapan
Bahkan ia tergerak untuk membagikan puisi-puisinya
Agar dunia tahu apa yang ia rasakan
Agar dunia tahu dirinya sudah bangkit
Dan kini dia termangu di kaki lembah
Memandang sebuah sungai yang mengalir bening
Tak jemu matanya mengikuti aliran air
Datang dan pergi tak berhenti
Serupa cinta, sedih, dan hampa yang kini ia rasa
Tersenyumlah ia sendiri dan bergumam padaku
'Kapankah cintaku datang lagi ?'
'Sanggupkah aku?'
Bergeraklah kakinya ke tepi sungai
Berpijak pada sebuah batu besar, tangannya menyentuh air yang dingin
Dan ia membiarkan khayalannya tak berpijak
Menerawang alam tanpa batas
Hingga tersentak kembali ke bumi
'Aku harus menyebarkan harapku'
'Aku harus mneyebarkan karyaku'
Dia pun berlari kembali ke rumah
Kembali dengan dirinya dan ide-idenya
Dia pergi ke pasar sejenak
Mencari sesuatu yang membebani fikirnya
Mencari sesuatu yang harus ia dapatkan
Dan membiarkan malam mengantarkannya kembali ke rumah
Kembali ke rumah bersama ide-idenya
Kembali ke rumah dengan harapan barunya
Kembali ke rumah dengan cita-cita barunya
Ia pun memasuki rumahnya
Dan pada pintu yang berderit ia berucap:
'Aku harus menyebarkan karyaku'
Obsesi ataukah optimisme yang menjalar
Ataukah keduanya memang sudah saling bergandeng tangan merasukinya
Merasuki alam bawah sadarnya
Merasuki luka-luka yang perlahan sirna
Pagi menjelang Soetrisno tampak segar kembali
Darah optimisme dan obsesi sudah terpompa ke jantung
Semangatnya berkobar memanas nyalang berbinar dimatanya
Dipandangnya 100 balon gas berwarna-warni siap ia terbangkan
Disetiapnya terikat puisi-puisinya
Ah rupanya ia ingin menerbangkannya
Ia ingin menyebarkannya
Ia ingin berteriak lantang dengan tintanya
Ia ingin berteriak lantang bahwa dia tidak dikalahkan oleh cinta
Dan ia pun membawa keluar 100 balon gas itu
Dilepaskannya ke udara dan berkata:
'Terbang-terbanglah puisiku....'
'Bawalah pergi hatiku yang pedih...'
'Tinggalkan harapan didadaku...'
'Terbang-terbanglah puisiku...'
'Katakan pada dunia Soetrisno menemukan cinta yang lebih baik'
(TAMAT)
Dihapusnya dengan membaca dan membaca
Puisi-pusinya yang 100 itu
Puisi-puisinya teman-temannya
Dalam mengusir luka yang kadang-kadang tertiup
Dalam mengusir sepi yang kadang-kadang singgah
Dibawanya kemana-kemana 100 puisinya
Mengelilingi lembah edelweis yang indah
Bercampur baur dengan penduduk desa
Bahkan pergi ke kota untuk keperluan sehari-harinya
Tak pernah lepas dari tubuhnya
Tak pernah lepas bergumam mulutnya merapal
Puisi-puisinya teman-temannya
Cintanya yang pedih rupanya perlahan sirna
Semangat hidupnya kembali terpompa
Dan ia berjalan di jalan hidup yang tak sedih lagi
Ia membawa 100 puisi
Ia mempunyai 100 optimisme
Ia mempunyai 100 harapan
Bahkan ia tergerak untuk membagikan puisi-puisinya
Agar dunia tahu apa yang ia rasakan
Agar dunia tahu dirinya sudah bangkit
Dan kini dia termangu di kaki lembah
Memandang sebuah sungai yang mengalir bening
Tak jemu matanya mengikuti aliran air
Datang dan pergi tak berhenti
Serupa cinta, sedih, dan hampa yang kini ia rasa
Tersenyumlah ia sendiri dan bergumam padaku
'Kapankah cintaku datang lagi ?'
'Sanggupkah aku?'
Bergeraklah kakinya ke tepi sungai
Berpijak pada sebuah batu besar, tangannya menyentuh air yang dingin
Dan ia membiarkan khayalannya tak berpijak
Menerawang alam tanpa batas
Hingga tersentak kembali ke bumi
'Aku harus menyebarkan harapku'
'Aku harus mneyebarkan karyaku'
Dia pun berlari kembali ke rumah
Kembali dengan dirinya dan ide-idenya
Dia pergi ke pasar sejenak
Mencari sesuatu yang membebani fikirnya
Mencari sesuatu yang harus ia dapatkan
Dan membiarkan malam mengantarkannya kembali ke rumah
Kembali ke rumah bersama ide-idenya
Kembali ke rumah dengan harapan barunya
Kembali ke rumah dengan cita-cita barunya
Ia pun memasuki rumahnya
Dan pada pintu yang berderit ia berucap:
'Aku harus menyebarkan karyaku'
Obsesi ataukah optimisme yang menjalar
Ataukah keduanya memang sudah saling bergandeng tangan merasukinya
Merasuki alam bawah sadarnya
Merasuki luka-luka yang perlahan sirna
Pagi menjelang Soetrisno tampak segar kembali
Darah optimisme dan obsesi sudah terpompa ke jantung
Semangatnya berkobar memanas nyalang berbinar dimatanya
Dipandangnya 100 balon gas berwarna-warni siap ia terbangkan
Disetiapnya terikat puisi-puisinya
Ah rupanya ia ingin menerbangkannya
Ia ingin menyebarkannya
Ia ingin berteriak lantang dengan tintanya
Ia ingin berteriak lantang bahwa dia tidak dikalahkan oleh cinta
Dan ia pun membawa keluar 100 balon gas itu
Dilepaskannya ke udara dan berkata:
'Terbang-terbanglah puisiku....'
'Bawalah pergi hatiku yang pedih...'
'Tinggalkan harapan didadaku...'
'Terbang-terbanglah puisiku...'
'Katakan pada dunia Soetrisno menemukan cinta yang lebih baik'
(TAMAT)
Labels:
balon,
CCL(4),
cerita cinta,
cinta,
motivasi,
puisi,
puisi cinta
Ruang Romantis
Dalam relung hatiku selalu ada ruang romantis
Yang dipenuhi dengan cahaya kemesraan
Disinari dengan pelita yang tak pernah padam
Hangat dan menenangkanmu
Menunjukkan kita sekira gelap menghadang
Menunjukkan kita sekira kata-kata setajam pisau
Dan kita pun berdua merasa makna maaf
Aku akan menjaga pintunya
Aku akan merawat ruangannya
Dan akan kutanam bunga-bunga sayang
Yang wanginya bukan sesaat
Kita pun tak sungkan hadir di sana
Bukan sekedar pengusir penat
Bukan sekedar pertemuan tanpa rasa
Dalam keseharian yang merobotkan kita
Tetapi dua jiwa yang memaknai cinta
Dalam ruangan milik kita
Hanya milik kita
Dalam hatiku, ruang romantis untukmu
Yang dipenuhi dengan cahaya kemesraan
Disinari dengan pelita yang tak pernah padam
Hangat dan menenangkanmu
Menunjukkan kita sekira gelap menghadang
Menunjukkan kita sekira kata-kata setajam pisau
Dan kita pun berdua merasa makna maaf
Aku akan menjaga pintunya
Aku akan merawat ruangannya
Dan akan kutanam bunga-bunga sayang
Yang wanginya bukan sesaat
Kita pun tak sungkan hadir di sana
Bukan sekedar pengusir penat
Bukan sekedar pertemuan tanpa rasa
Dalam keseharian yang merobotkan kita
Tetapi dua jiwa yang memaknai cinta
Dalam ruangan milik kita
Hanya milik kita
Dalam hatiku, ruang romantis untukmu
Labels:
cinta,
puisi,
puisi absurd,
puisi cinta,
romantis,
ruang romantis
Friday, April 23, 2010
Cerita Cinta yang Lara (3) - 100 Puisi
Kaki langit telah memecahkan telur mentari
Dan warna gelap pergi terusir oleh binarnya
Soetrisno menegakkan dirinya dari pembaringan
Kini sinar duka yang berbinar suram telah mulai sirna
Rupanya ia telah menemukan sebuah pijakan harapan
Atau ia telah mampu menutup lukanya
Atau ia telah sejenak lupa akan lukanya
Menghampiri meja tempat ia berkarya
Ia pun menatapku dan berkata
