Sunday, May 30, 2010

Berjuang

Rasa ini menyekat fikir ku
Rasa ini membekukan ku
Rasa ini mengunci seluruh diriku
Entah mesti kupanggil apa rasa ini
Mungkin kupanggil malas, padahal aku semangat berapi-api
Mungkin kupanggil tak berdaya, tapi aku meronta

Pada pikir ke-2 aku merasa tak berdaya adalah nama yang tepat
Dan aku pun menamai rasa ini Tak Berdaya

Ku kumpulkan semua daya yang kupunya
Ku kumpulkan semua energi yang ada
Hingga sekat-sekat di fikir ku terusir
Hingga kebekuanku mencair
Hingga seluruh diriku bebas
Entah mesti kupanggil apa kerja ini
Mungkin kupanggil memberontak, padahal aku mematuhi aturan
Mungkin kupanggil perjuangan, tetapi aku sudah merdeka

Pada pikir ke-2 rasanya Berjuang adalah nama yang tepat
Dan aku pun Berjuang untuk mengalahkan Tak Berdaya yang bersemayam

Merdeka.....!

Friday, May 28, 2010

Kenangan

Kenangan yang tak terduga itu muncul menghancurkan jemu yang mengikat, padahal telah terpendam dan terbenam di dasar laut memori masa kecil. Kenangan itu memberikan bunga-bunga rasa entah namanya apa, padahal aku sudah menua, melaju jauh dari waktu itu.

Kesendirianku ternyata sudah terusir. Senyum-senyum kecil menemaniku memberikan meriah, bahkan ia sangat akrab denganku diwaktu ini. Apakah ini kegilaan, buah dari kejemuan yang tiba-tiba terpangkas. Tercabut begitu saja, berikut akar-akarnya yang ternyata dalam tertanam.  Dan tanaman jemu itu pun segera tergantikan dengan tunas-tunas kenangan.

Tunas-tunas itu tumbuh begitu cepat memenuhi semua ruang yang ada. Membuatku terkadang terpingkal-pingkal, membuatku terkadang sedih ,  ah rasa-rasa itu terkadang silih berganti, meskipun sekilas, hanya sekelebat, hanya sepersekian detik, berlomba mengisi jiwaku.

Ternyata aku sudah menua. Menua yang kusadari ternyata bermakna kaya, kaya dengan kenangan, kaya dengan rasa, kaya dengan emosi, dan semuanya adalah aku di saat ini.

Thursday, May 27, 2010

Pengelana Khayal (2) - Istana Rembulan

Malam ini kucoba melenakan diri
Untuk tenggelam dalam khayalku
Tetapi kucari-cari entah kemana ia pergi
Berbagai sudut pikiran kutelusuri
Berbagai gelombang emosi kuarungi
Tak jua kutemui
Bagaimana malam ini harus kulalui...
aku sang pengelana khayal
Yang tak pernah merasa hidup tanpa khayalan
Yang dalam jemu jika tak berkhayal

Hingga penat itu hinggap

Kepenatan kulepaskan sejenak ke sungai
Ikan-ikan pesut di sungai itu terlalu kusam
Bahkan sungai yang bening itu menjadi suram
Kepenatan kulepaskan sejenak ke angkasa
Malam dengan bintang
Malam dengan rembulan
Terlalu sama
Terlalu seragam dengan yang lalu
Khayalku yang mati tak memberinya warna

Waktu  yang berlalu pun menawanku memberi bosan
Tetapi ia membebaskan khayalku
Aku pun mendekati waktu untuk menawanku malam ini
Waktu tawanlah aku...waktu tawanlah aku
Ternyata ia mendengar
Dan angkasa penuh dengan peri-peri yang menari-nari
Serbuk-serbuk terbang milik Peter Pan memandikanku
Ringan sekujur tubuh membumbung tinggi
Bercakap-cakap dengan peri-peri itu
Yang akunya lebih sering mendengar dan mereka bercerita
Mendengarkan mereka indahnya angkasa dan semesta
Mendengarkan mereka indahnya negeri-negeri yang ada di bumi
Mendengarkan mereka indahnya istana-istana yang pernah ada

Mataku berbinar-binar mendengar
Hatiku mencerah dari kesuraman
Ikan-ikan pesut dan air sungai yang kupandang pun begitu sekali
Begitu menghidupkan
Begitu membunuh kejemuan
Suasana ini pun segera kurekam dalam benakku
Tetapi peri-peri itu segera menarik perhatianku
Dikenakannya sepatu awan di kedua kakiku
Mereka hanya memberi isyarat diam padaku
Mereka hanya memintaku memejamkan mata

Istana indah di rembulan membuatku nanar
Berlian-berlian yang pernah ada terkalahkan kilaunya
Menara-menaranya menjulang megah
Menara utara berwarna biru benhur yang bening
Menara selatan berwarna hijau pualam yang teduh
Menara timur berwarna merah delima yang menyemangatkan
Menara barat berwarna violet yang menawan

Pemandangan yang melenakan mata
Dan kubiarkan tubuhku merebahkan diri di dalamnya
Di atas pualam yang memberi sejuk tak terhenti
Aku pun berbisik pada waktu
Waktu tawanlah aku... waktu tawanlah aku
Ia pun masih mau mendengar

Monday, May 24, 2010

Tataplah Mataku

Jika kejujuran yang kau cari
Jika kebenaran yang kau cari
Tataplah mataku

Tataplah mataku lekat-lekat
Dengan semua nyalimu
Dengan semua energimu
Tataplah mataku

Tataplah mataku jangan kau lepas
Genggamlah ia di jiwamu
Citrakanlah ia di benakmu
Tataplah mataku

Tataplah mataku jangan kau lupa
Sekiranya ragu padaku
Sekiranya sangsi pada lidahku
Tataplah mataku

Bila waktu yang mengalir memberimu sendiri
Padahal engkau punya aku nun jauh di sana
Menatapku tak mungkin jua
Tunggulah kerlip bintang di Utara
Itulah aku yang memandangmu
Tataplah mataku

Tak Perlu Dimengerti

Malam yang dingin ini ia tak mau bercermin.
Cermin membuatnya malu terhadap dirinya.
Jiwanya menolak apa yang dilihatnya.

Pagi yang cerah ini tetap tak mengusiknya untuk bercermin.
Meskipun dia tetap menyisir rambutnya yang indah itu.
Ia tetap tak mau melihat dirinya.

Ternyata bukan karena mentari, pagi, siang, dan malam, ia pun masih tak mau bercermin.
Ia sudah tak berselera melihat dirinya sendiri.
Ia sudah tak peduli pada tampilan dirinya sendiri.

Dunia sudah tak memberi tempat untuknya.
Ia pun tak memberi tempat untuk dirinya sendiri.
Meskipun itu di dalam cermin.

Sunday, May 23, 2010

Mentari dan Kopi

Sehangat pagi di saat dhuha, hati ini merasa sehat. Memandang ke belakang tidaklah memberi kuat. Sakit yang ada, pedih yang meradang, demam yang singgah, semua adalah lalu yang harus kusekat.

