Friday, April 30, 2010

Rindu yang Menggigit (2) - Godaan

Benarkah mencintai haruslah tak punya ragu
Benarkah mencintai haruslah tak punya sangsi
Benarkah mencintai mampu membuat kuat
Dan sangsi yang membakar percaya
Dan ragu yang membenamkan cinta
Dimanakah kekuatan itu berada
Seberapa dalam ia melindungi hati
Seberapa dalam ia melindungi jiwa
Seberapa dalam ia melindungi kesucian
Benarkah wanita itu terlindungi?

Wanita itu nampak melemah
Kenangan akan suaminya perlahan mulai buyar
Di dalam jiwa tempat cintanya telah terisi keraguan
Di dalam jiwa tempat keyakinan telah terisi sangsi
Siang yang lalu merupakan godaan yang terhebat
Godaan bagi seseorang yang sendiri menanti
Godaan bagi seseorang yang lama menanti
Siang yang lalu adalah kekalahannya pertama pada rindu
Sangsinya telah membuka pertahanannya
Dia tersenyum sepenuh hati pada seorang penggoda
Meskipun hanya memberikan senyuman
Tetapi dia sadar itulah kekalahannya
Dan malam ini ia menyesal sejadi-jadinya
Ada sebuah rasa yang mencoba meraja disetianya
Sebuah rasa yang membuat dirinya merasa rendah
Ia menangis
Pikirannya berperang
Tetapi hatinya tak kuasa
Sang penggoda itu telah menempati hatinya
Sang penggoda itu telah menyusup disebuah ruang  tersembunyi
Dan ia bingung menyesal ataukah gembira
Gembira karena hatinya tak kering lagi
Gembira karena ada jiwa yang akan melengkapinya
Gembira karena kesehariannya tak akan kusam
Akan ada warna dalam hidupnya yang monoton
Akan ada binar-binar menyusup dalam setiap pertemuannya
Akan ada binar-binar menyusup setiap sang penggoda memanggil dirinya

Malam itu ia habiskan waktunya untuk bersujud
Rasa yang menyusup itu ingin dibunuhnya
Tetapi ia tak mampu
Dan ia pun memohon pertolongan Sang Penciptanya
Meminta hatinya dibersihkan
Meminta hatinya dibebaskan
Rasa sangsi yang menguat
Rasa cinta yang bersemi dengan sang penggoda
Rasa rindu yang perlahan mati
Rasa setia yang akan terlupakan
Dia takut
Dia bimbang
Dia tahu senyum yang diberikan siang yang lalu adalah puncak gunung es
Senyum hanyalah puncak dari penerimaan dirinya
Dirinya menerima membuka hati untuk sang penggoda
Dirinya yang lain malu menerima kenyataan ini
Dirinya yang lain menyalahkan kelemahannya
Dirinya terbagi-bagi dalam bimbang, sangsi, rindu, setia, kesepian
Berkecamuklah semua
Sepertinya tak ada yang mau mengalah
Meskipun rindu mulai terkikis oleh sangsi
Meskipun setia mulai tak seketat mengikat hatinya
Dan bersujudlah ia kembali
Dan ia pun menutup malam itu dengan doa
'Duhai Sang Penciptaku...matikanlah benih-benih rasa yang menggodaku'

Tertidurlah ia meringkuk di atas sajadah
Biarlah tidurnya menawarkan kelelahannya
Biarlah tidurnya memberi sekedar ruang kosong buat hatinya
Setidaknya hingga pagi datang

Cermin Jiwa

Mencari cermin bagi kembaran maya jiwa
Mencari sesuatu yang tak pernah tahu tentang diri
Agar menjadi yang lebih baik
Agar noktah-noktah dosa tersucikan
Tapi dimanakah kan kudapatkan
Adakah yang mau berbagi?
Adakah yang mau memberi?

Benarkah cermin jiwa adalah mendengar?
Mendengar...dan mendengar...?
Membuka hati suara yang menyakitkan?
Membuka hati suara yang menyudutkan?

Ah...cermin jiwa datanglah
Datanglah padaku yang sedang mencari
Mencari diri yang ingin menjadi lebih baik
Mencari noktah-noktah yang hendak disucikan

Jika benar harus mendengar
Maka aku akan mendengar
Jika benar hati tersakiti
Biarlah hati ini tersakiti
Jika benar harus tersudut
Biarlah aku tersudut
Dan biarlah kembaran maya jiwaku tertangkap mata hati
Hingga aku bisa memperbaiki
Dan noktah-noktah ini pergi

Benarkah cermin jiwa adalah menghitung diri?
Menghitung kebajikan?
Menghitung keburukan?

Ah...cermin jiwa singgahlah dihatiku
Biarkan ku memiliki mu
Agar aku senantiasa berbuat kebajikan
Agar aku senantiasa tak berbuat keburukan

Jika benar harus berhitung
Biarlah diri ini ingin menjadi ahli berhitung
Tetapi apakah yang akan kuhitung
Bahkan biji zarah pun tak nampak
Bahkan kemana jatuhnya timbangan ku tak tahu
Takutku akan pembenaran-pembenaran terhadap yang salah
Takutku akan ketenangan-ketenangan palsu yang luput dari mata
Tetapi biarlah kuhitung
Agar diri belajar waspada
Agar diri senantiasa ingat
Jika benar harus dihitung
Biarlah diri menghitung dengan segala kerendahan diri pada Sang Maha Hisab

Ah..cermin jiwa menetaplah dihatiku
Biarkan hadirmu melengkapiku

Aamiin.

Thursday, April 29, 2010

Kuukir Cinta di Pasir

Setiap hari setiap saat kucoba mengukir cinta di pasir
Tak pernah lelah mencoba
Tak pernah berputus asa kuukir cinta di pasir
Dan ombak menghapusnya tanpa peduli
Dan ombak yang berkawan dengan waktu itu tak peduli
Ia memang mencari pantai
Menghapus semua yang tertulis di pasir
Ia memang tak peduli
Ia memang tak mampu menahan diri
Pantai adalah dambaannya
Sedangkan kata cintaku tak dipandangnya
Sedangkan kata cintaku tak dibacanya
Kata cintaku hanyalah permainan ombak
Dimanakah mesti kutulis cintaku?
Salahkah aku menulisnya di pasir?
Mampukah aku mengukirnya di karang?
Yang tegar menghadapi ombak
Deburan demi deburan
Dan kata cintaku tertulis di situ sepanjang waktuku
Tapi...maukah aku?
Yakinkah aku?
Mungkin memang aku yang ingin
Mungkin memang aku yang mau
Mungkin memang aku yang sengaja
Menulisnya di atas pasir
Waktu demi waktu
Saat demi saat
Hingga aku tak mampu

Wednesday, April 28, 2010

Sebenih Zarah

Dalam gelap tanpa arah
Dalam hampa tanpa suara
Hanya hati yang melihat
Dan lentera pun menyala
Meskipun tak padam tertelan gelap
Berharap tak padam terkena godaan
Semakin kuat setelah cobaan
Meredup ketika kebimbangan menyerang
Menyalalah tetap
Biarlah doa yang melindungi
Biarlah dzikir menjadi minyaknya
Biarlah puasa menyalangkannya
Begitulah harapan yang kutanam
Meskipun hanya sebenih zarah
Sederhana kupinta
Kepada Mu yang Maha Kaya

Dan Hidup (2)

Benih yang tertanam
Tetes demi tetes membasahinya
Hari demi hari terlindungi
Perlahan demi perlahan akarnya menguat
Perlahan demi perlahan tunasnya tumbuh
Berkembang
Menguat
Tumbuh
....dan hidup