'Sakit ini berkurang setiap aku menulis puisi'
'Aku akan menulis 100 puisi'
'Aku akan mengusir rasa sakitku dengan 100 puisi'
Ia pun tersenyum
Ia pun berlinangan air mata
Meski tak sederas dulu
Meski tak selemah dulu
Cintanya masih memberinya hadiah berbentuk kepedihan
Kepedihan itu akan dikeluarkan dari dadanya
Kepedihan itu akan diukirnya dalam puisi
Kepedihan itu akan ditanamnya dengan tinta ke dalam kertas-kertasnya
Agar ia bisa melanjutkan hidup
Agar hidupnya dapat diwarnai lagi
Mungkin dengan cinta yang lain
Mungkin dengan cita-cita yang lain
Mungkin dengan harapan-harapan yang lain
Dia sudah berniat
Dan kini ia sibuk bergulat
Mengeluarkan kepedihannya
Yang terkunci rapat meskipun ia sudah menumpahkannya dalam genangan air mata
Tangannya sibuk menari-nari
Menggoreskan kepedihan demi kepedihan
Matanya sudah mulai tak berair
Apakah ia tak sedih lagi ataukah telah kering dan habis air matanya
Tapi ia tak kan pernah peduli dengan pertanyaan itu
Ia hanya ingin menulis dan menulis
Hingga semua kepedihannya berpindah ke atas kertas
Hanya itu yang ia harapkan
Dan hanya itu yang kini ia kerjakan
Hari demi hari
Malam demi malam
Ia terus mengukir kesedihannya
Ia terus mengeringkan air matanya
Ia terus menyembuhkan lukanya
Hingga puisi ke 100
Hingga karyanya yang ke 100
Hingga akhirnya air matanya dapat ia tahan
Hingga ia merasakan lelah yang luar biasa
Tetapi ia tersenyum
Ia tersenyum dengan sepenuh hati
Ia tersenyum menunjukkan kepuasan
Ia tersenyum merasa sebagai jiwa yang sehat
Ia tersenyum karena ia akhirnya bisa merasakan senyum
Cintanya memberi hadiah kepedihan
Kepedihan menghadiahinya senyuman terindah
Kepedihan menghadiahinya 100 puisi
Digenggamnya 100 lembar puisi-puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan perlahan
Dibacanya satu demi satu dengan penuh rasa
Dibacanya satu demi satu dengan senyuman disetiap akhir puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan binar-binar kehidupan
Dan matanya tak sembab lagi
Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya
Terbahak-bahak tiba-tiba
Dalam kesendiriannya ia tertawa setelah menangis
'Ah lepas juga beban ini.... aku bebas'
'Kepedihanku berbuah 100 puisi'
Dan warna gelap pergi terusir oleh binarnya
Soetrisno menegakkan dirinya dari pembaringan
Kini sinar duka yang berbinar suram telah mulai sirna
Rupanya ia telah menemukan sebuah pijakan harapan
Atau ia telah mampu menutup lukanya
Atau ia telah sejenak lupa akan lukanya
Menghampiri meja tempat ia berkarya
Ia pun menatapku dan berkata
'Sakit ini berkurang setiap aku menulis puisi'
'Aku akan menulis 100 puisi'
'Aku akan mengusir rasa sakitku dengan 100 puisi'
Ia pun tersenyum
Ia pun berlinangan air mata
Meski tak sederas dulu
Meski tak selemah dulu
Cintanya masih memberinya hadiah berbentuk kepedihan
Kepedihan itu akan dikeluarkan dari dadanya
Kepedihan itu akan diukirnya dalam puisi
Kepedihan itu akan ditanamnya dengan tinta ke dalam kertas-kertasnya
Agar ia bisa melanjutkan hidup
Agar hidupnya dapat diwarnai lagi
Mungkin dengan cinta yang lain
Mungkin dengan cita-cita yang lain
Mungkin dengan harapan-harapan yang lain
Dia sudah berniat
Dan kini ia sibuk bergulat
Mengeluarkan kepedihannya
Yang terkunci rapat meskipun ia sudah menumpahkannya dalam genangan air mata
Tangannya sibuk menari-nari
Menggoreskan kepedihan demi kepedihan
Matanya sudah mulai tak berair
Apakah ia tak sedih lagi ataukah telah kering dan habis air matanya
Tapi ia tak kan pernah peduli dengan pertanyaan itu
Ia hanya ingin menulis dan menulis
Hingga semua kepedihannya berpindah ke atas kertas
Hanya itu yang ia harapkan
Dan hanya itu yang kini ia kerjakan
Hari demi hari
Malam demi malam
Ia terus mengukir kesedihannya
Ia terus mengeringkan air matanya
Ia terus menyembuhkan lukanya
Hingga puisi ke 100
Hingga karyanya yang ke 100
Hingga akhirnya air matanya dapat ia tahan
Hingga ia merasakan lelah yang luar biasa
Tetapi ia tersenyum
Ia tersenyum dengan sepenuh hati
Ia tersenyum menunjukkan kepuasan
Ia tersenyum merasa sebagai jiwa yang sehat
Ia tersenyum karena ia akhirnya bisa merasakan senyum
Cintanya memberi hadiah kepedihan
Kepedihan menghadiahinya senyuman terindah
Kepedihan menghadiahinya 100 puisi
Digenggamnya 100 lembar puisi-puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan perlahan
Dibacanya satu demi satu dengan penuh rasa
Dibacanya satu demi satu dengan senyuman disetiap akhir puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan binar-binar kehidupan
Dan matanya tak sembab lagi
Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya
Terbahak-bahak tiba-tiba
Dalam kesendiriannya ia tertawa setelah menangis
'Ah lepas juga beban ini.... aku bebas'
'Kepedihanku berbuah 100 puisi'
Labels:
CCL(3),
cerita cinta,
cerita puitis,
puisi,
puisi cinta
Menyembah
Aku sujud di depan Ka'bah
Dengan degup diri merendah
Dengan jiwa hamba yang rebah
Biar kesombongan musnah
Sehingga hati senantiasa pasrah
Meskipun juang tak kenal lelah
Aku sujud menyembah
Pada Tuhanku yang kusebut Allah
Pada dzat yang menguasai tanah
Pada dzat yang menguasai lembah
Pada dzat yang memberi berkah
Supaya aku tak serakah
Meski juang di depan pasrah
Aku sujud menyembah
Kepala di atas kini menyentuh tanah
Berharap baik dalam berkiprah
Memohon perlindungan dari musibah
Allah inilah aku jiwa dari tanah
Berdoa kepada Mu dengan segenap sembah
Catatlah kami di tempat yang indah
Aamiin.
Dengan degup diri merendah
Dengan jiwa hamba yang rebah
Biar kesombongan musnah
Sehingga hati senantiasa pasrah
Meskipun juang tak kenal lelah
Aku sujud menyembah
Pada Tuhanku yang kusebut Allah
Pada dzat yang menguasai tanah
Pada dzat yang menguasai lembah
Pada dzat yang memberi berkah
Supaya aku tak serakah
Meski juang di depan pasrah
Aku sujud menyembah
Kepala di atas kini menyentuh tanah
Berharap baik dalam berkiprah
Memohon perlindungan dari musibah
Allah inilah aku jiwa dari tanah
Berdoa kepada Mu dengan segenap sembah
Catatlah kami di tempat yang indah
Aamiin.
Thursday, April 22, 2010
Cerita Cinta yang Lara (2) - Kubaca Puisiku
Tersenyum ia sejadi-jadinya
Senyuman dari dalam sanubari yang terluka
Senyuman yang mengkerut-kerutkan sejenak wajahnya
Senyuman bak air embun diterik matahari di jam 12
Luka hatinya sejenak segar
Luka hatinya sejenak terlupakan
Luka hatinya sejenak mengering
Tapi masih perih
Tapi matanya masih berlinang
Pemuda itu menatap, menengadah, dan menatap puisinya
Berulangkali menatapnya....berulangkali menarik nafas
Menyeka air matanya yang menggenang di sudut - sudut mata
Menyeka kesedihannya agar segera sirna
Berkurangkah ia...
Bebannya yang menggunung apakah menjadi pantai kelak?