Kuhirup secangkir kopi memberi bau optmis yang lekat. Otakku memberi sinyal rileks, laraku yang lalu pun pelan-pelan dikerat. Mentari dan kopi kolaborasi yang tepat. Menikmatinya dengan seksama, membekas dihati, memberi semangat. Dan hari pun terasa cerah tak pucat.

Langkah kakiku hari ini terasa mantap. Cahaya, memberi terang, mengusir gelap. Arah yang dituju sudah kutatap. Halangan dan rintangan tak akan membuat kalap. Sabar, kebranian, dan keyakinan adalah bekal, jangan sampai silap.

Kolaborasi mentari dan kopi memang luar biasa.

Saturday, May 22, 2010

Jejak Cinta

Telah kutinggalkan jejakku dalam hidupmu. Mungkin kelak engkau ingin mengenangnya. Sedih atau tawa engkau yang memilikinya. Biarkan atau lupakan atau kau perkaya terserah padamu. Engkau yang memutuskan. Matikan ragumu, matikan sangsimu. Jangan pernah kelam dan gelap yang kubuat menjatuhkamu. Maaf.... Majulah, lajulah, aku selalu memberimu jendela yang terbuka untuk kau tengok berulangkali, dari jejakku yang ada di hatimu. Semoga suatu hari nanti engkau mengerti. Semoga suatu hari nanti engkau membuka jendela itu. Dan engkau menemukan di situ lah indahnya cintaku.

Friday, May 21, 2010

Lelaki dan Bayangan (2)

Pagi yang indah pun datang. Mentari memberinya keceriaan. Sinarnya menyusup dari kaca jendela kamarnya. Bayangan dirinya mulai jelas terlihat. Lelaki itu pun tersenyum padaku. Percakapanku dengannya semalam sudah dilupakannya. Ia kembali asyik menatap bayangannya dan mengajakku berbicara. Ia ceritakan isi hatinya yang menyimpan gundah gulana. Ia ceritakan rasa pesimis yang mengunci masa depannya. Ia tidak menangis, tetapi ia sangat sedih.
Istrinya yang cantik jelita itu mendesah menatap kami. Langkah kakinya menghampiri jendela dan menutup tirai, ia membunuhku. Lelaki itu sedih melihat tak ada bayangannya di kamar. Ia pun memalingkan muka tak mengajak bicara. Istrinya berusaha membuka interaksi. Dicobanya beberapa kata pembuka. Tetapi lelaki itu melukainya dengan diam yang tajam. Dan mengena dengan telak, hingga meneteslah beberapa tetes air mata. Hangat matanya, perih hatinya.
Hingga malam yang bertugas dan siang pun pergi beristirahat. Lelaki itu menatap tembok di atas pembaringannya. Membalas tindakannya pagi tadi dan pagi-pagi sebelumnya, setiap saat kami tertangkap basah. Istrinya hanya menangis, membiarkan air matanya membanjiri bantal. Kesedihan rupanya memenjarakan hidup mereka. Tepatnya sejak dua tahun lalu. Saat itulah ia akrab denganku. Tepat saat sehari setelah bulan madu mereka. Dimana ia harus mengenakan kursi roda, karena kecelakaan yang menimpanya.
Ia tak mau mengakrabi istrinya, istrinya tak mau meninggalkannya. Meskipun ia sangat terluka, oleh sikap-sikap diam yang tajam. Lelaki itu bergumam kepada tembok 'aku hanya memiliki bayangan, tetapi istriku berulangkali membunuhnya'. Istrinya terdiam sejenak, kalimat yang sama yang didengarnya berulangkali. Ia menatap punggung yang membelakanginya. Punggung orang yang ia cintai sepenuhnya. Punggung orang yang tak ingin berbagi duka dengannya. Punggung orang yang ingin mengusir dirinya dari kehidupannya.
Bingung sejenak, ingin ia berkata-kata. Kata-katanya telah dikalahkan oleh bayangan. Hatinya terlalu luka oleh diam-diam yang tajam. Ia ingin mengakhiri semua ini. Ia ingin menghancurkan tembok tak kasat mata diantara mereka. Bagaimana caranya? Malam itu ia berjuang kembali, melawan lukanya. Malam itu tekadnya sudah membaja.
Tiba-tiba istri yang cantik jelita itu berkata nyaring. 'Suamiku aku mencintaimu'. Kenyaringan dengan perih mendalam dengan nada getir. Dipeluknya suaminya secara kasar. Lelaki itu hanya diam. Tidak memberi tanda. Bahkan ketika perih di pundak kanannya terasa. Ada darah yang mengalir. Istrinya menggigit dalam-dalam pundaknya, hingga luka. 'Suamiku jika engkau melihat hatiku, lukanya lebih dalam dari lukamu. Suamiku jika engkau merasa perih, perihnya jiwaku lebih perih dari perihmu. Aku mencintaimu apa adanya'. Dan pelukkan itu mengerat, seperti simpul mati pada badannya. Lelaki itu menangis, tangisan pertama sejak dua tahun lalu.
Hening...sangat hening...sedih pun terpecahkan dengan dua pasang mata yang basah. Detik yang melaju memberi suara dari dinding. Entah berapa ribu ia melaju. Hingga sang lelaki itu membalikkan badannya. Mengucapkan kalimat pertama sejak ia membisu, 'aku hanya memilikimu'.

Lelaki dan Bayangan

Lelaki itu datang padaku. Mengeluhkan hidupnya dengan hartanya. Katanya 'aku tak punya apa-apa, selain bayanganku'. Ia menatapku dengan 1000 makna. Dibiarkannnya diriku mencerna kata-katanya. Tetapi aku hanya memberinya diam tanpa bahasa. Dan aku juga memberikannya telingaku untuk mendengar.

Saat itu malam sedang bertugas. Aku dan dia ditemani beberapa lampu. Dia tertawa dan menunjuk-nunjuk bayangannya.'Lihat-lihatlah itu...itulah hartaku satu-satunya'. Dia kembali menatapku, di berikannya wajah sedih yang teramat sedihnya padaku. Menarik nafaslah ia berulangkali. Berusaha mengusir energi negatif yang menguasainya. Mendesah...mendesah...sedih...sedih. Aku bingung dengan situasi ini. Ingin lari darinya saat itu juga. Dan membiarkannya tertawa sendiri. Tapi ingin itu kubuang segera.

Lelaki didepanku ini kukenal serba kecukupan. Harta bukanlah isu baginya, tetapi ia mengeluhkannya padaku. Ah...aku pun belum menangkap maksudnya.

'Aku hanya punya bayangan, kemana aku pergi aku tak mau gelap merampasnya. Ia hartaku satu-satunya'. Ia menatap lampu yang menemani kami dengan sangat mesra. Sekiranya istrinya melihat ini, ia pasti sudah memutilasi lampu itu. Padahal lampu itu hanya memberinya bayangan, tidak lebih dari itu. Dan ia pun menatap mesra lampu itu. Senangnya muncul dari senyumnya. Ia pun menarik bibirnya dengan sepenuh hati. Seolah-olah sedih sudah pergi.