Tuesday, April 27, 2010

Waktu yang Memberi

Menanti dalam relung waktu
Termangu dan termangu
Seperti boneka dengan per dileher
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Bukan mengiyakan
Bukan mencela
Hanya seperti itu apa adanya
Berusaha memahami apa yang tak dipahami
Pertanyaan sudah tak diperlukan
Jawaban sudah tak perlu dicari
Karena dalam relung waktu jawaban dan pertanyaan hanyalah alasan
Alasan bagimu
Alasan bagiku

Mungkin kini saatnya
Menikmati apa yang ada
Mensyukuri apa yang diberi
Dan waktu memperkaya kita
Dan waktu menelanjangi kita
Apa adanya
Dan apa pun adanya biarlah waktu yang memberi
Terlepas apa pertanyaanmu
Terlepas apa jawabanku
Jangan kau beri aku tanya
Dan aku tak akan memberimu jawab
Sekali lagi biarlah waktu yang memberi

Biarlah waktu yang menjawab kebimbangan kita
Biarlah waktu yang mempererat kita
Biarlah waktu yang menguji kita
Hingga kita tahu
Hingga kita memahami
Diriku dan dirimu adanya

Monday, April 26, 2010

Rindu yang Menggigit (1) - Dua Bulan Purnama Menanti

Ketika matahari mulai lelah dihari itu
Dan tenggelam secara perlahan memberi gelap
Bulan dan bintang pun menghiasi malam
Sesosok tubuh wanita yang terbalut dengan kain
Menutup setiap jengkal auratnya dengan rapi
Memanjatkan doa kerinduan pada penciptanya
Dengan lembut dan sepenuh hati ia berucap:
'Duhai penciptaku tak tertahankan rindu ini di hati'
'Rindu ini menggigiti semua jengkal jiwaku'
'Tak menyisakan ketegaran untuk melangkah'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku bertahan'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang membuat ku tetap berharap'
'Hanya ingatan diriku pada Mu yang mengikatku pada kata setia'
Dan ia pun mengakhiri keluhannya dengan berlinang kerinduan

Tubuhnya telah lama sendiri tak dipagut
Tubuhnya telah lama sendiri berjauhan dari suaminya
Yang pergi mencari kesempatan yang lebih baik bagi mereka
Yang pergi dengan harapan memanen cita-cita
Cita-cita yang diberi nama berkecukupan
Cita-cita yang diberi nama bebas dari hutang
Cita-cita melawan ketidakpastian dalam hidup
Sudah dua bulan lamanya  rindu belum terhapuskan
Bahkan oleh SMS-SMS yang paling mesra yang pernah dibuat
Dirinya sakit
Sakit rindu yang berat
Bahkan bila malam mulai merambat
Tubuhnya menggigil
Tulangnya ngilu
Hatinya gundah gulana
Dan ia pun bertambat pada Penciptanya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam hatinya
Mengharapkan kata-kata setia masih melekat dalam raganya

Malam itu tepat dua bulan purnama ia sendiri
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan jernihnya akal
Gundah gulananya menguasai jiwa mengalahkan nurani sucinya
Ia biarkan matanya menelusuri langit-langit
Ia biarkan pikirannya mengumpulkan semua kenangan suaminya
Dan ia pun semakin sakit
Dan ia pun semakin rindu
Dan ia pun memanggil nama suaminya lirih
Dan ia pun memanggil Sang Penciptanya untuk mengeluh
Air mata rindunya menetes
Malam itu bantal basahnya menemaninya hingga subuh
Kelelahan dalam rindu yang membuatnya tidur
Sejenak terlupa sakitnya rindu

Pagi menjelang dan iapun bekerja
Ditempat kerja ia tak pernah bisa berkonsentrasi
Ditempat kerja ia berusaha membenamkan rindunya
Ditempat kerja ia berusaha menjadi sehat
Pekerjaan yang ada dijadikannya obat
Tetapi.....
Detik demi detik
Menit demi menit
Jam demi jam
Dilaluinya dengan kenangan-kenangan yang memenuhi ruang fikirnya
Tak ada tempat baginya untuk lari
Tak ada tempat baginya ruang bebas
Bahkan dengan pekerjaan yang menumpuk
Bahkan dengan pekerjaan yang menyita waktu
Ia dimakan bulat-bulat oleh rindu yang menggigit
Terkadang matanya menatap kosong
Terkadang mulutnya bergumam nama suaminya
Terkadang ia menjatuhkan sesuatu
Ia merasa sendiri
Ia merasa sepi
Meski tak sendiri
Meski tak menyendiri
Dan kini telah dua bulan purnama ia menanti
Ia semakin tak dapat mengendalikan diri
Ia semakin merasa tak menentu
Apakah karena penantian sekian lama
Apakah karena dua bulan purnama?

Sunday, April 25, 2010

Tinggi Aku Mendongak

Fikirku tak mengakar di bumi
Khayalan memenuhi tiap sudut benak
Dan kenyataan telah hilang jauh terlupakan
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Jalan hidup di depan hanyalah waktu yang sengaja akan dilupakan
Jalan hidup yang lalu hanyalah kenangan yang tak ingin dikunjungi lagi
Tinggi-tinggi sekali aku mendongak
Kerikil-kerikil peringatan yang menyandungku tak kuanggap
Hidup adalah khayalan yang tak pernah usai
Dan aku adalah rajanya para tukang khayal

Saturday, April 24, 2010

Doa Malam

Dalam serengkuh doa
Terucap lafadz yang larut
Larut dalam khusyu
Larut dalam sujud
Dan malam ikut mendengarnya
Enggan mencibirnya
Meskipun doa seremeh kambing
Dia Maha Mendengar

Dalam bisikan lembut
Terdengar nada harap
Diantara keputusasaan yang timbul tenggelam
Nampaknya kepasrahan memimpin
Mencari sandaran
Melebihi dada bidang suaminya
Melebihi kelembutan pelukan ibunya
Dia tempat bersandar

Keinginan yang kuat mengantarnya berdoa
Keinginan yang kuat mengantarnya bersandar
Tatapnya ke langit
Tangannya memohon
Air matanya menetes
Ditutupnya dengan ucapan 'Ya Allah'

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Cerita Cinta yang Lara (4) - Terbang-terbanglah Puisiku

Dikenangnya luka hatinya yang dalam
Dihapusnya dengan membaca dan membaca
Puisi-pusinya yang 100 itu
Puisi-puisinya teman-temannya
Dalam mengusir luka yang kadang-kadang tertiup
Dalam mengusir sepi yang kadang-kadang singgah
Dibawanya kemana-kemana 100 puisinya
Mengelilingi lembah edelweis yang indah
Bercampur baur dengan penduduk desa
Bahkan pergi ke kota untuk keperluan sehari-harinya
Tak pernah lepas dari tubuhnya
Tak pernah lepas bergumam mulutnya merapal
Puisi-puisinya teman-temannya

Cintanya yang pedih rupanya perlahan sirna
Semangat hidupnya kembali terpompa
Dan ia berjalan di jalan hidup yang tak sedih lagi
Ia membawa 100 puisi
Ia mempunyai 100 optimisme
Ia mempunyai 100 harapan
Bahkan ia tergerak untuk membagikan puisi-puisinya
Agar dunia tahu apa yang ia rasakan
Agar dunia tahu dirinya sudah bangkit
Dan kini dia termangu di kaki lembah
Memandang sebuah sungai yang mengalir bening
Tak jemu matanya mengikuti aliran air
Datang dan pergi tak berhenti
Serupa cinta, sedih, dan hampa yang kini ia rasa
Tersenyumlah ia sendiri dan bergumam padaku
'Kapankah cintaku datang lagi ?'
'Sanggupkah aku?'
Bergeraklah kakinya ke tepi sungai
Berpijak pada sebuah batu besar, tangannya menyentuh air yang dingin
Dan ia membiarkan khayalannya tak berpijak
Menerawang alam tanpa batas
Hingga tersentak kembali ke bumi