Puisinya jawaban lukanya
Puisinya jawaban ragunya
Puisinya jawaban cintanya yang pedih
Ia tersenyum kembali
Dengan suara perlahan dan serak dibacanya puisi itu perlahan-lahan
Seperlahan datangnya harapan ke dalam jiwanya
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar bangkit
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar hidup kembali
Merebahkan diri merasakan tanah
Mulutnya bergumam mengalahkan suara lebah
Membaca puisinya
Mengkerutkan tubuhnya seolah ingin lahir kembali
Atau ia terlalu rindu dengan rahim ibunya
Rahim yang ia tempati 25 tahun yang lalu
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya status anak
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberi kesempatan untuk berbakti
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya cinta dari wanita tercantik di dunia
Wanita yang terlembut di dunia
Wanita yang terkuat di dunia
Yang memberi nama dirinya Soetrisno (cinta yang lebih baik)
Dan kini ia merasakan cinta itu
Cinta yang lebih baik dari miliknya
Dan kini ia mengerti perasaan ibunya itu
Ah... Soetrisno adalah nama yang indah
Ia pun bergumam kembali mengalahkan suara jangkrik
Dan ia pun meringkuk merasakan sensasi tulang-tulangnya
Merasakan semuanya dan membayangkan ibunya
Merasakan semuanya dan membayangkan ayahnya
Tiba-tiba ia merasa sangat bangga dengan dirinya
Dirinya adalah anak ayahnya dan ibunya
Mereka dua jiwa yang dicintainya
Mengingatkannya untuk bangkit
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cinta
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap harapan
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cita-cita
Dan tiba-tiba ia tegar...
Tetapi cintanya masih pedih
Matanya sembab dan tergenang
Matahari pun masuk ke peraduan
Pemuda itu masih mengkerutkan tubuhnya di atas tanah lantai rumahnya
Ia membiarkan pipinya bertanah
Tanah yang setiap saat ia injak
Tanah yang setiap saat ia seka
Kini memberinya tanda di pipinya yang basah
Meskipun terasa ia membiarkannya
Ia membiarkan pipinya kotor
Ia juga membiarkan kesedihan menguasanya lagi
Ia juga membiarkan angan-angannya kotor
Kotor dengan ketakutan-ketakutan
Kotor dengan amarah yang berujung tapi tak berpangkal
Kotor dengan sumpah serapahnya
Kotor dengan untung rugi yang dibenaknya
Ia menatapku lembut
Ia berbisik pada ku di kejauhan
'Kenapa aku dulu baik padanya....'
Menatapku kembali, kemudian menatap bintang yang mulai genit bekerlip
Kemudian menatap bulan yang indah sendiri
Ah...dia belum mampu melawannya
Perlahan ia bangun
Dan bergumam membaca puisinya
Dan bergumam mencaci maki bulan
Dan bergumam mencaci maki bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ditujukan bulan dan bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ia ucapkan
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang tak pernah layak kita dengarkan
Dan ia bergumam membaca puisinya
Dan ia bersuara keras membaca puisinya
Dan ia berteriak-teriak keras membaca puisinya
Di atas bukit yang dipenuhi edelweis
Dimana dirinya tinggal sendiri
Sendiri penuh luka
Sendiri dengan setitik sinar harapan
Tak peduli, terus berteriak
Tak peduli, terus mengusir lukanya
Akhirnya nafasnya tersengal-sengal
Tetapi ia tersenyum
Dan berkata padaku
'Kubaca puisiku, dan biarlah kulepas sedikit sedihku'
Ia tersenyum tetapi cintanya masih pedih
Senyuman dari dalam sanubari yang terluka
Senyuman yang mengkerut-kerutkan sejenak wajahnya
Senyuman bak air embun diterik matahari di jam 12
Luka hatinya sejenak segar
Luka hatinya sejenak terlupakan
Luka hatinya sejenak mengering
Tapi masih perih
Tapi matanya masih berlinang
Pemuda itu menatap, menengadah, dan menatap puisinya
Berulangkali menatapnya....berulangkali menarik nafas
Menyeka air matanya yang menggenang di sudut - sudut mata
Menyeka kesedihannya agar segera sirna
Berkurangkah ia...
Bebannya yang menggunung apakah menjadi pantai kelak?
Puisinya jawaban lukanya
Puisinya jawaban ragunya
Puisinya jawaban cintanya yang pedih
Ia tersenyum kembali
Dengan suara perlahan dan serak dibacanya puisi itu perlahan-lahan
Seperlahan datangnya harapan ke dalam jiwanya
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar bangkit
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar hidup kembali
Merebahkan diri merasakan tanah
Mulutnya bergumam mengalahkan suara lebah
Membaca puisinya
Mengkerutkan tubuhnya seolah ingin lahir kembali
Atau ia terlalu rindu dengan rahim ibunya
Rahim yang ia tempati 25 tahun yang lalu
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya status anak
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberi kesempatan untuk berbakti
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya cinta dari wanita tercantik di dunia
Wanita yang terlembut di dunia
Wanita yang terkuat di dunia
Yang memberi nama dirinya Soetrisno (cinta yang lebih baik)
Dan kini ia merasakan cinta itu
Cinta yang lebih baik dari miliknya
Dan kini ia mengerti perasaan ibunya itu
Ah... Soetrisno adalah nama yang indah
Ia pun bergumam kembali mengalahkan suara jangkrik
Dan ia pun meringkuk merasakan sensasi tulang-tulangnya
Merasakan semuanya dan membayangkan ibunya
Merasakan semuanya dan membayangkan ayahnya
Tiba-tiba ia merasa sangat bangga dengan dirinya
Dirinya adalah anak ayahnya dan ibunya
Mereka dua jiwa yang dicintainya
Mengingatkannya untuk bangkit
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cinta
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap harapan
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cita-cita
Dan tiba-tiba ia tegar...
Tetapi cintanya masih pedih
Matanya sembab dan tergenang
Matahari pun masuk ke peraduan
Pemuda itu masih mengkerutkan tubuhnya di atas tanah lantai rumahnya
Ia membiarkan pipinya bertanah
Tanah yang setiap saat ia injak
Tanah yang setiap saat ia seka
Kini memberinya tanda di pipinya yang basah
Meskipun terasa ia membiarkannya
Ia membiarkan pipinya kotor
Ia juga membiarkan kesedihan menguasanya lagi
Ia juga membiarkan angan-angannya kotor
Kotor dengan ketakutan-ketakutan
Kotor dengan amarah yang berujung tapi tak berpangkal
Kotor dengan sumpah serapahnya
Kotor dengan untung rugi yang dibenaknya
Ia menatapku lembut
Ia berbisik pada ku di kejauhan
'Kenapa aku dulu baik padanya....'
Menatapku kembali, kemudian menatap bintang yang mulai genit bekerlip
Kemudian menatap bulan yang indah sendiri
Ah...dia belum mampu melawannya
Perlahan ia bangun
Dan bergumam membaca puisinya
Dan bergumam mencaci maki bulan
Dan bergumam mencaci maki bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ditujukan bulan dan bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ia ucapkan
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang tak pernah layak kita dengarkan
Dan ia bergumam membaca puisinya
Dan ia bersuara keras membaca puisinya
Dan ia berteriak-teriak keras membaca puisinya
Di atas bukit yang dipenuhi edelweis
Dimana dirinya tinggal sendiri
Sendiri penuh luka
Sendiri dengan setitik sinar harapan
Tak peduli, terus berteriak
Tak peduli, terus mengusir lukanya
Akhirnya nafasnya tersengal-sengal
Tetapi ia tersenyum
Dan berkata padaku
'Kubaca puisiku, dan biarlah kulepas sedikit sedihku'
Ia tersenyum tetapi cintanya masih pedih
Labels:
CCL(2),
cerita puitis,
puisi,
puisi cinta,
sedih
Wednesday, April 21, 2010
Cerita Cinta yang Lara (1) - Kertas yang Mampu
Dulu saat mentari terbit dari Timur seperti saat ini
Dulu saat mentari tenggelam dari Barat seperti saat ini
Saat bau rumput pagi tak bercampur polusi
Saat dedaunan memainkan musik
Kolaborasi angin dan daun yang terindah
Dan terdengar di setiap telinga dimana-mana
Hutan-hutan besi, beton, kini hanya bisa menyepi
Dulu saat pagi berarti segar semuanya
Sesegar rumput-rumput yang bermandikan air embun
Di atas sebuah bukit yang penuh dengan bunga edelweis
Seorang pemuda melukiskan puisinya di atas kertas
Setiap ia menulis air matanya menetes
Setiap ia menulis kata-katanya terhapus
Tintanya kalah oleh air mata
Tintanya tak memasung kata-kata
Kata-kata itu tak terekam
Berulangkali mencoba
Tak jemu mencoba
Hingga kertasnya menemui batasnya
Terluka dan tak ada tempat untuk kata-katanya
Tetesan air matanya sejenak berhenti
Terdiam ia membiarkan waktu tanpa laku
Dan kertas itu pun terserakkan
Tercampur dengan kertas-kertas yang lain
Kertas berikutnya berdoa
Berharap ia kuat merekam puisi sang pemuda
Berharap ia kuat meresap tinta
Tak terkalahkan oleh air mata
Pemuda itu masih terdiam
Tangannya memegang dadanya
Dada bidang seorang lelaki yang tertempa
Tertempa asam garam laku yang telah lalu
Tertempa oleh pedihnya kenyataan
Tertempa oleh hidup yang memihak waktu
Pemuda itu menatapku dan berbisik
'Tolong tuliskan rasa cintaku yang menjadi pedih, indahnya telah hilang entah kemana'
Ah rupanya cinta yang menyakitkan
Sayap sadarnya rupanya tak mampu mengepak
Sayap harapannya rupanya tak mampu mengepak
Sayap cintanya menjatuhkannya
Dan dia kini hanya seorang diri tenggelam dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya terombang-ambing dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya meneguk pedihnya cinta
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
Dia mengambil kertas selanjutnya
Air matanya mulai menetes lagi
Tangannya diurungkannya menggoreskan kata
Dipandangnya ribuan kertas-kertas yang tak bermakna
Berserakan tanpa mempunyai cerita
Berserakan tanpa menyimpan makna
Berserakan tanpa menampung rasa nya
Rasa sakit sendiri tanpa makna bahkan tak bisa bercerita
'Sudahlah...'