Aku menatapnya dengan seribu tanya. Gusar dengan tingkah lakunya. Gusar dengan sikapnya. Kuusik dia dengan tanya yang sekedarnya: 'Lalu kalau kau dikubur apa yang kau punya?'. Dia pun berkata 'Ah bahkan bayangan pun aku tak punya'. Ia pun sedih kembali. Menatapku dan menatapku. Dimatikannya lampu itu, dimatikannya aku. Dan ia pun sendiri dalam gelap, tanpa lampu, dan tanpa aku.

Wednesday, May 19, 2010

Malam ini Cinta Gratis

Malam ini tuan cinta gratis
Cukup kau kecup bibir nya
Kau peluk dirinya
Orang yang telah kau ikat jiwanya di depan penghulu

Malam ini tuan cinta gratis
Cukup kau tatap dalam-dalam wajah-wajahnya
Sepenuh rasa, sepenuh doa
Jiwa-jiwa yang kau panggil ayah dan bunda

Malam ini tuan cinta gratis
Cukup sujud di atas sajadah
Meminta pada Nya
Benar tuan mintalah pada Nya cinta
Semoga tuan mendapatkannya gratis

Tuesday, May 18, 2010

Tuan Penyair

Tuan penyair penamu menghantam keras wajahku
Membuatku malu tertunduk di sudut netral
Aku pun jatuh dalam hitungan ke-10
Tak berani aku bertarung lagi

Tuan penyair penamu tajam mengiris hati
Membuatku bersedih tanpa bisa berhenti
Membaca karya mu aku hanya bisa melongo dengan air mata
Pedih dan perih sekali kata-katanya
Bukan mengenai harga diriku
Tetapi ceritanya itu aku nggak ku ku...

Tuan penyair penamu membius fikirku
Sadarku terbang dalam alam imajinasi yang tak pernah kupijak
Bukan hanya sekedar wisata fikir
Tetapi juga mengolahnya dan membiarkannya menyerap gizi yang ada

Tuan penyair aku minta ampun
Penamu sudah mengoyak-ngoyak diriku
Diriku membaca karyamu menjadi diri yang lain
Apakah engkau berani bertanggung jawab atas ulahmu?
Tuan penyair aku tidak meminta engkau menikahiku
Hanya tanggung jawab yang kupinta

Projek Rambut Hijau (2) - Danau yang Menenangkan

Ihsan menggerakkan tubuhnya yang meringkuk dalam selimut, sejenak mematikan AC yang menggigiti kulit dan memberinya bekas dingin di wajah. Setelah diselesaikannya sholat subuh dengan segera, ia pun melangkah ke arah balkon di depan kamar tidurnya di lantai dua. Ia menarik nafas memenuhi paru-parunya dengan kesegaran, sengaja ia memperpelan degup jantungnya. Menghirup udara segar dalam-dalam, mengeluarkannya sedikit demi sedikit, dan mebiarkan sebagian terperangkap, mengulanginya lagi, hingga ia merasa sangat-sangat relaks dan segar. Ia menatap gelap yang perlahan-lahan pergi, dan temaram pagi, dan matahari pun bersinar dengan cerahnya. Semuanya ia saksikan dan dinikmatinya dari balkon, ia pun merasa segar dengan semua itu. Gelap yang pergi seolah-olah melarikan kepenatannya. Pagi yang cerah memberinya sugesti energi yang meluap-luap, hendak ia salurkan di pagi ini.

Entah apa yang mendorongnya untuk berjalan-jalan, apakah kejemuannya pada rumah, ataukah inspirasinya yang sudah mengering,ataukah dua hal itu yang sedang terjadi pada dirinya. Sudah setahun lamanya ia tinggal di lingkungan itu, tetapi ia belum terlalu dekat dengan tetangga-tetangganya. Hari itu ia bertekad untuk mencoba menceburkan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia menegur tukang-tukang sayur yang ada, mencoba berbasa-basi sedikit, meskipun beli pun tidak. Dikumpulkan keterangan tentang siapa saja tetangga-tetangganya. Informasi itu disimpan rapi dalam otaknya. Saat ini tak mungkin ia bertamu, tetapi malamnya mungkin saja. Ia pun terus berjalan-jalan menikmati pagi, tak berapa lama dia bertemu dengan pasangan-pasangan tua yang asyik berjoging. Ia pun mencoba menyamakan arah dan menyapa mereka. Ihsan sangat pandai melarutkan suasana, hingga ia pun berkenalan dengan beberapa.

Bahkan sepasang suami-istri, Pak Mulya dan Ibu Monika mengundangnya untuk mampir ke rumah mereka. Ihsan pun menyambut gembira tawaran itu, ternyata tak harus menunggu malam untuk bertamu. Hatinya yang sedang tak mampu berkarya, benaknya yang sedang berada di jalan buntu, membuatnya merasa perlu mengumpulkan sumber energi baru, sehingga ia dapat berkarya kembali. Tawaran itu tiket baginya, untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang menutup ide-ide karyanya. Tawaran itu juga kesempatan baginya membongkar tembok-tembok tinggi yang menghalangi dirinya untuk bersosialisasi. Tembok-tembok tinggi yang ia pasang di sekeliling rumahnya, yang ia pasang di sekeliling hatinya, agar dirinya tidak terganggu, agar dirinya dapat menikmati ketenangan yang ia kehendaki.

Ternyata percakapan diantara mereka mengalir begitu saja. Seolah-olah jiwa-jiwa mereka sudah saling mengenal, melewati batasan-batasan yang dibentuk oleh raga. Pak Mulya dan Ibu Monika adalah keluarga pedagang, mendengar Ihsan adalah seorang penyair, mereka pun asyik bertukar cerita tentang dunia masing-masing. Mereka bertiga larut dalam waktu, bahkan tak terasa siang pun sudah. Pak Mulya dan Ibu Monika menyarankan agar Ihsan mencoba berkontemplasi di danau yang tak jauh dari lingkungan mereka. Mereka berharap Ihsan segera dapat mengatasi kebuntuan kreasinya di sana, itulah ucapan terakhir mereka sebagai kata perpisahan.

Sore yang bersih, Ihsan membawa dirinya menuju danau yang disarankan Pak Mulya dan Ibu Monika. Tatapannya menyapu sekitar danau, ia pun tersenyum senang. Dicari-carinya tempat yang sesuai untuk menyendiri dan mencari ide. Disekeliling danau itu nampak beberapa orang yang juga asyik bersantai ria. Beberapa pohon tua untuk mencari keteduhan pun ada pula. Ia memilih salah satu pohon tua yang tak ada orang disekelilingnya, dan Ihsan pun mencoba menikmati situasi sore itu di bawah pohon pilihannya. Dan mencoba membiarkan pikirannya terbang bebas, dan mencoba membebaskan pikirannya yang terikat oleh apa yang ia pun tak tahu. Menatap langit, ia mencoba merasakan kebebasan terbang hingga ke ujungnya. Menatap danau, ia mencoba berenang merasa segarnya air yang menenangkan.