'Aku harus menyebarkan harapku'
'Aku harus mneyebarkan karyaku'
Dia pun berlari kembali ke rumah
Kembali dengan dirinya dan ide-idenya
Dia pergi ke pasar sejenak
Mencari sesuatu yang membebani fikirnya
Mencari sesuatu yang harus ia dapatkan
Dan membiarkan malam mengantarkannya kembali ke rumah
Kembali ke rumah bersama ide-idenya
Kembali ke rumah dengan harapan barunya
Kembali ke rumah dengan cita-cita barunya
Ia pun memasuki rumahnya
Dan pada pintu yang berderit ia berucap:
'Aku harus menyebarkan karyaku'
Obsesi ataukah optimisme yang menjalar
Ataukah keduanya memang sudah saling bergandeng tangan merasukinya
Merasuki alam bawah sadarnya
Merasuki luka-luka yang perlahan sirna

Pagi menjelang Soetrisno tampak segar kembali
Darah optimisme dan obsesi sudah terpompa ke jantung
Semangatnya berkobar memanas nyalang berbinar dimatanya
Dipandangnya 100 balon gas berwarna-warni siap ia terbangkan
Disetiapnya terikat puisi-puisinya
Ah rupanya ia ingin menerbangkannya
Ia ingin menyebarkannya
Ia ingin berteriak lantang dengan tintanya
Ia ingin berteriak lantang bahwa dia tidak dikalahkan oleh cinta
Dan ia pun membawa keluar 100 balon gas itu
Dilepaskannya  ke udara dan berkata:
'Terbang-terbanglah puisiku....'
'Bawalah pergi hatiku yang pedih...'
'Tinggalkan harapan didadaku...'
'Terbang-terbanglah puisiku...'
'Katakan pada dunia Soetrisno menemukan cinta yang lebih baik'

(TAMAT)

Ruang Romantis

Dalam relung hatiku selalu ada ruang romantis
Yang dipenuhi dengan cahaya kemesraan
Disinari dengan pelita yang tak pernah padam
Hangat dan menenangkanmu
Menunjukkan kita sekira gelap menghadang
Menunjukkan kita sekira kata-kata setajam pisau
Dan kita pun berdua merasa makna maaf

Aku akan menjaga pintunya
Aku akan merawat ruangannya
Dan akan kutanam bunga-bunga sayang
Yang wanginya bukan sesaat
Kita pun tak sungkan hadir di sana
Bukan sekedar pengusir penat
Bukan sekedar pertemuan tanpa rasa
Dalam keseharian yang merobotkan kita
Tetapi dua jiwa yang memaknai cinta
Dalam ruangan milik kita
Hanya milik kita
Dalam hatiku, ruang romantis untukmu

Friday, April 23, 2010

Cerita Cinta yang Lara (3) - 100 Puisi

Kaki langit telah memecahkan telur mentari
Dan warna gelap pergi terusir oleh binarnya
Soetrisno menegakkan dirinya dari pembaringan
Kini sinar duka yang berbinar suram telah mulai sirna
Rupanya ia telah menemukan sebuah pijakan harapan
Atau ia telah mampu menutup lukanya
Atau ia telah sejenak lupa akan lukanya
Menghampiri meja tempat ia berkarya
Ia pun menatapku dan berkata
'Sakit ini berkurang setiap aku menulis puisi'
'Aku akan menulis 100 puisi'
'Aku akan mengusir rasa sakitku dengan 100 puisi'
Ia pun tersenyum
Ia pun berlinangan air mata
Meski tak sederas dulu
Meski tak selemah dulu
Cintanya masih memberinya hadiah berbentuk kepedihan

Kepedihan itu akan dikeluarkan dari dadanya
Kepedihan itu akan diukirnya dalam puisi
Kepedihan itu akan ditanamnya dengan tinta ke dalam kertas-kertasnya
Agar ia bisa melanjutkan hidup
Agar hidupnya dapat diwarnai lagi
Mungkin dengan cinta yang lain
Mungkin dengan cita-cita yang lain
Mungkin dengan harapan-harapan yang lain
Dia sudah berniat
Dan kini ia sibuk bergulat
Mengeluarkan kepedihannya
Yang terkunci rapat meskipun ia sudah menumpahkannya dalam genangan air mata

Tangannya sibuk menari-nari
Menggoreskan kepedihan demi kepedihan
Matanya sudah mulai tak berair
Apakah ia tak sedih lagi ataukah telah kering dan habis air matanya
Tapi ia tak kan pernah peduli dengan pertanyaan itu
Ia hanya ingin menulis dan menulis
Hingga semua kepedihannya berpindah ke atas kertas
Hanya itu yang ia harapkan
Dan hanya itu yang kini ia kerjakan
Hari demi hari
Malam demi malam
Ia terus mengukir kesedihannya
Ia terus mengeringkan air matanya
Ia terus menyembuhkan lukanya
Hingga puisi ke 100
Hingga karyanya yang ke 100
Hingga akhirnya air matanya dapat ia tahan
Hingga ia merasakan lelah yang luar biasa
Tetapi ia tersenyum
Ia tersenyum dengan sepenuh hati
Ia tersenyum menunjukkan kepuasan
Ia tersenyum merasa sebagai jiwa yang sehat
Ia tersenyum karena ia akhirnya bisa merasakan senyum

Cintanya memberi hadiah kepedihan
Kepedihan menghadiahinya senyuman terindah
Kepedihan menghadiahinya 100 puisi
Digenggamnya 100 lembar puisi-puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan perlahan
Dibacanya satu demi satu dengan penuh rasa
Dibacanya satu demi satu dengan senyuman disetiap akhir puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan binar-binar kehidupan
Dan matanya tak sembab lagi
Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya
Terbahak-bahak tiba-tiba
Dalam kesendiriannya ia tertawa setelah menangis
'Ah lepas juga beban ini.... aku bebas'
'Kepedihanku berbuah 100 puisi'

Menyembah

Aku sujud di depan Ka'bah
Dengan degup diri merendah
Dengan jiwa hamba yang rebah
Biar kesombongan musnah
Sehingga hati senantiasa pasrah
Meskipun juang tak kenal lelah

Aku sujud menyembah
Pada Tuhanku yang kusebut Allah
Pada dzat yang menguasai tanah
Pada dzat yang menguasai lembah
Pada dzat yang memberi berkah
Supaya aku tak serakah
Meski juang di depan pasrah

Aku sujud menyembah
Kepala di atas kini menyentuh tanah
Berharap baik dalam berkiprah
Memohon perlindungan dari musibah

Allah inilah aku jiwa dari tanah
Berdoa kepada Mu dengan segenap sembah
Catatlah kami di tempat yang indah

Aamiin.