'Sudahlah...'
Ia menatapku dan berbisik
'Aku akan membuat kertas yang mampu'
Siang dan malam ia bekerja
Siang dan malam ia mencari jalan
Seminggu telah berlalu ia pun tersenyum haru
Dan sejak itu setiap pagi menjelang ia nampak memintal benang
Hingga bulan berdendang
Hingga bintang-bintang senyum cemerlang
Lelah tak dirasa
Menyerah tak dikenal
Putus asa bukan namanya
Tapi cinta masih membuatnya merana
Tetes-tetes air matanya masih menetes
Tapi tak merusak benang-benangnya
Tapi tak merusak kertas-kertas baru yang jadi
Rupanya ia membuat kertas dari benang
Kertas ke seribu pun jadi
Ia kembali mencoba menuangkan rasa
Ia kembali meneteskan air mata
Ia kembali mengoreskan kata-kata
Puisinya jadi
Puisinya terselesaikan
Meskipun air matanya menganak sungai
Tintanya bertahan dan mengakar
Rasanya telah tertumpahkan
Meskipun matanya masih berlinang
Dulu saat mentari tenggelam dari Barat seperti saat ini
Saat bau rumput pagi tak bercampur polusi
Saat dedaunan memainkan musik
Kolaborasi angin dan daun yang terindah
Dan terdengar di setiap telinga dimana-mana
Hutan-hutan besi, beton, kini hanya bisa menyepi
Dulu saat pagi berarti segar semuanya
Sesegar rumput-rumput yang bermandikan air embun
Di atas sebuah bukit yang penuh dengan bunga edelweis
Seorang pemuda melukiskan puisinya di atas kertas
Setiap ia menulis air matanya menetes
Setiap ia menulis kata-katanya terhapus
Tintanya kalah oleh air mata
Tintanya tak memasung kata-kata
Kata-kata itu tak terekam
Berulangkali mencoba
Tak jemu mencoba
Hingga kertasnya menemui batasnya
Terluka dan tak ada tempat untuk kata-katanya
Tetesan air matanya sejenak berhenti
Terdiam ia membiarkan waktu tanpa laku
Dan kertas itu pun terserakkan
Tercampur dengan kertas-kertas yang lain
Kertas berikutnya berdoa
Berharap ia kuat merekam puisi sang pemuda
Berharap ia kuat meresap tinta
Tak terkalahkan oleh air mata
Pemuda itu masih terdiam
Tangannya memegang dadanya
Dada bidang seorang lelaki yang tertempa
Tertempa asam garam laku yang telah lalu
Tertempa oleh pedihnya kenyataan
Tertempa oleh hidup yang memihak waktu
Pemuda itu menatapku dan berbisik
'Tolong tuliskan rasa cintaku yang menjadi pedih, indahnya telah hilang entah kemana'
Ah rupanya cinta yang menyakitkan
Sayap sadarnya rupanya tak mampu mengepak
Sayap harapannya rupanya tak mampu mengepak
Sayap cintanya menjatuhkannya
Dan dia kini hanya seorang diri tenggelam dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya terombang-ambing dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya meneguk pedihnya cinta
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
Dia mengambil kertas selanjutnya
Air matanya mulai menetes lagi
Tangannya diurungkannya menggoreskan kata
Dipandangnya ribuan kertas-kertas yang tak bermakna
Berserakan tanpa mempunyai cerita
Berserakan tanpa menyimpan makna
Berserakan tanpa menampung rasa nya
Rasa sakit sendiri tanpa makna bahkan tak bisa bercerita
'Sudahlah...'
'Sudahlah...'
Ia menatapku dan berbisik
'Aku akan membuat kertas yang mampu'
Siang dan malam ia bekerja
Siang dan malam ia mencari jalan
Seminggu telah berlalu ia pun tersenyum haru
Dan sejak itu setiap pagi menjelang ia nampak memintal benang
Hingga bulan berdendang
Hingga bintang-bintang senyum cemerlang
Lelah tak dirasa
Menyerah tak dikenal
Putus asa bukan namanya
Tapi cinta masih membuatnya merana
Tetes-tetes air matanya masih menetes
Tapi tak merusak benang-benangnya
Tapi tak merusak kertas-kertas baru yang jadi
Rupanya ia membuat kertas dari benang
Kertas ke seribu pun jadi
Ia kembali mencoba menuangkan rasa
Ia kembali meneteskan air mata
Ia kembali mengoreskan kata-kata
Puisinya jadi
Puisinya terselesaikan
Meskipun air matanya menganak sungai
Tintanya bertahan dan mengakar
Rasanya telah tertumpahkan
Meskipun matanya masih berlinang
Labels:
CCL(1),
cerita cinta,
cerita puitis,
puisi,
puisi cinta,
sastrawan
Tuesday, April 20, 2010
Bersama Hujan
diiringi tarian air yang menetes di atas tanah
yang menetes di atas batu
yang membasahi daun-daun hijau
yang membasahi ujung rumput yang sempurna
engkau menari dengan anggunnya dengan hujan
membuat yang memandangmu lupa punya jantung
dan membiarkannya bersuara genderang
dan akupun hanya bisa menggigit bibir
untuk menjaganya
dan membiarkan mata ini menikmati setiap gemulai yang ada
entah apa yang membuatnya indah
air hujan tak bertulang
atau gerakmu yang sangat indah
dan akupun hanya bisa meneguk tetes tetes hujan yang hambar
yang berasa debu
untuk memerangi hausnya
mata mungkin lelah
hati mungkin lemah
jiwa mungkin takut
tapi cinta?
dan kubiarkan cinta ini tak lelah
dan kubiarkan cinta ini tak lemah
dan kubiarkan cinta ini berani
meskipun aku hanya memandangmu
meskipun aku hanya menatapmu
meskipun aku terpejam bersamamu
disaat hujan
disaat engkau menari bersama hujan
disaat itu aku cinta
yang menetes di atas batu
yang membasahi daun-daun hijau
yang membasahi ujung rumput yang sempurna
engkau menari dengan anggunnya dengan hujan
membuat yang memandangmu lupa punya jantung
dan membiarkannya bersuara genderang
dan akupun hanya bisa menggigit bibir
untuk menjaganya
dan membiarkan mata ini menikmati setiap gemulai yang ada
entah apa yang membuatnya indah
air hujan tak bertulang
atau gerakmu yang sangat indah
dan akupun hanya bisa meneguk tetes tetes hujan yang hambar
yang berasa debu
untuk memerangi hausnya
mata mungkin lelah
hati mungkin lemah
jiwa mungkin takut
tapi cinta?
dan kubiarkan cinta ini tak lelah
dan kubiarkan cinta ini tak lemah
dan kubiarkan cinta ini berani
meskipun aku hanya memandangmu
meskipun aku hanya menatapmu
meskipun aku terpejam bersamamu
disaat hujan
disaat engkau menari bersama hujan
disaat itu aku cinta
Monday, April 19, 2010
Cinta dalam Kotak Pandora (2)
Berbisik aku pada dada
(dimana adanya)
Dada tak menjawab hanya hening
Aku pun termangu tanpa jawaban
Terdiam mencoba mencari sendiri
Meski tahu tak mungkin kutemui
Berbisik aku pada jantung
(dimana adanya)
Jantung tetap berdegup
Tak memberi jawaban
Aku tak tahu apakah ia diam tak tahu ataukah diam tahu
Berbisik aku pada darah
(dimana adanya)
Darah tetap mengalir
Tak berhenti
Tak memberi jawab
Aku pun ikut mengalir dalam diam
Atau diam dalam waktu yang mengalir
Aku tak tahu
Aku tak tahu yang ada dalam diri
Mesti aku bisa merasa
Mesti aku tahu aku punya
Tapi dimana?
