Friday, May 21, 2010

Lelaki dan Bayangan (2)

Pagi yang indah pun datang. Mentari memberinya keceriaan. Sinarnya menyusup dari kaca jendela kamarnya. Bayangan dirinya mulai jelas terlihat. Lelaki itu pun tersenyum padaku. Percakapanku dengannya semalam sudah dilupakannya. Ia kembali asyik menatap bayangannya dan mengajakku berbicara. Ia ceritakan isi hatinya yang menyimpan gundah gulana. Ia ceritakan rasa pesimis yang mengunci masa depannya. Ia tidak menangis, tetapi ia sangat sedih.
Istrinya yang cantik jelita itu mendesah menatap kami. Langkah kakinya menghampiri jendela dan menutup tirai, ia membunuhku. Lelaki itu sedih melihat tak ada bayangannya di kamar. Ia pun memalingkan muka tak mengajak bicara. Istrinya berusaha membuka interaksi. Dicobanya beberapa kata pembuka. Tetapi lelaki itu melukainya dengan diam yang tajam. Dan mengena dengan telak, hingga meneteslah beberapa tetes air mata. Hangat matanya, perih hatinya.
Hingga malam yang bertugas dan siang pun pergi beristirahat. Lelaki itu menatap tembok di atas pembaringannya. Membalas tindakannya pagi tadi dan pagi-pagi sebelumnya, setiap saat kami tertangkap basah. Istrinya hanya menangis, membiarkan air matanya membanjiri bantal. Kesedihan rupanya memenjarakan hidup mereka. Tepatnya sejak dua tahun lalu. Saat itulah ia akrab denganku. Tepat saat sehari setelah bulan madu mereka. Dimana ia harus mengenakan kursi roda, karena kecelakaan yang menimpanya.
Ia tak mau mengakrabi istrinya, istrinya tak mau meninggalkannya. Meskipun ia sangat terluka, oleh sikap-sikap diam yang tajam. Lelaki itu bergumam kepada tembok 'aku hanya memiliki bayangan, tetapi istriku berulangkali membunuhnya'. Istrinya terdiam sejenak, kalimat yang sama yang didengarnya berulangkali. Ia menatap punggung yang membelakanginya. Punggung orang yang ia cintai sepenuhnya. Punggung orang yang tak ingin berbagi duka dengannya. Punggung orang yang ingin mengusir dirinya dari kehidupannya.
Bingung sejenak, ingin ia berkata-kata. Kata-katanya telah dikalahkan oleh bayangan. Hatinya terlalu luka oleh diam-diam yang tajam. Ia ingin mengakhiri semua ini. Ia ingin menghancurkan tembok tak kasat mata diantara mereka. Bagaimana caranya? Malam itu ia berjuang kembali, melawan lukanya. Malam itu tekadnya sudah membaja.
Tiba-tiba istri yang cantik jelita itu berkata nyaring. 'Suamiku aku mencintaimu'. Kenyaringan dengan perih mendalam dengan nada getir. Dipeluknya suaminya secara kasar. Lelaki itu hanya diam. Tidak memberi tanda. Bahkan ketika perih di pundak kanannya terasa. Ada darah yang mengalir. Istrinya menggigit dalam-dalam pundaknya, hingga luka. 'Suamiku jika engkau melihat hatiku, lukanya lebih dalam dari lukamu. Suamiku jika engkau merasa perih, perihnya jiwaku lebih perih dari perihmu. Aku mencintaimu apa adanya'. Dan pelukkan itu mengerat, seperti simpul mati pada badannya. Lelaki itu menangis, tangisan pertama sejak dua tahun lalu.
Hening...sangat hening...sedih pun terpecahkan dengan dua pasang mata yang basah. Detik yang melaju memberi suara dari dinding. Entah berapa ribu ia melaju. Hingga sang lelaki itu membalikkan badannya. Mengucapkan kalimat pertama sejak ia membisu, 'aku hanya memilikimu'.

No comments:

Post a Comment

Bahasa Merdu - Puisi Cinta

Bahasa Merdu - Pidato