Thursday, April 22, 2010

Cerita Cinta yang Lara (2) - Kubaca Puisiku

Tersenyum ia sejadi-jadinya
Senyuman dari dalam sanubari yang terluka
Senyuman yang mengkerut-kerutkan sejenak wajahnya
Senyuman bak air embun diterik matahari di jam 12
Luka hatinya sejenak segar
Luka hatinya sejenak terlupakan
Luka hatinya sejenak mengering
Tapi masih perih
Tapi matanya masih berlinang

Pemuda itu menatap, menengadah, dan menatap puisinya
Berulangkali menatapnya....berulangkali menarik nafas
Menyeka air matanya yang menggenang di sudut - sudut mata
Menyeka kesedihannya agar segera sirna
Berkurangkah ia...
Bebannya yang menggunung apakah menjadi pantai kelak?
Puisinya jawaban lukanya
Puisinya jawaban ragunya
Puisinya jawaban cintanya yang pedih
Ia tersenyum kembali
Dengan suara perlahan dan serak dibacanya puisi itu perlahan-lahan
Seperlahan datangnya harapan ke dalam jiwanya
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar bangkit
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar hidup kembali

Merebahkan diri merasakan tanah
Mulutnya bergumam mengalahkan suara lebah
Membaca puisinya
Mengkerutkan tubuhnya seolah ingin lahir kembali
Atau ia terlalu rindu dengan rahim ibunya
Rahim yang ia tempati 25 tahun yang lalu
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya status anak
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberi kesempatan untuk berbakti
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya cinta dari wanita tercantik di dunia
Wanita yang terlembut di dunia
Wanita yang terkuat di dunia
Yang memberi nama dirinya Soetrisno (cinta yang lebih baik)
Dan kini ia merasakan cinta itu
Cinta yang lebih baik dari miliknya
Dan kini ia mengerti perasaan ibunya itu
Ah... Soetrisno adalah nama yang indah

Ia pun bergumam kembali mengalahkan suara jangkrik
Dan ia pun meringkuk merasakan sensasi tulang-tulangnya
Merasakan semuanya dan membayangkan ibunya
Merasakan semuanya dan membayangkan ayahnya
Tiba-tiba ia merasa sangat bangga dengan dirinya
Dirinya adalah anak ayahnya dan ibunya
Mereka dua jiwa yang dicintainya
Mengingatkannya untuk bangkit
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cinta
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap harapan
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cita-cita
Dan tiba-tiba ia tegar...
Tetapi cintanya masih pedih
Matanya sembab dan tergenang

Matahari pun masuk ke peraduan
Pemuda itu masih mengkerutkan tubuhnya di atas tanah lantai rumahnya
Ia membiarkan pipinya bertanah
Tanah yang setiap saat ia injak
Tanah yang setiap saat ia seka
Kini memberinya tanda di pipinya yang basah
Meskipun terasa ia membiarkannya
Ia membiarkan pipinya kotor
Ia juga membiarkan kesedihan menguasanya lagi
Ia juga membiarkan angan-angannya kotor
Kotor dengan ketakutan-ketakutan
Kotor dengan amarah yang berujung tapi tak berpangkal
Kotor dengan sumpah serapahnya
Kotor dengan untung rugi yang dibenaknya
Ia menatapku lembut
Ia berbisik pada ku di kejauhan
'Kenapa aku dulu baik padanya....'
Menatapku kembali, kemudian menatap bintang yang mulai genit bekerlip
Kemudian menatap bulan yang indah sendiri
Ah...dia belum mampu melawannya

Perlahan ia bangun
Dan bergumam membaca puisinya
Dan bergumam mencaci maki bulan
Dan bergumam mencaci maki bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ditujukan bulan dan bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ia ucapkan
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang tak pernah layak kita dengarkan
Dan ia bergumam membaca puisinya
Dan ia bersuara keras membaca puisinya
Dan ia berteriak-teriak keras membaca puisinya
Di atas bukit yang dipenuhi edelweis
Dimana dirinya tinggal sendiri
Sendiri penuh luka
Sendiri dengan setitik sinar harapan
Tak peduli, terus berteriak
Tak peduli, terus mengusir lukanya
Akhirnya nafasnya tersengal-sengal
Tetapi ia tersenyum
Dan berkata padaku
'Kubaca puisiku, dan biarlah kulepas sedikit sedihku'
Ia tersenyum tetapi cintanya masih pedih

Wednesday, April 21, 2010

Cerita Cinta yang Lara (1) - Kertas yang Mampu

Dulu saat mentari terbit dari Timur seperti saat ini
Dulu saat mentari tenggelam dari Barat seperti saat ini
Saat bau rumput pagi tak bercampur polusi
Saat dedaunan memainkan musik
Kolaborasi angin dan daun yang terindah
Dan terdengar di setiap telinga dimana-mana
Hutan-hutan besi, beton, kini hanya bisa menyepi
Dulu saat pagi berarti segar semuanya
Sesegar rumput-rumput yang bermandikan air embun

Di atas sebuah bukit yang penuh dengan bunga edelweis
Seorang pemuda melukiskan puisinya di atas kertas
Setiap ia menulis air matanya menetes
Setiap ia menulis kata-katanya terhapus
Tintanya kalah oleh air mata
Tintanya tak memasung kata-kata
Kata-kata itu tak terekam
Berulangkali mencoba
Tak jemu mencoba
Hingga kertasnya menemui batasnya
Terluka dan tak ada tempat untuk kata-katanya
Tetesan air matanya sejenak berhenti
Terdiam ia membiarkan waktu tanpa laku
Dan kertas itu pun terserakkan
Tercampur dengan kertas-kertas yang lain
Kertas berikutnya berdoa
Berharap ia kuat merekam puisi sang pemuda
Berharap ia kuat meresap tinta
Tak terkalahkan oleh air mata

Pemuda itu masih terdiam
Tangannya memegang dadanya
Dada bidang seorang lelaki yang tertempa
Tertempa asam garam laku yang telah lalu
Tertempa oleh pedihnya kenyataan
Tertempa oleh hidup yang memihak waktu

Pemuda itu menatapku dan berbisik
'Tolong tuliskan rasa cintaku yang menjadi pedih, indahnya telah hilang entah kemana'
Ah rupanya cinta yang menyakitkan
Sayap sadarnya rupanya tak mampu mengepak
Sayap harapannya rupanya tak mampu mengepak
Sayap cintanya menjatuhkannya
Dan dia kini hanya seorang diri tenggelam dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya terombang-ambing dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya meneguk pedihnya cinta
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
Dia mengambil kertas selanjutnya
Air matanya mulai menetes lagi
Tangannya diurungkannya menggoreskan kata
Dipandangnya ribuan kertas-kertas yang tak bermakna
Berserakan tanpa mempunyai cerita
Berserakan tanpa menyimpan makna
Berserakan tanpa menampung rasa nya
Rasa sakit sendiri tanpa makna bahkan tak bisa bercerita
'Sudahlah...'
'Sudahlah...'
Ia menatapku dan berbisik
'Aku akan membuat kertas yang mampu'

Siang dan malam ia bekerja
Siang dan malam ia mencari jalan
Seminggu telah berlalu ia pun tersenyum haru
Dan sejak itu setiap pagi menjelang ia nampak memintal benang
Hingga bulan berdendang
Hingga bintang-bintang senyum cemerlang
Lelah tak dirasa
Menyerah tak dikenal
Putus asa bukan namanya
Tapi cinta masih membuatnya merana
Tetes-tetes air matanya masih menetes
Tapi tak merusak benang-benangnya
Tapi tak merusak kertas-kertas baru yang jadi
Rupanya ia membuat kertas dari benang

Kertas ke seribu pun jadi
Ia kembali mencoba menuangkan rasa
Ia kembali meneteskan air mata
Ia kembali mengoreskan kata-kata
Puisinya jadi
Puisinya terselesaikan
Meskipun air matanya menganak sungai
Tintanya bertahan dan mengakar
Rasanya telah tertumpahkan
Meskipun matanya masih berlinang