(dimana adanya)
Dada tak menjawab hanya hening
Aku pun termangu tanpa jawaban
Terdiam mencoba mencari sendiri
Meski tahu tak mungkin kutemui
Berbisik aku pada jantung
(dimana adanya)
Jantung tetap berdegup
Tak memberi jawaban
Aku tak tahu apakah ia diam tak tahu ataukah diam tahu
Berbisik aku pada darah
(dimana adanya)
Darah tetap mengalir
Tak berhenti
Tak memberi jawab
Aku pun ikut mengalir dalam diam
Atau diam dalam waktu yang mengalir
Aku tak tahu
Aku tak tahu yang ada dalam diri
Mesti aku bisa merasa
Mesti aku tahu aku punya
Tapi dimana?
Dan Hidup
Menenangkan
Merambat perlahan
Menyentuh hati
Menghidupkan hati
Sebagai sensor
Sebagai pencerna
Tak tersesat
Tak bercabang
...dan hidup
Merambat perlahan
Menyentuh hati
Menghidupkan hati
Sebagai sensor
Sebagai pencerna
Tak tersesat
Tak bercabang
...dan hidup
Thursday, April 15, 2010
Razia Puisi
Ada polisi..ada polisi...
Merazia puisi...merazia puisi...
Yang nggak sesuai...yang menyalahi aturan
bakal di razia
Tapi bukan yang ini
Ijinnya lengkap
Aturannya terpenuhi
Nggak mugkin kena razia
Sebarkan berita
Sampaikan pesan
Ada razia puisi...
Tapi bukan yang ini.
Yang ini aman
Yang ini punya banyak teman
Hayo larilah segera puisi
Jangan ke Singapura
(Mr Gayus and Mr Susno contohnya)
Iya segera kabur
Kabur jauh-jauh puisi
Sebentar lagi kena razia
Merazia puisi...merazia puisi...
Yang nggak sesuai...yang menyalahi aturan
bakal di razia
Tapi bukan yang ini
Ijinnya lengkap
Aturannya terpenuhi
Nggak mugkin kena razia
Sebarkan berita
Sampaikan pesan
Ada razia puisi...
Tapi bukan yang ini.
Yang ini aman
Yang ini punya banyak teman
Hayo larilah segera puisi
Jangan ke Singapura
(Mr Gayus and Mr Susno contohnya)
Iya segera kabur
Kabur jauh-jauh puisi
Sebentar lagi kena razia
Wednesday, April 14, 2010
Pidato Kita Pekikkan Merdeka
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Saudara-saudara se tanah air. Mari kita usir awan mendung di negri ini dengan teriakan MERDEKA. Kita penuhi ruang kosong di langit harapan. Kita padamkan api pesimis. Inilah saatnya bersama-sama. Inilah saatnya hati-hati merah putih bicara. Dan meneriakkan kata MERDEKA dari hatinya, dari fikirnya, dari mulutnya.
Mari kita merdekakan mereka yang tertindas. Mari kita merdekakan kita yang ditindas. Mari kita merdekakan mereka yang dimanipulasi. Mari kita merdekakan mereka yang terombang-ambing. Dengan perjuangan yang tak mengenal jera. Dengan perjuangan yang manis. Dengan perjuangan yang teguh.
Mari....
Merdeka tidak berarti mencari mati. Merdeka tidak berarti harus mati. Perjuangan yang cantik dan berani adalah kombinasi yang serasi. Berjuanglah bersama, teriaklah bersama, dengan tujuan yang sama...
MERDEKA
Saudara-saudara se tanah air. Mari kita usir awan mendung di negri ini dengan teriakan MERDEKA. Kita penuhi ruang kosong di langit harapan. Kita padamkan api pesimis. Inilah saatnya bersama-sama. Inilah saatnya hati-hati merah putih bicara. Dan meneriakkan kata MERDEKA dari hatinya, dari fikirnya, dari mulutnya.
Mari kita merdekakan mereka yang tertindas. Mari kita merdekakan kita yang ditindas. Mari kita merdekakan mereka yang dimanipulasi. Mari kita merdekakan mereka yang terombang-ambing. Dengan perjuangan yang tak mengenal jera. Dengan perjuangan yang manis. Dengan perjuangan yang teguh.
Mari....
Merdeka tidak berarti mencari mati. Merdeka tidak berarti harus mati. Perjuangan yang cantik dan berani adalah kombinasi yang serasi. Berjuanglah bersama, teriaklah bersama, dengan tujuan yang sama...
MERDEKA
Cinta dalam Kotak Pandora
berharap dicinta mampukah untuk dilupakan berharap disayang mampukah menjaga asa yang hilang bila seperti itu biarlah kutanam pohon cinta dalam Kotak Pandora
tak pernah mampu engkau memahami
karena aku juga begitu
apa yang kau lakukan
apa yang kau harapkan
dari cintaku aku tak mengerti
biarlah aku menyentuh
dengan tatapku
dengan senyumku
dan aku mencoba menyuap rasamu dengan sekantong coklat atau sebuah puisi romantis
meskipun engkau pura-pura tak paham
tetapi engkau kan merasa
cintaku dalam kotak Pandora tak tertahankan
biarlah aku mengejarmu
aku menjagamu
jika kau ragu mampukah kau buka Kotak Pandoraku?
Tuesday, April 13, 2010
Top Up Cintaku
Air yang menetes jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Sajadah tempat ku bersujud jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Bibirku yang berdzikir jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Allah aku perlu cinta Mu.
Saat ini juga.
Sajadah tempat ku bersujud jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Bibirku yang berdzikir jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Allah aku perlu cinta Mu.
Saat ini juga.
Kunci Hidup
Jika sehat yang dicari ilmu raga yang dicari.
Jika kaya yang dicari ilmu dunia yang dicari.
Benarkah?
Benarkah?
Jika sukses yang dicari kerja keras ya mesti.
Jika pandai yang dicari mesti rajin belajar.
Benarkah?
Benarkah?
Jika bahagia yang dicari kayakah keharusan?
Jika bahagia yang dicari kegagalan tidak boleh terjadi?
Benarkah?
Benarkah?
Haruskah kita bertanya pada yang sudah mati.
Rahasia kehidupan siapakah yang mampu membukanya?
Rahasia kehidupan dimanakah kuncinya?
Jika kaya yang dicari ilmu dunia yang dicari.
Benarkah?
Benarkah?
Jika sukses yang dicari kerja keras ya mesti.
Jika pandai yang dicari mesti rajin belajar.
Benarkah?
Benarkah?
Jika bahagia yang dicari kayakah keharusan?
Jika bahagia yang dicari kegagalan tidak boleh terjadi?
Benarkah?
Benarkah?
Haruskah kita bertanya pada yang sudah mati.
Rahasia kehidupan siapakah yang mampu membukanya?
Rahasia kehidupan dimanakah kuncinya?
Sunday, April 11, 2010
Kemana Perginya Cinta
Minyak kata-kata mengenai api emosi
Begitu panas gelora
Amarah sumpah serapah
Kata-kata tak sedap di telinga
Tertuang dan membakar suasana
Dan air pun mendidih matang
Tak mungkin suasana meneguk damai
Saat itu semuanya adalah raja
Ehm ehm...(Suara pak tua memberi spasi mencoba mengambil alih)
Ehm ehm...(Suara pak tua kembali)
Sejenak semua terpaku
Memandangnya dalam tatapan tanya.
Lalu dengan lantangnya ia bersuara
Hai api amarah yang bersemayam dalam kami,
senangkah engkau melihat kami bertikai?
Ia pun menebar pandang dan menatap lekat-lekat setiap bola mata yang ada.
Tangannya menunjuk ke langit
Lalu tangannya menunjuk ke setiap dada yang berdetak
Lalu tangannya menunjuk tanah
Dan ia pun pergi melangkah entah kemana
Satu persatu empunya dada yang berdetak menarik nafas
Saling menatap
Tersungging senyum
Pertikaian tetap pertikaian
Amarah tak perlu diumbar
Mereka pergi melangkahkan kaki
Mungkin suatu saat akan berlanjut
Mungkin suatu saat akan berhenti
Api amarah belum sirna
Api cinta tak pernah ditanya
Begitu panas gelora
Amarah sumpah serapah
Kata-kata tak sedap di telinga
Tertuang dan membakar suasana
Dan air pun mendidih matang
Tak mungkin suasana meneguk damai
Saat itu semuanya adalah raja
Ehm ehm...(Suara pak tua memberi spasi mencoba mengambil alih)
Ehm ehm...(Suara pak tua kembali)
Sejenak semua terpaku
Memandangnya dalam tatapan tanya.