Monday, May 17, 2010

Malam Telanlah Aku

Ini ego ku yang menguasai duniaku
Ini ego ku lelaki yang berpijak pada cita-cita
Ini ego ku yang tak mau mendengar seruan
Malam...hai malam...telanlah aku
Dan biarlah aku lenyap bersama terbitnya pagi
Dan diri baru akan muncul sujud di atas sajadah

Sunday, May 16, 2010

Projek Rambut Hijau (1) - Sang Penyair

Rumput-rumput itu meringkuk bergesekan, berlindung dari dinginnya angin malam yang berhembus. Terus melaju hingga menghabis di depan sebuah rumah berpagar putih. Rumah dua lantai yang hanya berpenghuni satu orang saja. Orang-orang memanggilnya Ihsan seorang penyair yang gemar berkontemplasi, memikirkan nasibnya, memikirkan karyanya, memikirkan perutnya, memikirkan negaranya, bahkan terkadang ia sibuk memikirkan dunia. Tenggelam ia dalam pikirannya, dan saat itulah dunia nyata seakan tersekat, dan ia pun mengelana bebas bersama khayalnya, yang setia menemani, kapan pun ia mau, dimana saja ia mau. Begitulah kehidupan seorang penyair, lamunannya adalah tambang emasnya. Hal itu disadari oleh Ihsan, dan ia pun sering menambang, pagi hari, siang hari, hingga malam hari. Bahkan terkadang ia hanya sedikit tidur dalam beberapa hari. 'Aku menambang emas..', bisiknya memotivasi dirinya sendiri yang terkadang di ambang lelah.

Rumahnya mempunyai luas 400 m2 lebih. Kolam renang untuk relaksasinya pun ada. Ihsan memang seorang penyair yang kondang dan berhasil. Ia mempunyai karya-karya yang fenomenal, namanya sudah melegenda, kerja kerasnya telah menuai begitu banyak keberhasilan, dan ia menyisihkan sedikit keberhasilan itu dengan membangun rumah pusat aktifitasnya senyaman mungkin. Berkontemplasi, relaksasi, membakar kalori, mengundang kerabat, mengundang sahabat, sehingga ia merasa selalu dekat, dengan orang-orang yang dikenalnya. Ihsan merasa membutuhkan mereka, terkadang ia merasa benci sekali dengan kesendirian, sehingga diusirnya kesendirian itu jauh-jauh dengan keramaian. Tetapi ia terkadang juga merasa benci sekali dengan keramaian maka ia pun mengurung dirinya dalam rumah, dan menikmati sepi, menenggaknya detik-demi detik, dan tak pernah merasa kenyang, meskipun mentari pagi berulangkali terbit. Mungkin itulah alasan dirinya untuk tak segera mendua, melengkapi jiwanya yang sendiri.

Pilihan hidupnya untuk menyendiri dahulu sungguh aneh, karena karya-karya yang ditulisnya banyak mengenai cinta. Ihsan adalah sastrawan cinta. Gambarannya tentang cinta sangatlah lengkap, deskriptif, menghanyutkan, membawa ke awang-awang, tetapi juga realistis, sangat nyata, betul-betul sesuai dalam kehidupan. Penggambarannya penuh dengan paradoks-paradoks kehidupan. Banyak sekali pertentangan-pertentangan yang dapat disatukannya dalam karya-karyanya. Cinta begitu dihayatinya. Cinta adalah subyek karyanya. Ironisnya cinta belum hinggap dalam lubuk hatinya. Ironisnya seorang ahli cinta belum menemukan pelengkap jiwanya. Ihsan pun terkadang heran dengan kondisi dirinya. Ia pun terkadang mentertawakan dirinya sendiri. Tetapi hidup terus berjalan, dan ia pun membiarkan dirinya hanyut dalam aliran waktu. Tak ada niatnya untuk berenang menggapai benih-benih cinta. Belum ada dorongan yang begitu kuat membuatnya merengkuh manis pahitnya cinta. Dan ia pun lebih menikmati cinta hanya sebatas imajinasi, yang tak pernah memberinya sakit, dan yang tak pernah memberinya manis. Berkarya dan berkarya, menikmati hasilnya dan menikmatinya.

Prasangka yang Keliru

Marah sudah sampai batasnya
Kata-kata sudah membunuh etika
Emosi mencampurkan bara dan lidah
Berikan ucapan yang menyakitkan
Mendidih, meluapkan semua serapah

Nasehat hanya untuk memalingkan muka
Merasa semua salah
Dirilah yang paling benar
Argumentasi sudah percuma
Telinga dan hati sedang ditutup kebisingan serapah
Entah apa yang dapat mendinginkan
Dan terus ia menumpahkan serapah
Hingga energinya mencapai dasar
Dan tak ada yang mampu mendorong luapan emosinya

Terduduk lemas masih dengan amarah yang digenggam
Beri air putih agar desah nafasnya teratur
Beri air putih biar serapahnya terputus
Meski ekspresi memerah padam
Meski keinginan untuk menumpahkan serapah masih besar
Seteguk demi seteguk kebeningan diteguk
Beberapa memberanikan diri menjelaskan
Beberapa memberanikan dir menceritakan
Sehingga sudut pandang pun bergeser
Api yang disulut oleh amarahnya ternyata tak menyulut yang lain
Paham...paham...ia memang bertemperamen
Beri air putih agar padam apinya
Beri air putih biar sadar mengusir emosinya

Satu kata dua kata hingga rangkaian kata dicerna
Ia pun tersenyum malu
Ego nya ditelannya bulat-bulat
Meminta maaf dengan penuh malu
Ternyata prasangkanya salah

Ledakkan Ekspresi

Ekspresi yang terkungkung
Membuatmu menjadi patung
Penuh emosi dan depresi
Menyeret fikir dan wawasan kedalam gelap yang dingin
Terkadang membuat hati tak bersemangat
Kusam
Marah
Putus Asa
Tak jelas apa yang dirasa
Maka ambillah dinamit dan telanlah apinya
Sehingga meledak
Meninggalkan kungkungannya
Terlepas dari jeruji-jeruji jiwa
Dan warnailah
Sehingga kusam akan lari
Senyum akan datang
Diri merasa hidup
Tak pernah jemu hinggap

Ekspresi yang lepas peliharalah dari liar
Jangan ia meloncat kesana kemari
Jangan beri derita
Bagi diri atau yang lain

Dan ekspresi itu semakin memperkuat kita

Friday, May 14, 2010

Sandaran Rindu

Duhai yang mempunyai rindu, cukupkah rayuku memuaskanmu.
Duhai yang mempunyai gelisah, cukupkah puisiku menenangkanmu.
Janganlah kau tanam sangsi jika tak merayu.
Janganlah kau tanam duka jika puisiku tak hadir.
Tanah tak kan menghilang untuk kau berpijak.
Langit tak kan habis untuk kau ambil udaranya.
Tetaplah yakin sekiranya ragu.
Tetaplah optimis sekiranya bimbang.
Memang rayu dan puisi tak selalu hadir.
Memang raga tak selalu bersama.
Berdoalah pada penjaga jiwa.
Bersandarlah pada penjaga jiwa.
Berdoalah pada penjaga hati.
Bersandarlah pada penjaga hati.
Karena pada Nya jiwa dan hati ini kutambatkan.
Dan pada Nya jiwa dan hati ini kusandarkan.