Tuesday, April 20, 2010

Bersama Hujan

diiringi tarian air yang menetes di atas tanah
yang menetes di atas batu
yang membasahi daun-daun hijau
yang membasahi ujung rumput yang sempurna
engkau menari dengan anggunnya dengan hujan
membuat yang memandangmu lupa punya jantung
dan membiarkannya bersuara genderang
dan akupun hanya bisa menggigit bibir
untuk menjaganya
dan membiarkan mata ini menikmati setiap gemulai yang ada
entah apa yang membuatnya indah
air hujan tak bertulang
atau gerakmu yang sangat indah
dan akupun hanya bisa meneguk tetes tetes hujan yang hambar
yang berasa debu
untuk memerangi hausnya


mata mungkin lelah
hati mungkin lemah
jiwa mungkin takut
tapi cinta?
dan kubiarkan cinta ini tak lelah
dan kubiarkan cinta ini tak lemah
dan kubiarkan cinta ini berani
meskipun aku hanya memandangmu
meskipun aku hanya menatapmu
meskipun aku terpejam bersamamu
disaat hujan
disaat engkau menari bersama hujan
disaat itu aku cinta

Monday, April 19, 2010

Cinta dalam Kotak Pandora (2)

Berbisik aku pada dada
(dimana adanya)
Dada tak menjawab hanya hening
Aku pun termangu tanpa jawaban
Terdiam mencoba mencari sendiri
Meski tahu tak mungkin kutemui

Berbisik aku pada jantung
(dimana adanya)
Jantung tetap berdegup
Tak memberi jawaban
Aku tak tahu apakah ia diam tak tahu ataukah diam tahu

Berbisik aku pada darah
(dimana adanya)
Darah tetap mengalir
Tak berhenti
Tak memberi jawab
Aku pun ikut mengalir dalam diam
Atau diam dalam waktu yang mengalir
Aku tak tahu

Aku tak tahu yang ada dalam diri
Mesti aku bisa merasa
Mesti aku tahu aku punya
Tapi dimana?

Dan Hidup

Menenangkan
Merambat perlahan
Menyentuh hati
Menghidupkan hati
Sebagai sensor
Sebagai pencerna
Tak tersesat
Tak bercabang
...dan hidup

Thursday, April 15, 2010

Razia Puisi

Ada polisi..ada polisi...
Merazia puisi...merazia puisi...
Yang nggak sesuai...yang menyalahi aturan
bakal di razia

Tapi bukan yang ini
Ijinnya lengkap
Aturannya terpenuhi
Nggak mugkin kena razia

Sebarkan berita
Sampaikan pesan
Ada razia puisi...
Tapi bukan yang ini.

Yang ini aman
Yang ini punya banyak teman

Hayo larilah segera puisi
Jangan ke Singapura
(Mr Gayus and Mr Susno contohnya)
Iya segera kabur
Kabur jauh-jauh puisi
Sebentar lagi kena razia

Wednesday, April 14, 2010

Pidato Kita Pekikkan Merdeka

Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Saudara-saudara se tanah air. Mari kita usir awan mendung di negri ini dengan teriakan MERDEKA. Kita penuhi ruang kosong di langit harapan. Kita padamkan api pesimis. Inilah saatnya bersama-sama. Inilah saatnya hati-hati merah putih bicara. Dan meneriakkan kata MERDEKA dari hatinya, dari fikirnya, dari mulutnya.

Mari kita merdekakan mereka yang tertindas. Mari kita merdekakan kita yang ditindas. Mari kita merdekakan mereka yang dimanipulasi. Mari kita merdekakan mereka yang terombang-ambing. Dengan perjuangan yang tak mengenal jera. Dengan perjuangan yang manis. Dengan perjuangan yang teguh.
Mari....

Merdeka tidak berarti mencari mati. Merdeka tidak berarti harus mati. Perjuangan yang cantik dan berani adalah kombinasi yang serasi. Berjuanglah bersama, teriaklah bersama, dengan tujuan yang sama...

MERDEKA

Cinta dalam Kotak Pandora

berharap dicinta
mampukah untuk dilupakan
berharap disayang
mampukah menjaga asa yang hilang
bila seperti itu
biarlah kutanam pohon cinta dalam Kotak Pandora
 
tak pernah mampu engkau memahami
karena aku juga begitu
apa yang kau lakukan
apa yang kau harapkan
dari cintaku aku tak mengerti
biarlah aku menyentuh
dengan tatapku
dengan senyumku
dan aku mencoba menyuap rasamu dengan sekantong coklat atau sebuah puisi romantis
meskipun engkau pura-pura tak paham
tetapi engkau kan merasa
cintaku dalam kotak Pandora tak tertahankan
 
biarlah aku mengejarmu
aku menjagamu
jika kau ragu mampukah kau buka Kotak Pandoraku? 

Tuesday, April 13, 2010

Top Up Cintaku

Air yang menetes jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Sajadah tempat ku bersujud jadilah saksiku aku perlu top up cinta.
Bibirku yang berdzikir jadilah saksiku aku perlu top up cinta.

Allah aku perlu cinta Mu.
Saat ini juga.

Kunci Hidup

Jika sehat yang dicari ilmu raga yang dicari.
Jika kaya yang dicari ilmu dunia yang dicari.
Benarkah?
Benarkah?

Jika sukses yang dicari kerja keras ya mesti.
Jika pandai yang dicari mesti rajin belajar.
Benarkah?
Benarkah?

Jika bahagia yang dicari kayakah keharusan?
Jika bahagia yang dicari kegagalan tidak boleh terjadi?
Benarkah?
Benarkah?

Haruskah kita bertanya pada yang sudah mati.
Rahasia kehidupan siapakah yang mampu membukanya?
Rahasia kehidupan dimanakah kuncinya?

Sunday, April 11, 2010

Kemana Perginya Cinta

Minyak kata-kata mengenai api emosi
Begitu panas gelora
Amarah sumpah serapah
Kata-kata tak sedap di telinga
Tertuang dan membakar suasana
Dan air pun mendidih matang
Tak mungkin suasana meneguk damai
Saat itu semuanya adalah raja

Ehm ehm...(Suara pak tua memberi spasi mencoba mengambil alih)
Ehm ehm...(Suara pak tua kembali)
Sejenak semua terpaku
Memandangnya dalam tatapan tanya.
Lalu dengan lantangnya ia bersuara
Hai api amarah yang bersemayam dalam kami,
senangkah engkau melihat kami bertikai?
Ia pun menebar pandang dan menatap lekat-lekat setiap bola mata yang ada.
Tangannya menunjuk ke langit
Lalu tangannya menunjuk ke setiap dada yang berdetak
Lalu tangannya menunjuk tanah
Dan ia pun pergi melangkah entah kemana

Satu persatu empunya dada yang berdetak menarik nafas
Saling menatap
Tersungging senyum
Pertikaian tetap pertikaian
Amarah tak perlu diumbar
Mereka pergi melangkahkan kaki
Mungkin suatu saat akan berlanjut
Mungkin suatu saat akan berhenti

Api amarah belum sirna
Api cinta tak pernah ditanya

Gadis Pelangi

Ketika langit hendak menumpahkan hujannya.
Seorang penghuni pelangi turun dengan manisnya.
Melupakan aku akan dunia.
Sekitar tak punya makna.
Hanya dia yang ada.
Senyumnya bukan miliknya.
Senyumnya melipurkan sepi.
Senyumnya meniadakan mimpi.
Karena ia ada nyata dalam mataku.

Penghuni pelangi berpendar dihatiku.
Kubranikan diri untuk menanyakan diri.
Kubranikan diri untuk menggapai mimpi.
Apakah dirimu sudah mendua, duhai penghuni pelangi?
Maukah engkau menjalani dunia bersamaku?
Barisan giginya diperlihatkan padaku.
Pipinya memerah mengalahkan indahnya pelangi.
Matanya memancarkan kehangatan mentari.
Ekspresinya bening tulus mengalahkan tetesan hujan.