Lalu dengan lantangnya ia bersuara
Hai api amarah yang bersemayam dalam kami,
senangkah engkau melihat kami bertikai?
Ia pun menebar pandang dan menatap lekat-lekat setiap bola mata yang ada.
Tangannya menunjuk ke langit
Lalu tangannya menunjuk ke setiap dada yang berdetak
Lalu tangannya menunjuk tanah
Dan ia pun pergi melangkah entah kemana
Satu persatu empunya dada yang berdetak menarik nafas
Saling menatap
Tersungging senyum
Pertikaian tetap pertikaian
Amarah tak perlu diumbar
Mereka pergi melangkahkan kaki
Mungkin suatu saat akan berlanjut
Mungkin suatu saat akan berhenti
Api amarah belum sirna
Api cinta tak pernah ditanya
Labels:
cinta,
cinta pergi,
damai,
puisi,
puisi cinta
Gadis Pelangi
Ketika langit hendak menumpahkan hujannya.
Seorang penghuni pelangi turun dengan manisnya.
Melupakan aku akan dunia.
Sekitar tak punya makna.
Hanya dia yang ada.
Senyumnya bukan miliknya.
Senyumnya melipurkan sepi.
Senyumnya meniadakan mimpi.
Karena ia ada nyata dalam mataku.
Penghuni pelangi berpendar dihatiku.
Kubranikan diri untuk menanyakan diri.
Kubranikan diri untuk menggapai mimpi.
Apakah dirimu sudah mendua, duhai penghuni pelangi?
Maukah engkau menjalani dunia bersamaku?
Barisan giginya diperlihatkan padaku.
Pipinya memerah mengalahkan indahnya pelangi.
Matanya memancarkan kehangatan mentari.
Ekspresinya bening tulus mengalahkan tetesan hujan.
Diapun berbincang-bincang denganku.
Seorang penghuni bumi yang tulus berbagi rasa.
Detik demi detik berlalu.
Tak terasa kami telah menjalin rasa.
Larut kami dalam perbincangan.
Serasa kami telah saling mengenal, bahkan sebelum bumi dan pelangi ada.
Tibalah saatnya ia kembali.
Bersama pelangi ia pergi.
Meninggalkanku rasa yang indah, indahnya melebihi pelangi.
Meninggalkanku tatapan terindah, indahnya melebihi pelangi.
Ah kenapa aku tak pergi bersamanya?
Pergi ke negri pelangi.
Biarlah tekad ini di hati.
Kan kutunggu pelangi nanti.
Seorang penghuni pelangi turun dengan manisnya.
Melupakan aku akan dunia.
Sekitar tak punya makna.
Hanya dia yang ada.
Senyumnya bukan miliknya.
Senyumnya melipurkan sepi.
Senyumnya meniadakan mimpi.
Karena ia ada nyata dalam mataku.
Penghuni pelangi berpendar dihatiku.
Kubranikan diri untuk menanyakan diri.
Kubranikan diri untuk menggapai mimpi.
Apakah dirimu sudah mendua, duhai penghuni pelangi?
Maukah engkau menjalani dunia bersamaku?
Barisan giginya diperlihatkan padaku.
Pipinya memerah mengalahkan indahnya pelangi.
Matanya memancarkan kehangatan mentari.
Ekspresinya bening tulus mengalahkan tetesan hujan.
Diapun berbincang-bincang denganku.
Seorang penghuni bumi yang tulus berbagi rasa.
Detik demi detik berlalu.
Tak terasa kami telah menjalin rasa.
Larut kami dalam perbincangan.
Serasa kami telah saling mengenal, bahkan sebelum bumi dan pelangi ada.
Tibalah saatnya ia kembali.
Bersama pelangi ia pergi.
Meninggalkanku rasa yang indah, indahnya melebihi pelangi.
Meninggalkanku tatapan terindah, indahnya melebihi pelangi.
Ah kenapa aku tak pergi bersamanya?
Pergi ke negri pelangi.
Biarlah tekad ini di hati.
Kan kutunggu pelangi nanti.
Bersama Tersembunyi
Pernahkan rasa itu pergi
Dimanakah ia sembunyi
Bila malam pergi kemanakah ianya
Apakah menanti mentari dan bulan menari
Diiringi bintang berkelap-kerlip menyatakan dirinya yang cantik
Meskipun pelangi tak mungkin menampakkan diri
Karena malam lebih memilih bintang
Tetapi aku lebih memilih larut dalam kata-kata tak berbunyi
Mengejar ia yang sembunyi
Dalam bentangan sajadah
Penuh harapan dan penuh pinta
Agar aku bersamanya di tempat yang tersembunyi
Sekiranya waktu adalah kawan
Aku memintanya atas nama persahabatan tuk kembali
Dimana aku ada di titik awal
Dimana nafas pertama tertarik
Dimana pilihanku belum tertulis
Tetapi...
Untuk apa aku kembali
Untuk apa aku menyesali
Panah telah terlepas dari busurnya
Dan aku bersama dengan yang tersembunyi
Dimanakah ia sembunyi
Bila malam pergi kemanakah ianya
Apakah menanti mentari dan bulan menari
Diiringi bintang berkelap-kerlip menyatakan dirinya yang cantik
Meskipun pelangi tak mungkin menampakkan diri
Karena malam lebih memilih bintang
Tetapi aku lebih memilih larut dalam kata-kata tak berbunyi
Mengejar ia yang sembunyi
Dalam bentangan sajadah
Penuh harapan dan penuh pinta
Agar aku bersamanya di tempat yang tersembunyi
Sekiranya waktu adalah kawan
Aku memintanya atas nama persahabatan tuk kembali
Dimana aku ada di titik awal
Dimana nafas pertama tertarik
Dimana pilihanku belum tertulis
Tetapi...
Untuk apa aku kembali
Untuk apa aku menyesali
Panah telah terlepas dari busurnya
Dan aku bersama dengan yang tersembunyi
Saturday, April 10, 2010
Pidato Menikahlah dan Berharap Surga
Saudara-saudara sekalian terutama anda-anda yang masih sendiri dan usia sudah mencukupi. Mari-mari kita merenung sejenak. Bukan untuk meratapi, ataupun untuk menyakiti hati. Hanya mencoba untuk sekedar berbagi, sebagai jalinan silahturahmi dalam rangka saling menasehati dan saling melengkapi.
Dalam sendiri mungkin hidup kita gerah, mungkin terasa resah, berat sebelah tak ada keseimbangan, jiwa terasa terbelah tak menyatu, mungkin ini adalah salah satu gejala dari penyakit yang kita namakan belum bertemu dengan cinta. Padahal sebenarnya adalah kebimbangan, padahal sebenarnya adalah keragu-raguan, padahal sebenarnya menutup diri dari pintu-pintu ibadah. Lihatlah merpati tak kan terbang tanpa sepasang sayapnya. Kaki kanan tak nyaman berlari tanpa si kiri. Rasanya demikian juga dengan jiwa kita. Jiwa yang sendiri tak akan pernah lengkap dalam mengarungi hidup. Bahkan seorang pilot memerlukan co pilot untuk mengemudikan pesawat. Pesawat mesin yang rumit, tetapi kita semua setuju bahwa kehidupan adalah hal yang sangat rumit.
Saudara-saudara ku sekalian yang masih menyendiri. Sekiranya hatimu belum terbuka untuk mendua, padahal Allah telah memberimu rezqi yang melimpah, usia yang cukup, dan bekal-bekal lain. Sudilah kiranya membuka hati untuk menyegerakan membentuk keluarga. Menikahlah... dan harapkan surga dalam niatmu.
Aamiin.
Dalam sendiri mungkin hidup kita gerah, mungkin terasa resah, berat sebelah tak ada keseimbangan, jiwa terasa terbelah tak menyatu, mungkin ini adalah salah satu gejala dari penyakit yang kita namakan belum bertemu dengan cinta. Padahal sebenarnya adalah kebimbangan, padahal sebenarnya adalah keragu-raguan, padahal sebenarnya menutup diri dari pintu-pintu ibadah. Lihatlah merpati tak kan terbang tanpa sepasang sayapnya. Kaki kanan tak nyaman berlari tanpa si kiri. Rasanya demikian juga dengan jiwa kita. Jiwa yang sendiri tak akan pernah lengkap dalam mengarungi hidup. Bahkan seorang pilot memerlukan co pilot untuk mengemudikan pesawat. Pesawat mesin yang rumit, tetapi kita semua setuju bahwa kehidupan adalah hal yang sangat rumit.