Langkah Hari Ini

Merayap perlahan
Berlari melaju kencang
Melompat melewati rintangan
Apa pun itu itulah langkah kita hari ini

Semangat harus menyala
Motivasi harus senada
Niat senantiasa dijaga
Apa pun itu itulah yang mewarnai kita hari ini

Kolaborasi
Kerjasama
Komunikasi
Apa pun itu itulah yang harus kita lakukan menjaga kebersamaan hari ini

Sampaikan keberatan
Sampaikan kesetujuan
Sampaikan ide-ide
Apa pun itu itulah dirimu yang harus melangkah hari ini

Kesulitan
Kemudahan
Duka
Gembira
Apa pun itu itulah buah yang kita petik dari langkah kita hari ini

Thursday, May 13, 2010

Rindu yang Menggigit (4) - Buku Cinta

Setahun tak terasa telah melaju.
Wanita itu masih teguh memeluk erat rindu hatinya.
Gigitannya tajam dan dalam, baik ditubuhnya, baik dijiwanya.
Godaan-godaan yang merenggangkan telah dihadapinya dengan keyakinan.
Ia menggenggam dengan kuat dan tak mau melepaskan rindu itu.
Meskipun pernah sekali ia tergelincir.
Itupun justru makin memperkuat kerinduan dan keyakinan.
Saat kebangkitannya itulah rindunya tak berteman dengan sangsi.
Saat kebangkitannya itulah rindunya berteman dengan keyakinan.
Keyakinan yang tertempa oleh cobaan.
Keyakinan yang tertempa oleh keadaan.
Keyakinan yang tertempa oleh waktu.
Rindu itu kini sudah matang.
Buah dari perjuangannya melawan waktu.
Buah dari perjuangannya sendiri dalam sepi.
Buah dari perjuangannya mempertahankan cinta yang teruji.

Hari ini genap setahun ia menunggu.
Penantiannya akan segera berakhir.
Malam-malamnya tak lagi sepi.
Karena hari ini kekasihnya, obat rindunya akan datang.
Sejak semalam sebelumnya ia telah berbenah.
Menghaluskan rambut-rambutnya yang pernah ia lupakan.
Melembutkan aroma tubuhnya.
Mempercantik wajahnya dengan apa saja yang ada.
Dan pagi ini ia tersenyum melihat dirinya dicermin.
Ceria menghiasi bibirnya mesti belum bertemu.
Wajahnya berbinar-binar memancarkan semangat.
Berpatut dan terus berpatut, memandang cermin tanpa jemu.
Pagi itu waktu baginya terasa sangat cepat.
Hingga akhirnya ia mendengar ketukan di depan pintu.
Ia pun tersenyum dan bergegas.
Mengintip, kemudian bersyukur.

Saat itu dua jiwa yang terpisahkan jarak bertemu.
Saat itu sepasang jiwa yang terpisahkan jarak merasa lengkap.
Tawa atau tangis tak tahu mana yang dahulu.
Dekap hangat, kecupan mesra meleburkan rindu mereka.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama bahagia dapat bertemu.
Rupanya ke dua hati itu sama-sama memendam rindu yang besar.
Mereka berdua pun menikmati waktu yang melaju.

Mereka saling bertukar cerita tanpa henti.
Mereka saling tertawa mengupas kebahagiaannya.
Mereka saling berpelukan menebus perpisahan yang lalu.
Hingga malam memberi bulan dan bintang.
Hingga kedua jiwa itu merasa damai sejenak.

Laki-laki itu bercerita tentang perjuangannya mencari nafkah.
Rintangan demi rintangan yang ia lalui, ia ceritakan dengan penuh semangat.
Meskipun terkadang cerita itu sudah pernah ia sampaikan dalam SMS.
Berulangkali ia menekankan rasa tanggung jawabnya untuk memberikan hidup yang lebih baik.
Berulangkali ia menekankan rasa cintanyalah yang mampu membuatnya bertahan.
Tangannya terkadang meremas kuat-kuat jemari istrinya.
Tatapnya dan ekspresinya memberi keyakinan akan kebenaran mulutnya.
Terkadang ia sengaja memandang lekat-lekat wajah didepannya.
Mencari-cari adakah keraguan atau yang tak dimengerti dari ucapannya.
Dan ia pun rela mengulang cerita yang lalu untuk sekedar menghilangkan ragu istrinya.
Terkadang ia sengaja membiarkan istrinya menyelanya.
Dan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Ia pun tersenyum-senyum, senang sekali melihat ekspresi tanya itu.
Terkadang ia membiarkan istrinya dalam tanya, dan menjawabnya dalam pelukan.
Kemesraan mengental di saat itu.

Wanita itu membiarkan suaminya bercerita penuh tentang perjuangannya.
Ia sengaja tak berbagi cerita dulu tentang perjuangan melawan rindunya.
Wanita itu sesekali bertanya tentang ucapan-ucapan kekasihnya.
Bukan sekedar basa-basi pembunuh waktu, tetapi rasa perhatian dan keinginan tahunya yang mendalam.
Hingga ia merasa lelaki itu tak ada cerita lagi.
Kini ia pun berganti bercerita tentang hari-hari penantiannya.
Kekasihnya mendengarkannya dengan penuh antusias.
Tatapan mata mereka terkadang saling bertemu.
Tatapan mata mereka terkadang saling berpijar.
Dan mereka membiarkan pijar-pijar itu hidup.

Sejenak kemudian wanita itu memberikan sebuah buku.
Kekasihnya membaca dan membaca, selembar demi selembar.
Saat itu juga dengan penuh seksama.
Terkadang ia tersenyum kecil.
Terkadang ia tertawa.
Terkadang raut mukanya terharu.
Meskipun tidak meneteskan air mata.
Buku itu berisi semua SMS yang pernah mereka saling kirimkan.
Dan dibeberapa tempat diceritakan isi hatinya atas SMS itu.
Isi hatinya yang terkadang kecewa.
Isi hatinya yang terkadang jengkel.
Isi hatinya yang terkadang gembira.
Isi hatinya yang penuh rindu.

Dan malam itu setelah buku itu ditutup.
Lelaki itu menutup malam dengan pelukan.
Lelaki itu menutup malam dengan kecupan.
Dan di saat pagi menjelang.
Mereka sadar, ada yang sangat berharga yang telah mereka dapatkan.
Bahkan melebih materi yang mereka perjuangkan.