Diapun berbincang-bincang denganku.
Seorang penghuni bumi yang tulus berbagi rasa.
Detik demi detik berlalu.
Tak terasa kami telah menjalin rasa.
Larut kami dalam perbincangan.
Serasa kami telah saling mengenal, bahkan sebelum bumi dan pelangi ada.

Tibalah saatnya ia kembali.
Bersama pelangi ia pergi.
Meninggalkanku rasa yang indah, indahnya melebihi pelangi.
Meninggalkanku tatapan terindah, indahnya melebihi pelangi.
Ah kenapa aku tak pergi bersamanya?
Pergi ke negri pelangi.
Biarlah tekad ini di hati.
Kan kutunggu pelangi nanti.

Bersama Tersembunyi

Pernahkan rasa itu pergi
Dimanakah ia sembunyi
Bila malam pergi kemanakah ianya
Apakah menanti mentari dan bulan menari
Diiringi bintang berkelap-kerlip menyatakan dirinya yang cantik
Meskipun pelangi tak mungkin menampakkan diri
Karena malam lebih memilih bintang
Tetapi aku lebih memilih larut dalam kata-kata tak berbunyi
Mengejar ia yang sembunyi
Dalam bentangan sajadah
Penuh harapan dan penuh pinta
Agar aku bersamanya di tempat yang tersembunyi

Sekiranya waktu adalah kawan
Aku memintanya atas nama persahabatan tuk kembali
Dimana aku ada di titik awal
Dimana nafas pertama tertarik
Dimana pilihanku belum tertulis
Tetapi...
Untuk apa aku kembali
Untuk apa aku menyesali
Panah telah terlepas dari busurnya
Dan aku bersama dengan yang tersembunyi

Saturday, April 10, 2010

Pidato Menikahlah dan Berharap Surga

Saudara-saudara sekalian terutama anda-anda yang masih sendiri dan usia sudah mencukupi.  Mari-mari kita merenung sejenak. Bukan untuk meratapi, ataupun untuk menyakiti hati. Hanya mencoba untuk sekedar berbagi, sebagai jalinan silahturahmi dalam rangka saling menasehati dan saling melengkapi.

Dalam sendiri mungkin hidup kita gerah, mungkin terasa resah, berat sebelah tak ada keseimbangan, jiwa terasa terbelah tak menyatu, mungkin ini adalah salah satu gejala dari penyakit yang kita namakan belum bertemu dengan cinta. Padahal sebenarnya adalah kebimbangan, padahal sebenarnya adalah keragu-raguan, padahal sebenarnya menutup diri dari pintu-pintu ibadah. Lihatlah merpati tak kan terbang tanpa sepasang sayapnya. Kaki kanan tak nyaman berlari tanpa si kiri. Rasanya demikian juga dengan jiwa kita. Jiwa yang sendiri tak akan pernah lengkap dalam mengarungi hidup. Bahkan seorang pilot memerlukan co pilot untuk mengemudikan pesawat. Pesawat mesin yang rumit, tetapi kita semua setuju bahwa kehidupan adalah hal yang sangat rumit.

Saudara-saudara ku sekalian yang masih menyendiri. Sekiranya hatimu belum terbuka untuk mendua, padahal Allah telah memberimu rezqi yang melimpah, usia yang cukup, dan bekal-bekal lain. Sudilah kiranya membuka hati untuk menyegerakan membentuk keluarga. Menikahlah... dan harapkan surga dalam niatmu.

Aamiin.

Aku Lupa Aku Cinta Kamu

Dalam sendiri bahkan sepi tak menemani
Hanyut dalam pusaran waktu
Tenggelam dalam dilema
Melupakan kata cinta yang diberi

Bisikan malam menutupku
Jalan kenangan kita
Tercecer entah kemana
Mencoba mempertahankannya
Tetapi tak kuasa
Bahkan makin jauh meninggalkan
Dan aku makin sendiri bahkan sepi tak menemani
Kucoba mendua dengan ramainya dunia
Kucoba mendua dengan karya
Kucoba mendua dengan kesibukan
Hanya membuatku sadar aku sendiri
Dan sepi tertawa terbahak-bahak
Dia mempunyai teman

Aku terlalu sendiri
Bahkan rasa cinta aku lupa rasanya
Ia telah lama tak menemaniku
Kini sepi mendekatiku
Biarlah....
Aku lupa aku cinta pada mu

Ini Mengenai Cinta

Sang Pencipta aku ingin bertanya
Kapankah cinta melekat dalam aku
Aku ingin tahu
Benarkah sejak buaian ia ada
Ataukah...(terdiam tanpa tahu apa yang hendak diucap...argh)

Sang Maha Tahu ini mengenai rasa
Rasa yang indah yang membuai
Terbang entah kemana
Tiba-tiba membuat menjadi pemaaf
Tiba-tiba membuat menjadi pemarah
Malu-malu
Cemburu
Gigih membela
Gigih memburu
Bagaimanakah menilainya
Bagaimanakah memulainya ada

Sekiranya Engkau ada selular phone
Aku SMS atau aku telepon sekarang juga
Mohon jawabannya
(dan aku pun bersujud pada Mu, bersyukur atas anugrah yang tak terperi)

Friday, April 9, 2010

Pengelana Khayal

Mendayung di sungai terindah
Ikan-ikan pesut menampakkan diri
Air bening hingga dasar terlihat
Kuteguk dahaga mata
Memandang keindahannya
Kutuliskan imajinasiku dalam blackberryku
Inspirasi kurekam dalm draft rangkaian kata

Imajinasiku terbang tinggi
Menembus mega-mega batasan
Sayap-sayap semangat mengepak
Tak takut jatuh dari ketinggian

Akulah sang pengelana khayal
Tak pernah lelah berpetualang
Tertelan dalam dunianya sendiri
Padahal kaki masih di sampan
Tetapi pikir entah kemana

Kudayung sampan ketepian
Sejenak berhenti dalam lamunan
Terik mentari sudah mengingatkan
Peluh terasa membasahi punggung
Kubiarkan kaki menelusuri jejak asalku
Dan langkah kakiku kembali membuka gerbang imajinasi
Kubiarkan ia tak tercatat
Melenakan untuk dihentikan
Melangkah tak mengindahkan sekitar
Tenggelam
Meskipun sayap-sayap kesadaranku masih mengepak
Membawaku menuju rumah

Dan kembalilah aku mengelana
Meskipun hanya sekedar dalam khayal
Kata-kata demi kata
Bayangan demi bayangan
Makna demi makna
Tak pernah haus terpuaskan
Bilakah bosan
Terpikirkan bahkan tidak
Sekiranya kau tahu jemu kujamin tidak
Bersiaplah mungkin nanti aku mengajakmu
Dalam perjalananku kelak
Meskipun hanya kata demi kata

Thursday, April 8, 2010

Pelangi Cinta

Debur rasa bergelora
Terik cinta menanamkan awan cemburu
Pelangi sayang terlukis di langit cerita
Amarah terbenam
Bangga melayang
Berdua menjalin rasa
Berdua memadu amarah
Berdua menggapai mimpi
Berdua membisikkan cinta

Mata saling menatap
Bersandarlah dirimu
Degup jantung musik terindah
Dan biarlah kemesraan menyelimuti
Berpendar dalam sesaat
Energi cinta melapisi
Semburat warna warni
Pelangi rasa dalam cinta tak pernah aku tahu warnanya
Mata cintaku tak mampu mencerna
Warnanya terlalu indah
Jiwaku berkecamuk dalam limitnya
Wadah cintaku overflow dalam luapannya
Dan biarlah begitu

I love you
.