Saudara-saudara ku sekalian yang masih menyendiri. Sekiranya hatimu belum terbuka untuk mendua, padahal Allah telah memberimu rezqi yang melimpah, usia yang cukup, dan bekal-bekal lain. Sudilah kiranya membuka hati untuk menyegerakan membentuk keluarga. Menikahlah... dan harapkan surga dalam niatmu.
Aamiin.
Aku Lupa Aku Cinta Kamu
Dalam sendiri bahkan sepi tak menemani
Hanyut dalam pusaran waktu
Tenggelam dalam dilema
Melupakan kata cinta yang diberi
Bisikan malam menutupku
Jalan kenangan kita
Tercecer entah kemana
Mencoba mempertahankannya
Tetapi tak kuasa
Bahkan makin jauh meninggalkan
Dan aku makin sendiri bahkan sepi tak menemani
Kucoba mendua dengan ramainya dunia
Kucoba mendua dengan karya
Kucoba mendua dengan kesibukan
Hanya membuatku sadar aku sendiri
Dan sepi tertawa terbahak-bahak
Dia mempunyai teman
Aku terlalu sendiri
Bahkan rasa cinta aku lupa rasanya
Ia telah lama tak menemaniku
Kini sepi mendekatiku
Biarlah....
Aku lupa aku cinta pada mu
Hanyut dalam pusaran waktu
Tenggelam dalam dilema
Melupakan kata cinta yang diberi
Bisikan malam menutupku
Jalan kenangan kita
Tercecer entah kemana
Mencoba mempertahankannya
Tetapi tak kuasa
Bahkan makin jauh meninggalkan
Dan aku makin sendiri bahkan sepi tak menemani
Kucoba mendua dengan ramainya dunia
Kucoba mendua dengan karya
Kucoba mendua dengan kesibukan
Hanya membuatku sadar aku sendiri
Dan sepi tertawa terbahak-bahak
Dia mempunyai teman
Aku terlalu sendiri
Bahkan rasa cinta aku lupa rasanya
Ia telah lama tak menemaniku
Kini sepi mendekatiku
Biarlah....
Aku lupa aku cinta pada mu
Ini Mengenai Cinta
Sang Pencipta aku ingin bertanya
Kapankah cinta melekat dalam aku
Aku ingin tahu
Benarkah sejak buaian ia ada
Ataukah...(terdiam tanpa tahu apa yang hendak diucap...argh)
Sang Maha Tahu ini mengenai rasa
Rasa yang indah yang membuai
Terbang entah kemana
Tiba-tiba membuat menjadi pemaaf
Tiba-tiba membuat menjadi pemarah
Malu-malu
Cemburu
Gigih membela
Gigih memburu
Bagaimanakah menilainya
Bagaimanakah memulainya ada
Sekiranya Engkau ada selular phone
Aku SMS atau aku telepon sekarang juga
Mohon jawabannya
(dan aku pun bersujud pada Mu, bersyukur atas anugrah yang tak terperi)
Kapankah cinta melekat dalam aku
Aku ingin tahu
Benarkah sejak buaian ia ada
Ataukah...(terdiam tanpa tahu apa yang hendak diucap...argh)
Sang Maha Tahu ini mengenai rasa
Rasa yang indah yang membuai
Terbang entah kemana
Tiba-tiba membuat menjadi pemaaf
Tiba-tiba membuat menjadi pemarah
Malu-malu
Cemburu
Gigih membela
Gigih memburu
Bagaimanakah menilainya
Bagaimanakah memulainya ada
Sekiranya Engkau ada selular phone
Aku SMS atau aku telepon sekarang juga
Mohon jawabannya
(dan aku pun bersujud pada Mu, bersyukur atas anugrah yang tak terperi)
Friday, April 9, 2010
Pengelana Khayal
Mendayung di sungai terindah
Ikan-ikan pesut menampakkan diri
Air bening hingga dasar terlihat
Kuteguk dahaga mata
Memandang keindahannya
Kutuliskan imajinasiku dalam blackberryku
Inspirasi kurekam dalm draft rangkaian kata
Imajinasiku terbang tinggi
Menembus mega-mega batasan
Sayap-sayap semangat mengepak
Tak takut jatuh dari ketinggian
Akulah sang pengelana khayal
Tak pernah lelah berpetualang
Tertelan dalam dunianya sendiri
Padahal kaki masih di sampan
Tetapi pikir entah kemana
Kudayung sampan ketepian
Sejenak berhenti dalam lamunan
Terik mentari sudah mengingatkan
Peluh terasa membasahi punggung
Kubiarkan kaki menelusuri jejak asalku
Dan langkah kakiku kembali membuka gerbang imajinasi
Kubiarkan ia tak tercatat
Melenakan untuk dihentikan
Melangkah tak mengindahkan sekitar
Tenggelam
Meskipun sayap-sayap kesadaranku masih mengepak
Membawaku menuju rumah
Dan kembalilah aku mengelana
Meskipun hanya sekedar dalam khayal
Kata-kata demi kata
Bayangan demi bayangan
Makna demi makna
Tak pernah haus terpuaskan
Bilakah bosan
Terpikirkan bahkan tidak
Sekiranya kau tahu jemu kujamin tidak
Bersiaplah mungkin nanti aku mengajakmu
Dalam perjalananku kelak
Meskipun hanya kata demi kata
Ikan-ikan pesut menampakkan diri
Air bening hingga dasar terlihat
Kuteguk dahaga mata
Memandang keindahannya
Kutuliskan imajinasiku dalam blackberryku
Inspirasi kurekam dalm draft rangkaian kata
Imajinasiku terbang tinggi
Menembus mega-mega batasan
Sayap-sayap semangat mengepak
Tak takut jatuh dari ketinggian
Akulah sang pengelana khayal
Tak pernah lelah berpetualang
Tertelan dalam dunianya sendiri
Padahal kaki masih di sampan
Tetapi pikir entah kemana
Kudayung sampan ketepian
Sejenak berhenti dalam lamunan
Terik mentari sudah mengingatkan
Peluh terasa membasahi punggung
Kubiarkan kaki menelusuri jejak asalku
Dan langkah kakiku kembali membuka gerbang imajinasi
Kubiarkan ia tak tercatat
Melenakan untuk dihentikan
Melangkah tak mengindahkan sekitar
Tenggelam
Meskipun sayap-sayap kesadaranku masih mengepak
Membawaku menuju rumah
Dan kembalilah aku mengelana
Meskipun hanya sekedar dalam khayal
Kata-kata demi kata
Bayangan demi bayangan
Makna demi makna
Tak pernah haus terpuaskan
Bilakah bosan
Terpikirkan bahkan tidak
Sekiranya kau tahu jemu kujamin tidak
Bersiaplah mungkin nanti aku mengajakmu
Dalam perjalananku kelak
Meskipun hanya kata demi kata
Labels:
imajinasi,
khayalan,
pengelana,
puisi,
puisi absurd
Thursday, April 8, 2010
Pelangi Cinta
Debur rasa bergelora
Terik cinta menanamkan awan cemburu
Pelangi sayang terlukis di langit cerita
Amarah terbenam
Bangga melayang
Berdua menjalin rasa
Berdua memadu amarah
Berdua menggapai mimpi
Berdua membisikkan cinta
Mata saling menatap
Bersandarlah dirimu
Degup jantung musik terindah
Dan biarlah kemesraan menyelimuti
Berpendar dalam sesaat
Energi cinta melapisi
Semburat warna warni
Pelangi rasa dalam cinta tak pernah aku tahu warnanya
Mata cintaku tak mampu mencerna
Warnanya terlalu indah
Jiwaku berkecamuk dalam limitnya
Wadah cintaku overflow dalam luapannya
Dan biarlah begitu
I love you
.
Terik cinta menanamkan awan cemburu
Pelangi sayang terlukis di langit cerita
Amarah terbenam
Bangga melayang
Berdua menjalin rasa
Berdua memadu amarah
Berdua menggapai mimpi
Berdua membisikkan cinta
Mata saling menatap
Bersandarlah dirimu
Degup jantung musik terindah
Dan biarlah kemesraan menyelimuti
Berpendar dalam sesaat
Energi cinta melapisi
Semburat warna warni
Pelangi rasa dalam cinta tak pernah aku tahu warnanya
Mata cintaku tak mampu mencerna
Warnanya terlalu indah
Jiwaku berkecamuk dalam limitnya
Wadah cintaku overflow dalam luapannya
Dan biarlah begitu
I love you
.
Bilakah Cinta Pergi
Saat mentari terbitkah?