Wednesday, May 12, 2010

Rindu yang Menggigit (3) - Perisai itu ada

Perlahan-lahan wanita itu mencoba menyadari hatinya
Tetapi ia tetap tak mampu menghapus bayangan baru yang menyusup
Ia bersemangat di pagi hari
Ia bersemangat melangkahkan kaki ke kerja
Ia menyambut rutinitasnya dengan energi baru
Wajah yang menemani disendirinya
Wajah yang bukan saja bayangan bekas-bekas kenangan
Wajah yang bisa ditatapnya
Sembunyi-sembunyi dengan sudut matanya
Dan memberinya senyum manis di sudut bibirnya ketika tertangkap si empunya wajah
Dan menyusuplah rasa aneh itu ke dalam hatinya

Sang penggoda semakin agresif
Melihat kesempatan yang telah terbuka
Serangan-serangan gerilya dilancarkan
Hingga ia merasa waktunya tiba untuk mengkoyak mangsanya
Dia merasa di atas angin
Tarik ulur...
memberi rasa...
menjual mahal cinta..
memberi simpati...
memberi tanda-tanda..
sinyal-sinyal harapan
Ah...jurus-jurus penggoda yang sangat ampuh
Hati sendiri mana yang tak terpikat

Beberapa malam ini wanita itu sudah tak menangis
Ia sudah melupakan sakitnya sendiri
Ia sudah melupakan jejak-jejak kesetiaan yang digenggamnya kuat-kuat
Ia sudah lelah dengan rasa rindunya
Dan kini ia sudah merasa hidup kembali
Hidupnya bersinar
Langkahnya ringan
Ada energi yang tumbuh dari mana
Membuatnya semangat melalui hari demi hari
Tapi tiba-tiba dirinya terhentak
Tingginya matahari tiba-tiba dirasakannya asal ia terhempas
Sebuah SMS rindu dari suaminya yang tersisihkan beberapa hari dari hatinya
'Rinduku sekiranya raga belum dapat bersua, tahulah bahwa setiaku mengikat seluruh ragaku untukmu'
SMS singkat yang menggetarkan
SMS singkat yang memutarbalikkan dunia hatinya
Fikirannya tiba-tiba hampa sesaat
Jantungnya berdegup hingga terdengar ditelinganya
Serasa dunia bergoyang
Tiba-tiba ia merasa lemas
Bahkan handphone ditangannya terlepas
Istighfar...dia istighfar...
Menetes dan menetes air matanya

Malam ini rindu lamanya tumbuh kembali
Rasa aneh yang manis yang dinamakannya cinta untuk sang penggoda dimuntahkannya
Ia menangis
Tetapi ia jua tersenyum
Malam ini sujud lamanya kembali lagi
Ia kembali menelusuri sudut-sudut sajadahnya dengan tekun
Ia berbisik pada Tuhannya
'Aku mengaku salah....'
Sajadah itu basah
Matanya yang sembab itu sumbernya
Tetapi sebenarnya rindu lamanya itu lah sebabnya


Malam itu adalah titik balik dalam hidupnya
Meskipun tak bertemu, meskipun tak bersua rindu lamanya telah tumbuh kembali
Bahkan kini ia semakin mantap
Kini ia semakin tahu apa arti setia
Kini ia semakin tahu apa artinya mempertahankan cinta
Ia mempunyai perisai
Ia mempunyai keyakinan untuk melindungi rindunya sepenuh hati

Senang itu pun Meledak

Diguyur oleh berita keberhasilan
Mata bersinar menatap depan
Telinga yang mendengar terangkat
Dahi mengernyit seolah masih tak percaya
Tetapi itu kenyataan
Tetapi itu lah yang didengar

Keberhasilan yang membuat menunggu
Keberhasilan yang membuat pontang-panting
Ia kini nyata
Ia kini terwujud

Raganya sudah lama menanti saat-saat ini
Jiwanya sudah lama menunggu berita itu
Dan kini keduanya mendapatkan apa yang ditunggu
Kegembiraan pun meledak dalam jiwanya
Rasa senang pun menyebar keseluruh raganya
Dari kepala hingga ibu jari kaki
Air mata menetes
Tetapi tawanya terlihat tak ada duka
Menangis dan tertawa dalam sebuah saat

Begitulah senang yang meledak

Tuesday, May 11, 2010

Aku Menunggumu

Dinginnya tubuhku mulai terasa menghentikan jantung perlahan-lahan. Darah anyir mulai terbiasa aku cium, bahkan sadarku mulai melupakanku bahwa itu darahku sendiri. Dan malam terasa kalah gelap dari pandanganku yang mulai hilang. Wajah bidadari itu mulai tercitra kuat dalam benakku. Senyumnya sejenak menghangatkan jiwa, yang terusir oleh dingin yang melawan kuat semangat hidupku, bahkan hingga tertanam dalam tulang-tulangku. Meskipun sejenak terlupa aku akan rasa sakit, rasa nyeri, rasa sedih yang perlahan merayap.

Aku mencoba mengejarnya, bidadari ku itu hanya menjauh, kemudian mendekat, kemudian menjauh. Aku mencoba mendengarkan ucapannya, tapi tak jelas, samar, telingaku seolah tersekat. Dan diam sajalah aku memandangnya. Kurasakan kesepianku di bumi kini terbalas dengan dirinya. Dan aku pun kembali tersenyum kecil, bahkan sedikit terbahak. Bidadari ku hanya menatapku seraya berujar...ah aku tak jelas mendengarnya.

Tubuhku yang mendingin itu kini terguncang-guncang, desing-desing peluru telah berhenti, aku merasakan banyak tangan yang mengangkat ku, dalam sadarku gelap sudah pergi menutup mataku, aku pun melihat terang. Terlihat wajah-wajah tersenyum memandangku, 'Engkau tertidur selama 3 hari...., setelah gudang amunisi itu meledak, serangan besar-besaran dikerahkan, dan kami menemukanmu dengan denyut jantung yang lemah..' Ah ajaib, aku masih merasakan hidup, tanya yang entah kuberikan pada siapa. Kupandang wajah-wajah itu satu persatu, mereka menampakkan wajah kemenangan, senyumnya lepas begitu saja, tak ada beban yang tersirat dalam ekspresi-ekspresi itu. Semua orang merasakan kemenangan, semua orang merasakan kebebasan, di sini hanya aku yang merasa kalah. Hanya aku seorang yang tiba-tiba merasakan kalah, baru aku mengerti apa yang diucapkan bidadariku, rupanya dia berbisik 'Aku menunggumu....'

Monday, May 10, 2010

Dan Bidadari itu Memanggilku

Malam yang belum pergi, saat aku mengendap-endap sendiri, memasuki teritori musuh yang mengancam bangsaku. Desing peluru menggodaku untuk lari terbirit-birit kembali bak domba yang melihat serigala. Tetapi ini adalah tugas yang membebani pundakku. Yang membuatku merasa sebagai anak bangsa. Yang membuatku merasa hidup punya makna.

Nafasku menderu, jantungku berirama cepat, semuanya memberi tahu aku, aku masih hidup, dan aku pun bertekad menyelesaikan tugas ini. Menghancurkan gudang amunisi terbesar milik musuh. Ini akan menjamin bangsaku aman hingga berpuluh-puluh tahun kedepan. Tugas yang membanggakan diri, meskipun nanti tak dikenali, meskipun nanti terbujur kaku di daerah musuh, membusuk tak ada yang peduli, meskipun jauh dari tanah air yang dicintai.