Bilakah Cinta Pergi

Saat mentari terbitkah?
Saat menutup matakah?
Saat godaan menguasai?
Saat cobaan tak henti?
Bilakah cinta pergi?

.....dan kukecup dahimu
Mungkin engkau lupa yang terakhir
Mungkin kelak engkau bosan
Mungkin engkau ragu kini juga nanti
Dan biarlah pertanyaan itu selalu mengingatkan kita
Dan biarlah pertanyaan itu merekatkan kita.

Wednesday, April 7, 2010

Kubacakan Puisi di bawah Gerimis

Gerimis yang melenggak-lenggok tertiup angin. Seakan-akan turun tak berjalur. Angin membawanya kesana kemari. Seakan-akan menggambarkan rinduku.

Aku pun menarik nafasku. Mengambil ancang-ancang, memberanikan diri, menenangkan gejolak. Dua tiga kali kulakukan. Kebranian mulai lepas dari sekatnya. Suaraku sudah siap untukmu.

Aku pun membacakan puisi. Dalam gerimis yang dingin. Dalam rindu yang terombang-ambing. Untuk seseorang disana. Yang mungkin melupakan rindu. Yang mungkin tak pernah merasa gamang. Yang mungkin tak pernah merasakan gerimis. Dingin...

Gerimis pun kan berakhir. Tetapi puisiku belum berakhir. Ini bukan mantra memanggil hujan, bukan pula penangkalnya, ianya rasa rindu yang menggigil. Rindu yang sangat dingin membuat sejenak kelu lidahku. Puisiku belum berakhir. Tetapi gerimis tlah usai.

Dingin, dingin, aku tiba-tiba cengeng, menetes rinduku menggantikan gerimis.Aku berhenti, tak sanggup. Saatnya menunggu gerimis lagi. Agar puisiku merdu terdengar, karena rinduku yang dingin terpancing. Jiwaku, alam, puisi, serasa satu dalam rindu yang dingin, dalam gerimis yang dingin, dalam ucapanku yang dingin. Semuanya menyatu, harmonisasi, menggapai merdu.

Jika gerimis tiba ingatlah aku. Ingatlah rinduku. Ingatlah cintaku.

Sang Provokator

Hoi sang perkasa yang rupawan, pernahkah kau menantangnya?
Jawara yang terkenal dari Kutub Selatan hingga Kutub Utara.
Namanya kondang dari Barat hingga Timur.
Kalah tak memalukan, menang namamu kan dikenang.
Sekarang dia jalannya menengadah,
kurasa engkaupun lewat tak ditolehnya.

Hoi sang jutawan yang uangnya tak pernah habis.
Maukah kau berinvestasi,
untungnya pasti selangit.
Usahanya jarang diminati,
tetapi rugi takkan mungkin terjadi.
Ayo-ayo benamkan uangmu.

Hoi penguasa yang berkuasa.
Rekrutlah suara sebanyak-banyaknya.
Kalau perlu jasa penambah suara kau tahu mesti kemana.
Goreng menggoreng suara soal biasa.
Jangan menyesal kemudian.
Kursinya hanya dibuka 5 tahun sekali.

Hoi kamu-kamu yang gak kebagian,
kamu tahu apa yang mesti kamu lakukan.
Gasak.....

Biji Zarah Dihatimu

Biarkanlah aku menamakannya cinta
Meski engkau tak mau mengakuinya
Mungkin engkau memanggilnya benih
Tapi aku lebih suka menamakannya cinta
Senyummu tumbuh darinya
Sapamu tumbuh darinya
Apa yang darimu padaku tumbuh darinya
Biarkanlah
Jangan kau dustakan
Walaupun hanya setitik biji zarrah tetap saja namanya cinta
.

Tuesday, April 6, 2010

Selalu Ada Mentari

Bumi dikotaku diselimuti malam
Rupanya sejenak tanahku terlindung
Kulitnya lelah tersengat
Pori-porinya didinginkan angin

Sang raja berganti
Mentari meraja disisi lain
Gelap di sini

Sejenak klorofil beristirahat
Sejenak aku hanyut diperaduan
Sejenak membebaskan diri
Padahal aku tak dalam penjara
Padahal aku tak terbelenggu

Kubiarkan desah malam
Kubiarkan kerlip bintang
Mengikat kesadaranku
Menguncinya rapat-rapat dan membiarkan dering alarm hp ku membukanya
Terang kembali
Mentari meraja kembali

Dikotaku ketika malam menyelimuti
Mentari berjanji
Ia kan hadir diwaktunya

Aku Menulis Puisi

Aku menulis puisi tentang manusia dan jiwanya. Jiwanya yang meronta meminta apa yang dipanggilnya hak. Rumah kurang mewah. Mobil terlalu jadul. Wanitanya tak cukup jelita. Dia berteriak mana hakku. Tangannya mengepal ke langit. Matanya melotot menatap ke semua orang. Beri aku hakku.

Aku menulis puisi tentang manusia dan jiwanya. Jiwanya menunduk rendah tak berani menengadah. Berkata lirih aku punya berkarung-karung beban yang kunamai kewajiban. Istriku, diriku, ayahku, ibuku, anakku, cucuku, keponakanku, saudaraku, temanku, negaraku, agamaku, semut yang lewat di depan rumahku, kucing yang mengeong mesra di malam hari, tanaman yang kusiram setiap hari, dan lain lain. Tak mungkin kusebutkan satu persatu. Dia hanya menunduk sambil memandang tangannya yang dua itu. Punggungnya hanya satu meski tegap, tak yakin aku dia mampu. Bebannya berkarung-karung itu akan menjatuhkannya. Tetapi ia memandangku tulus. Tulislah saja puisimu.

Aku menulis puisi tentang manusia dan jiwanya. Kulukiskan seorang yang tak peduli apa itu hak dan apa itu kewajiban. Hidupnya dari matahari ke matahari. Hidupnya dari tarikan nafas ke tarikan nafas. Hidupnya dari lapar ke lapar. Ujarnya 'maaf mas boro-boro mikir hak, boro-boro mikir kewajiban. Kami ini orang-orang yang dieksploitasi. Ketika pemilu tiba, berita-berita di mass media, dan dalam puisi-puisi. Entah kenapa kami selalu ada?'.

Monday, April 5, 2010

Pergilah Paceklik

Penuh peluh lelaki yang menelan ludah
Berjalan menuju pematang
Terik menyengat membuat kulit matang
Meskipun diri masih mampu membajak.
Bahkan awan-awan telah lari
Meninggalkan langit bersih tanpa hiasan
Biru sebirunya
Lapang selapangnya cakrawala.
Kerbau-kerbaunya meracau
Meminta sejenak keteduhan
Dan ia mendengarkannya
Mereka diteduhkan.

Ia pun menarik nafas
Mengitari sawahnya
Menari tari kesuburan
Memantrai tanah
'Subur..suburlah...'
Ia mengulanginya seribu kali
Telapak kakinya menepuk bumi berkali kali
Telapak tangannya menepuk udara berkali-kali
Mulutnya komat-kamit
'Subur..suburlah...'
Sejenak dua jenak ia terhenti
Melangkah pergi ke ilalang
Merebahkan diri ke bumi
Ia mengetuk-ngetuk
Ia berbisik
'Aku sudah menari...'
'Aku sudah menyanyi...'
'Duhai Sri saatnya engkau menumbuhkan benihku...'