Saat menutup matakah?
Saat godaan menguasai?
Saat cobaan tak henti?
Bilakah cinta pergi?
.....dan kukecup dahimu
Mungkin engkau lupa yang terakhir
Mungkin kelak engkau bosan
Mungkin engkau ragu kini juga nanti
Dan biarlah pertanyaan itu selalu mengingatkan kita
Dan biarlah pertanyaan itu merekatkan kita.
Saat menutup matakah?
Saat godaan menguasai?
Saat cobaan tak henti?
Bilakah cinta pergi?
.....dan kukecup dahimu
Mungkin engkau lupa yang terakhir
Mungkin kelak engkau bosan
Mungkin engkau ragu kini juga nanti
Dan biarlah pertanyaan itu selalu mengingatkan kita
Dan biarlah pertanyaan itu merekatkan kita.
Wednesday, April 7, 2010
Kubacakan Puisi di bawah Gerimis
Gerimis yang melenggak-lenggok tertiup angin. Seakan-akan turun tak berjalur. Angin membawanya kesana kemari. Seakan-akan menggambarkan rinduku.
Aku pun menarik nafasku. Mengambil ancang-ancang, memberanikan diri, menenangkan gejolak. Dua tiga kali kulakukan. Kebranian mulai lepas dari sekatnya. Suaraku sudah siap untukmu.
Aku pun membacakan puisi. Dalam gerimis yang dingin. Dalam rindu yang terombang-ambing. Untuk seseorang disana. Yang mungkin melupakan rindu. Yang mungkin tak pernah merasa gamang. Yang mungkin tak pernah merasakan gerimis. Dingin...
Gerimis pun kan berakhir. Tetapi puisiku belum berakhir. Ini bukan mantra memanggil hujan, bukan pula penangkalnya, ianya rasa rindu yang menggigil. Rindu yang sangat dingin membuat sejenak kelu lidahku. Puisiku belum berakhir. Tetapi gerimis tlah usai.
Dingin, dingin, aku tiba-tiba cengeng, menetes rinduku menggantikan gerimis.Aku berhenti, tak sanggup. Saatnya menunggu gerimis lagi. Agar puisiku merdu terdengar, karena rinduku yang dingin terpancing. Jiwaku, alam, puisi, serasa satu dalam rindu yang dingin, dalam gerimis yang dingin, dalam ucapanku yang dingin. Semuanya menyatu, harmonisasi, menggapai merdu.
Jika gerimis tiba ingatlah aku. Ingatlah rinduku. Ingatlah cintaku.
Aku pun menarik nafasku. Mengambil ancang-ancang, memberanikan diri, menenangkan gejolak. Dua tiga kali kulakukan. Kebranian mulai lepas dari sekatnya. Suaraku sudah siap untukmu.
Aku pun membacakan puisi. Dalam gerimis yang dingin. Dalam rindu yang terombang-ambing. Untuk seseorang disana. Yang mungkin melupakan rindu. Yang mungkin tak pernah merasa gamang. Yang mungkin tak pernah merasakan gerimis. Dingin...
Gerimis pun kan berakhir. Tetapi puisiku belum berakhir. Ini bukan mantra memanggil hujan, bukan pula penangkalnya, ianya rasa rindu yang menggigil. Rindu yang sangat dingin membuat sejenak kelu lidahku. Puisiku belum berakhir. Tetapi gerimis tlah usai.
Dingin, dingin, aku tiba-tiba cengeng, menetes rinduku menggantikan gerimis.Aku berhenti, tak sanggup. Saatnya menunggu gerimis lagi. Agar puisiku merdu terdengar, karena rinduku yang dingin terpancing. Jiwaku, alam, puisi, serasa satu dalam rindu yang dingin, dalam gerimis yang dingin, dalam ucapanku yang dingin. Semuanya menyatu, harmonisasi, menggapai merdu.
Jika gerimis tiba ingatlah aku. Ingatlah rinduku. Ingatlah cintaku.
Sang Provokator
Hoi sang perkasa yang rupawan, pernahkah kau menantangnya?
Jawara yang terkenal dari Kutub Selatan hingga Kutub Utara.
Namanya kondang dari Barat hingga Timur.
Kalah tak memalukan, menang namamu kan dikenang.
Sekarang dia jalannya menengadah,
kurasa engkaupun lewat tak ditolehnya.
Hoi sang jutawan yang uangnya tak pernah habis.
Maukah kau berinvestasi,
untungnya pasti selangit.
Usahanya jarang diminati,
tetapi rugi takkan mungkin terjadi.
Ayo-ayo benamkan uangmu.
Hoi penguasa yang berkuasa.
Rekrutlah suara sebanyak-banyaknya.
Kalau perlu jasa penambah suara kau tahu mesti kemana.
Goreng menggoreng suara soal biasa.
Jangan menyesal kemudian.
Kursinya hanya dibuka 5 tahun sekali.
Hoi kamu-kamu yang gak kebagian,
kamu tahu apa yang mesti kamu lakukan.
Gasak.....
Jawara yang terkenal dari Kutub Selatan hingga Kutub Utara.
Namanya kondang dari Barat hingga Timur.
Kalah tak memalukan, menang namamu kan dikenang.
Sekarang dia jalannya menengadah,
kurasa engkaupun lewat tak ditolehnya.
Hoi sang jutawan yang uangnya tak pernah habis.
Maukah kau berinvestasi,
untungnya pasti selangit.
Usahanya jarang diminati,
tetapi rugi takkan mungkin terjadi.
Ayo-ayo benamkan uangmu.
Hoi penguasa yang berkuasa.
Rekrutlah suara sebanyak-banyaknya.
Kalau perlu jasa penambah suara kau tahu mesti kemana.
Goreng menggoreng suara soal biasa.
Jangan menyesal kemudian.
Kursinya hanya dibuka 5 tahun sekali.
Hoi kamu-kamu yang gak kebagian,
kamu tahu apa yang mesti kamu lakukan.
Gasak.....
Biji Zarah Dihatimu
Biarkanlah aku menamakannya cinta
Meski engkau tak mau mengakuinya
Mungkin engkau memanggilnya benih
Tapi aku lebih suka menamakannya cinta
Senyummu tumbuh darinya
Sapamu tumbuh darinya
Apa yang darimu padaku tumbuh darinya
Biarkanlah
Jangan kau dustakan
Walaupun hanya setitik biji zarrah tetap saja namanya cinta
.
Meski engkau tak mau mengakuinya
Mungkin engkau memanggilnya benih
Tapi aku lebih suka menamakannya cinta
Senyummu tumbuh darinya
Sapamu tumbuh darinya
Apa yang darimu padaku tumbuh darinya
Biarkanlah
Jangan kau dustakan
Walaupun hanya setitik biji zarrah tetap saja namanya cinta
.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Labels
air mata
akar
akhirat
Allah
angin
apresiasi
balon
bayangan
beban
benci
berkelana
bidadari
biji zarah
buah
buku
CCL(1)
CCL(2)
CCL(3)
CCL(4)
cemas
cerita
cerita absurd
cerita cinta
cerita puitis
cermin
cinta
cinta pergi
cita-cita
damai
danau
daun
detik
doa
dua sahabat
dunia
ekspresi
gadis
garis tangan
gerimis
gratis
gula
hak
hamba
harapan
harimau
hati
hidup
hujan
ide
ilmu
imajinasi
inspirasi
internet
istana
jarak
jeda
jejak
jemu
jerat
jiwa
kakek
kantuk
kelu
kenangan
kewajiban
khayalan
komentar
kondisi sosial
kotak pandora
kreasi
kunci
langit
langkah
lapar
lelaki
lucu
lupa
malam
mangga
mata
matahari
mendung
menikah
mentari
merdeka
mimpi
motivasi
Nabi Muhammad
nafas
naga
nasehat
noktah
ombak
paceklik
pagi
panah
pantai
pantun
pasir
pedagang
pelangi
pemain utama
pemanis
pemberani
pengelana
perasaan
percaya
perisai
perjuangan
pertanyaan
pesawat
pidato
pohon
prasangka
PRH1
PRH2
provokator
puisi
puisi absurd
puisi cinta
puisi islam
puisi jati diri
puisi motivasi
puisi rindu
purnama
pusaka
raja
razia
rindu
rintik-rintik
romantis
ruang hampa
ruang romantis
RYM1
RYM2
RYM3
RYM4
sahabat
sang penyair
sastrawan
sayap
sedih
sehat
selancar
semangat
sembunyi
semut
senang
sepi
sombong
sujud
surga
syair
syukur
tangga
tanya
tari
teh
terlena
timbangan
top up
tunggu
waktu
wudlu