Pertempuran demi pertempuran telah kulewati, kebranian demi kebranian sudah menemaniku. Saat ini mungkin kebranian itu lari, saat ini mungkin terakhir kalinya ia menemaniku. Tetapi gudang amunisi itu sudah di depan mataku, beranjak lari pun percuma, bawah sadarku menggigit bibirku, dan kebranian kutawan dalam semangatku. Bazooka kubidikkan pada sasaran...kabooom... meledak menghentak angkasa, siang sejenak ditempat itu, dan aku pun terbahak-bahak. Meski desing-desing hangat itu bersarang di tubuh ku. Aku pun lemah dan hanya mendengar senyum mungil bidadari yang kuimpi-impikan. Tertawa aku saat itu dengan sangat manis, meski air mata tak tertahan menetes.... dan bidadari itu memanggilku.

Sunday, May 9, 2010

Dari Sebuah Pesawat

Mengarungi awan yang luas
Memandang luasnya bumi
Berdecak kagum akan ciptaanNya
Cakrawala membatasi pandang
Nafas yang menderu mengiringi fikir yang mengagumi

Memandang diri
Mencoba mengambil nilai
Mencoba memperbaiki diri
Hendaknya wawasanku meluas
Seperti bumi yang kupandang
Hendaknya cakrawalaku membentang
Hingga cita-cita yang membatasi mengarungi kemampuan yang dimiliki

Dari ketinggian inilah aku bertekad
Dari ketinggian inilah semangat terpompa
Jengkal demi jengkal cita-cita akan kuwujudkan
Kesulitan demi kesulitan akan kutaklukan
Solusi demi solusi akan ditemukan
Berharap
Berdoa
Dan bersandar pada Nya
Semuanya kan terlaksana

Saturday, May 8, 2010

Akar Cinta

Hari ini kuusir sangsi kesudut gelap
Hari ini harapan menghangatkan qalbu
Semangat memang seharusnya kuat menjaga
Semangat memang mampu menerbitkan harap
Dan cinta adalah akar yang hidup dan kokoh menopang
Meskipun itu hanya hari ini

Hari ini cinta telah menghidupkanku
Hari ini kasih memberikan kejutan-kejutan kecil
Memang perjalanan hidup mampu mengkayakan cinta
Dan qalbu memaknai apa yang ada dengan syukur
Sehingga syukur pun menyalakan semangat yang diberi cinta
Meskipun itu hanya hari ini

Akar-akar cinta telah menutrisiku
Klorofil syukur telah meramuku
Aku menjadi pohon menua yang hidup
Berharap memberi buah dari cinta dan syukur
Berharap engkau menikmatinya
Sehingga ceria mu merindangkan hidupku

Berkelana Mencari Cinta

Mencari-cari di google.com dengan kata kunci tempat cinta.
Ternyata hati merasa tak sesuai.
Lalu ku ganti kata kuncinya dengan cinta sejati.
Belum juga ada yang sesuai.
Aku pun sibuk menenggelamkan diri dengan informasi tempat-tempat yang terindah di dunia.
Berharap aku kan kesana.
Mengharap cintaku yang indah bertemu dengan jodohnya.
Dan nafas demi nafas akan kulalui dengannya memberi warna untukku dan untuknya.
Sehingga hidup lebih hidup, dan degup jantung pun lantang penuh motivasi.

Bekal demi bekal kukumpulkan.
Semangat demi semangat kujadikan tumpuan.
Peta tujuan sudah kuhapalkan.
Doa pun kupanjatkan.
Cinta... bersiaplah aku akan mengejarmu.
Cinta... aku akan mencarimu.
Dan tempat-tempat terindah yang ada di dunia aku kan kesana.
Mencarimu...
Mengejarmu...
Dan memilikimu.
Itulah optimisku, itulah semangatku.
Mesti harus berkelana mengelilingi dunia aku tak peduli.

Friday, May 7, 2010

Akhir Rindu

Ketika burung malam memberi tanda hilangnya mentari, saat katak-katak tepi danau sesekali memberi suara, rasanya hujan mencoba mengulang sejarah.

Sepasang mata sayu menatap luasnya langit malam, mencari rembulan yang disembunyikan awan-awan gelap. Bahkan bintang-bintang pun diselimutinya seolah tak berdaya.

Dia berbisik lembut pada hatinya yang ragu. Dia bertanya pada dirinya yang merindu. 'Datangkah ia malam ini?' Rupanya rindu sudah menjadikannya penanya. Dan ia pun menatap jam di dalam rumahnya. Mengharapkan pemberi jawab mengiyakan harapannya.

Bersuara lembutlah ia pada angin. 'Angin tolong lihatlah dimana ia sekarang... Kabari aku..' Bersuara lembutlah ia pada bintang 'Bintang bersinarlah...Kalahkan awan gelap...Bimbinglah ia kepangkuanku'

Sepasang matanya yang sayu kini menjelajahi halaman rumahnya. Mencoba menembus jalan gelap di depan rumah. Waktu yang berjalan tiba-tiba terasa berhenti, ketika sesosok tubuh pembuat rindunya muncul. Sesosok tubuh yang telah lama menemani hidupnya, dalam gelap maupun terang.

Kini rindunya sudah terpangkas habis. Dalam gelap ia merasa terang. Himpitan itu telah hilang, dan ia pun merasa menang dari peperangan. Malam ini ia tutup dengan senyum yang tak berhenti.

Memeluk Rindu

Malam ini aku memeluk rindu
Malam ini aku tak mau berkawan dengan sepi
Sepi yang sendiri
Sepi menyedihkanku
Rindu memberikan binar-binar anti kebosanan
Tenggelam didalamnya memberiku senyum-senyum kecil atas kenangan
Manis sekali kenangan itu
Dan aku pun memeluk kenangan
Melupakan sejenak rindu
Melupakan sejenak sepi

Thursday, May 6, 2010

Ujung Langit

Ujung langit saat ini berwarna kemerah-merahan
Hanya bisa dimengerti jika itu di Timur atau itu di Barat
Jika subuh tiba terang yang disambut
Jika senja tiba saatnya malam menutup

Benarkah hidup terbit dan tenggelam
Kapankah rasa merasa
hati mengerti
fikir mencerna
kita terbit
ataukah kita tenggelam

Mampukah mata jiwa melihat mentari waktu
Mampukah jiwa merasa hangatnya terbit yang menuju siang
Mampukah mata jiwa mampu membedakan
Kini saatnya terbit
Ataukah kini saatnya tenggelam

Mampukah fikir mencerna kedepan
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya bangkit dari peraduan
Ataukah saatnya kita ke peraduan

Ujung langit dimanakah dirimu dalam jiwa?