Ketika benih tumbuh semata kaki
Ia pun bebinar
Berdiri di pematang melepaskan pandang harapan
Ingin kembali ia menari
Baru bergerak sebentar
Seruan hangat menembus hatinya
'Jangan duakan Dia...'
'Berdoa sajalah pada Ilahi, semesta mendengar, bumi pun patuh'
Maka ia membasuh wudlu
Tari diganti sholat
Transformasi nilai sesaat menjadi
Maka ia berbisik disujudnya
'Allah Tuhanku jauhkan hama dari padiku'
Harapnya sepenuh harap
Pintanya sepenuh pinta

Waktu berjalan
Padipun berbuah
Menguning diantara kehijauan yang samar
Ia meneteskan bahagia
Bersujud kembali tuk bersyukur
Maka ia pun menyeru
Menyeru pada awan
Menyeru pada angin
Menyeru pada langit
Menyeru pada bumi
'Pergi...pergilah paceklik..'

Cerita Naga Api

Naga api pergi ke Timur
Meninggalkan jejak disepanjang jalan
Tanah yang membara
Hutan yang mendebu
Belukar tak berbekas
Penduduk tercekam
Raja kehabisan akal
Sayembara...sayembara
Akhirnya diadakan
Untuk setiap mereka
Agar naga api kembali ke Barat

Barat menjadi dingin
Air-air membeku
Ikan-ikan terdiam terbeku tak sempat pergi
Terlalu dingin
Bahkan gelas air menjadi segelas es
Air tak cair lagi
Kayu-kayu dibakar sekedar penghangat
Tapi dingin sangat dingin
Baju dingin dan sarung tangan dikenakan
Bahkan telinga pun mendenging
Naga api penghangat Barat
Meninggalkannya entah kenapa

Seorang muda menghadap raja
Aku pengendali naga
Tak pernah gentar menghadapinya
Siap membantu sekiranya percaya ada
Berilah aku maka aku pergi
Memandang dan menimbang
Akhirnya raja memberinya percaya
Pergilah pemuda membawa percaya dalam dadanya
Tak bersenjata tak berbaju besi
Dia pun menemui naga api
Di lapangan luas yang penuh asap
Rumput-rumputnya berwarna arang
Bahkan semut pun tak nampakkan sungutnya

Hai naga api penghangat Barat
Aku membawa percaya dari raja
Menanyakan kepadamu kenapa pergi ke Timur
Naga api mendengus
Hanya asap jawabannya
Kemudian ia bergumam
Percaya telah lama hilang di Barat
Apakah mungkin ada di Timur?
Sang pemuda pun tertawa
Kiranya benar, engkau mencari percaya
Tangannya meraba pusat degup
Terlihatlah percaya
Berbinar-binar menyilaukan mata
Menyejukkan jiwa
Menenangkan
Naga api gembira
Ia pun menemukan percaya
Meski begitu jauh dia arungi
Percaya membuatnya mau kembali

Cerita Gadis yang Bersayap

Malam ditelan bulan dan bintang
Seorang gadis yang cantik yang pernah ada di bumi
Berlari kencang mengejar
Tetapi kaki tak mampu menopang

Dilepaskannya semua ikatan cakranya
Sejenak mengalirlah energi disungai nadi
Meloncat mengejar bak superhero
Ternyata jarak masih terbentang
Ribuan depa kedepan
Dia tak menyerah

Menatap bulan dan bintang
Menengadah merapal doa
"Tumbuhkanlah sayapku..."
Sejenak dia berhenti
Menarik nafas dan berpatut memandang bayangannya
Doanya belum dikabulkan

Tak mau berkeluh kesah
Dia kembali mengejar
Tetap berharap
Semoga Dia mendengar
Sejenak cahaya berpendar
Mengelilingi tubuhnya yang terbalut sutra
Ringan selembut bulu
Rasa yang penuh sensasi

Dia berucap syukur
Sayap-sayap itu tumbuh
Binar mata dan semangat yang terpompa
Melesat melebihi cahaya
Akhirnya dia berhasil menangkap apa yang dikejar
Sebuah kotak terbang yang bertuliskan 'harapan'

Sunday, April 4, 2010

Puisi yang Terbebani

Puisi Penuh Makna

Kata-kata telah meninggalkan makna polosnya
Busana kerumitan hanya dicerna dengan dalamnya pemahaman
Terkadang aku pun tak paham
Manggut-manggut hanya kamuflase
Nggak ngerti...nggak ngerti
Dan biarlah puisi itu terbebani dengan makna
Meskipun hanya yang empunya dan Tuhan yang tahu
.

Puisi Penuh Cinta

Hati yang meletus karena rindu
Melukiskan rasanya kata demi kata
Cinta diterimanya walau itu siksa
Pesan kepada yang dicinta pun disampaikan
Meskipun itu hanya tersimpan dalam wadah digital
Tak pernah dikirim
Hanya yang empunya dan Tuhan yang tahu
Dalamnya cinta
Dalamnya rindu
.

Puisi Penuh Doa

Merasa jauh
Merasa dekat
Merasa harap
Kata-kata terucap
Tanda diri seorang hamba
Menyandarkannya pada pemilik kehidupan
.

Puisi sebagai Obat

Terhempas dari ketinggian yang menyakitkan
Lara hati
Asa terbuang
Diri hanya mampu berharap
Biarlah tergambar dalam rautan kata
Sehingga semua terobati
Harga diri yang pergi
Kejernihan yang ditelan gelombang cobaan
Menulislah... dan sembuhlah...
.

Saturday, April 3, 2010

Pidato Nikmatilah Hidup

Assalammualaikum...

Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudara sekalian. Nikmatilah hidup yang kita punya. Setiap nafas yang diberi adalah kesempatan. Setiap kedip yang diberi adalah nikmat yang tiada tara. Setiap langkah yang diberi adalah kunci dari pintu amal yang terbuka. Jangan sia-siakan semua itu. Jangan buang kesempatan itu. Nikmatilah hidup.

Tariklah nafas panjang. Ucapkanlah hamdalah sebagai tanda syukur. Sebagai tanda nikmat hidup dapat kita rasakan. Nikmat hidup menghidupkan kita. Hati yang bosan, hati yang sempit, hati yang luka, hati yang kecewa, mungkin itu semua tanda kita salah menikmati hidup. Nikmatilah hidup dengan beribadah. Nikmatilah hidup dengan sholat. Nikmatilah hidup dengan doa. Nikmatilah hidup dengan berkarya. Iya..betul... Nikmatilah hidup dengan berbuat sesuatu.

Insya Allah hati menjadi ringan, bukan karena buatan kita, tetapi hadiah dari penguasa hati. Mungkin kita kalah, mungkin kita mundur, mungkin kita kehilangan tetapi iman semakin tebal, ihlas menghiasi amal, hidup punya makna.

Wassalammualaikum.

Terjerat

(1)
Terjerat dalam materi bak raja diraja.
Sedang kaya tak hinggap di hati.
Raga hanyalah robot nafsu-nafsu tak henti.
Meski sadar cukup tak pernah cukup.
Kilau harta menjatuhkan nurani.
Jubah kemuliaan melupakan asal.
Kekuasaan bahasanya.
Ah... Kembali ke tanah bukankah kita?

(2)
Terjerat dalam mimpi tak berpijak.
Terbang tinggi padahal tak punya daya.
Usaha pun tak mau.
Hanya jika dan jika.
Terninabobokkan dengan siulan indahnya nanti.
Padahal sekarang tak sadar dimana.
Ah... Mesti bisa menjadi nyata khayalan haruslah diusahakan.

(3)
Terjerat dalam kelamnya hidup.
Bahkan mengkhayalkan jalan yang semestinya tak berani.
Dan kelam semakin kelam.
Ternikmati meski terkadang ragu menyerang.
Ternikmati mematikan sinar nurani.
Kelam..Gelap..Suram.
Seberapa beraninyakah mencari kemerdekaan?

Bahasa Merdu - Puisi Cinta

Bahasa Merdu - Pidato