Mestikah aku tanamkan kompas dalam jiwa
Dan menilai ini di Timur ataukah di Barat
Saatnya terbit
Ataukah saatnya tenggelam

Noktah

Tak dengar
Tak awas
Teracuhkan
Tak melihat
Karena sebiji zarah menutup
Tepat pada horizon
Pandang kedepan ilusi
Sensor diri salah memberi
Meskipun hanya sebiji zarah
Telah membuat alpa
Kelengahan tak disadari
Meskipun fikir jernih dan bening

Semoga sujud membersihkan
Semoga dzikir membersihkan
Hingga alpa tak terjadi
Kelengahan dihindari
Pandang ke depan berpijak pada bumi
Sensor diri alarm sejati
Mendengar
Melihat
Waspada
Jangan biarkan noktah hinggap
Meskipun sebiji zarah

Tuesday, May 4, 2010

Pencarian Hidup

Hatiku yang terluka
Hatiku yang terbuka
Fikirku mendalam kedalam lautan waktu
Fikirku mengelana kedalam kenangan lalu
Mencari dan mencari
Mencari makna
Mencari rasa
Misteri yang tak dapat dicerna dengan indra
Meski mata terbuka entah apa yang dilihat
Meski telinga terbuka entah apa yang didengar
Meski kulit merasa entah apa yang dirasa

Lalu kemanakah aku mesti mencari
Bahkan disetiap sudut bumi telah ku kesana
Bahkan disetiap ujung langkit telah ku kesana
Mungkinkah salah aku mengelana?
Haruskah jiwa yang lebih dipahami?
Haruskah jiwa yang lebih diselami?
Ataukah biar jiwa yang mengelana?
Mengelana ke setiap sudut bumi
Mengelana ke setiap ujung langit
Dan raga terpasung oleh waktu diantara langit dan bumi

Apakah yang harus kucari?
Benarkah realita bisa kupahami
Benarkah realita bisa kuselami
Dan aku tak salah melangkah
Dan aku tak salah membuat

Biarlah yang telah terjadi yang memberi jawab

Yang telah terjadi adalah sejarah yang terpatri
Memberi luka, gembira, silih berganti
Dan duka dan canda ikut memberi
Makna rasa dari yang telah terjadi
Semoga aku mencerna dengan pasti
Bahwa yang kucari dan kulakukan membawaku di bahagia sejati

Monday, May 3, 2010

Pertanyaan pada Bayangan

Kenapa engkau menjadi bayangku
Tak pernah aku mampu melupa
Apakah aku harus terus di dalam gelap
Meski mentari mengajakku beranjak

Aku bertanya pada bayangku
Tetapi engkau terbahak
Dan terus mengikutiku
Hingga aku cinta gelap

Bila terang tiba engkau selalu disana
Kemanakah mata harus kupalingkan
Kemanakah tatapku harus menghadap
Jika aku selalu dalam gelap

Sudikah kau pergi
Dan biarkan aku bersahabat dengan mentari
Dan pagi yang kujelang bernafaskan kemerdekaan dalam dadaku
Tetapi semuanya telah menyatu
Dan kemanapun mentari bersinar akan kulihat dirimu dalam bayangku

Sunday, May 2, 2010

Cinta Hanya untuk Pemberani

Ketika berpaling dariku
Lara yang kau beri
Memberi duka yang menyakit
Aku tak mengerti kenapa terjadi
Bukankah kita sepakat tentang cinta
Tetapi begitulah adanya
Dan akupun lara
Terpukau dalam sedih hingga sadar
Cinta memang hanya untuk pemberani
Mereka yang tak takut untuk jatuh
Meskipun hati telah bersandar
Meskipun jiwa merasa lengkap
Hingga kau memberi aku hadiah
Hingga kau uji hidupku
Engkau pun pergi
Dan aku tak mampu bertanya
Meski tahuku tak menjawab heranku
Meski aku merasa lemah
Lemah itu tumbuh menguat dalam nadiku
Bahkan ia memberi dingin di tulang-tulangku
Aku tak tahu apakah engkau puas melihatnya
Atau sinis menghiasi bibirmu
Tapi kau keliru jika hidupku tak kuteruskan
Kau keliru jika aku merangkak mengais-ngais sedih
Agar hilang ditelan waktu
Tetapi benar aku sejenak terjatuh
Hingga aku sadar
Cinta hanya untuk pemberani

Buah Cinta

Buah cinta adalah degup-degup saat mata bertemu
Buah cinta adalah binar-binar mata saat namamu dipanggil
Buah cinta adalah lelah yang tak dirasa
Buah cinta adalah pemakluman akan kesalahan

Bila hati terjalin
Bila sakit dipahami
Bila kelemahan pintu untuk menanam
Bila mencerna mendahului menghakimi
Buah cinta telah ada

Buah cinta adalah senyum dalam amarah
Buah cinta adalah senyum dalam lelah
Buah cinta adalah belaian dalam luka
Buah cinta adalah paradoks-paradoks yang ada

Dan berikan yang terbaik
Dan berikan maaf
Dan berikan ketulusan
Dan berikan pemahaman
Buah cinta telah ada

Saturday, May 1, 2010

Jemu

Pagi demi pagi
Siang demi siang
Malam demi malam
Dan detik yang terus melaju
Dan menit yang terus melaju
Dan engkau pun jemu mendengarnya
Dan aku pun jemu menuliskannya
Dan kita pun sepakat untuk jemu

Irama ketukan jari tangan mencoba mengusir
Irama ketukan kaki mencoba mengusir
Dia tetap saja datang
Sejinak kucing yang merayu
Seteguh kucing menatap sayu
Diusir hanya berpindah tempat
Diusir pergi untuk kembali
Jemu-jemu aku
Jemu-jemu kulihat diwajahmu
Jemu-jemu kita

Sekantong coklat kesabaran pun dibeli
Dimakan satu persatu
Hingga kesabaran itu tinggal sejarah
Dan kembali irama ketukan jari
Dan kembali irama ketukan kaki
Engkau tersenyum padaku
Mencoba menutupi kejemuanmu
Mencoba menghibur jemunya aku
Dua orang dalam kejemuan
Telah habis memakan coklat kesabaran
Kini hanya bisa saling tersenyum
Aku berbisik padamu
Dan kau bilang 'aku juga'
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan jari
Kita pun bersama-sama membuat irama ketukan kaki

Pergilah jemu pergilah jemu
Kita pun sepakat mengusirnya

Kebekuan Kreasi

Terkuras habis rasa
Kreasi tak mau menampakkan diri
Terbiarlah kertas itu kosong

Mungkin sekedar jeda yang diperlukan
Atau eksplorasi diri mendalam
Tetapi kenapa kreasi tak jua menampakkan diri

Tercampaklah ke dalam kotak kebekuan
Bahkan menggoreskan ekspresi tak mampu
Beku
Atau biarkan saja
Menunggu waktu cairnya sekiranya cair
Menunggu waktu munculnya sekiranya muncul

Dimana sumber rasa ada
Mesti dicari dan dirawat
Tetapi siapa sang pemberi
Dan mesti apa agar terawat
Dan mesti apa agar terjaga


Teriaklah batin
'Beri rasa'
'Beri kreasi'
'Beri energi yang meluap-luap'
Dan kebekuan tak akan singgah
Pada siapa meminta?
Mungkin cukup mengeksplorasi diri
Mungkin cukup menyendiri
Atau perlu mencari

Bahasa Merdu - Puisi Cinta

Bahasa Merdu - Pidato