Ihsan menggerakkan tubuhnya yang meringkuk dalam selimut, sejenak mematikan AC yang menggigiti kulit dan memberinya bekas dingin di wajah. Setelah diselesaikannya sholat subuh dengan segera, ia pun melangkah ke arah balkon di depan kamar tidurnya di lantai dua. Ia menarik nafas memenuhi paru-parunya dengan kesegaran, sengaja ia memperpelan degup jantungnya. Menghirup udara segar dalam-dalam, mengeluarkannya sedikit demi sedikit, dan mebiarkan sebagian terperangkap, mengulanginya lagi, hingga ia merasa sangat-sangat relaks dan segar. Ia menatap gelap yang perlahan-lahan pergi, dan temaram pagi, dan matahari pun bersinar dengan cerahnya. Semuanya ia saksikan dan dinikmatinya dari balkon, ia pun merasa segar dengan semua itu. Gelap yang pergi seolah-olah melarikan kepenatannya. Pagi yang cerah memberinya sugesti energi yang meluap-luap, hendak ia salurkan di pagi ini.
Entah apa yang mendorongnya untuk berjalan-jalan, apakah kejemuannya pada rumah, ataukah inspirasinya yang sudah mengering,ataukah dua hal itu yang sedang terjadi pada dirinya. Sudah setahun lamanya ia tinggal di lingkungan itu, tetapi ia belum terlalu dekat dengan tetangga-tetangganya. Hari itu ia bertekad untuk mencoba menceburkan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia menegur tukang-tukang sayur yang ada, mencoba berbasa-basi sedikit, meskipun beli pun tidak. Dikumpulkan keterangan tentang siapa saja tetangga-tetangganya. Informasi itu disimpan rapi dalam otaknya. Saat ini tak mungkin ia bertamu, tetapi malamnya mungkin saja. Ia pun terus berjalan-jalan menikmati pagi, tak berapa lama dia bertemu dengan pasangan-pasangan tua yang asyik berjoging. Ia pun mencoba menyamakan arah dan menyapa mereka. Ihsan sangat pandai melarutkan suasana, hingga ia pun berkenalan dengan beberapa.
Bahkan sepasang suami-istri, Pak Mulya dan Ibu Monika mengundangnya untuk mampir ke rumah mereka. Ihsan pun menyambut gembira tawaran itu, ternyata tak harus menunggu malam untuk bertamu. Hatinya yang sedang tak mampu berkarya, benaknya yang sedang berada di jalan buntu, membuatnya merasa perlu mengumpulkan sumber energi baru, sehingga ia dapat berkarya kembali. Tawaran itu tiket baginya, untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang menutup ide-ide karyanya. Tawaran itu juga kesempatan baginya membongkar tembok-tembok tinggi yang menghalangi dirinya untuk bersosialisasi. Tembok-tembok tinggi yang ia pasang di sekeliling rumahnya, yang ia pasang di sekeliling hatinya, agar dirinya tidak terganggu, agar dirinya dapat menikmati ketenangan yang ia kehendaki.
Ternyata percakapan diantara mereka mengalir begitu saja. Seolah-olah jiwa-jiwa mereka sudah saling mengenal, melewati batasan-batasan yang dibentuk oleh raga. Pak Mulya dan Ibu Monika adalah keluarga pedagang, mendengar Ihsan adalah seorang penyair, mereka pun asyik bertukar cerita tentang dunia masing-masing. Mereka bertiga larut dalam waktu, bahkan tak terasa siang pun sudah. Pak Mulya dan Ibu Monika menyarankan agar Ihsan mencoba berkontemplasi di danau yang tak jauh dari lingkungan mereka. Mereka berharap Ihsan segera dapat mengatasi kebuntuan kreasinya di sana, itulah ucapan terakhir mereka sebagai kata perpisahan.
Sore yang bersih, Ihsan membawa dirinya menuju danau yang disarankan Pak Mulya dan Ibu Monika. Tatapannya menyapu sekitar danau, ia pun tersenyum senang. Dicari-carinya tempat yang sesuai untuk menyendiri dan mencari ide. Disekeliling danau itu nampak beberapa orang yang juga asyik bersantai ria. Beberapa pohon tua untuk mencari keteduhan pun ada pula. Ia memilih salah satu pohon tua yang tak ada orang disekelilingnya, dan Ihsan pun mencoba menikmati situasi sore itu di bawah pohon pilihannya. Dan mencoba membiarkan pikirannya terbang bebas, dan mencoba membebaskan pikirannya yang terikat oleh apa yang ia pun tak tahu. Menatap langit, ia mencoba merasakan kebebasan terbang hingga ke ujungnya. Menatap danau, ia mencoba berenang merasa segarnya air yang menenangkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
air mata
akar
akhirat
Allah
angin
apresiasi
balon
bayangan
beban
benci
berkelana
bidadari
biji zarah
buah
buku
CCL(1)
CCL(2)
CCL(3)
CCL(4)
cemas
cerita
cerita absurd
cerita cinta
cerita puitis
cermin
cinta
cinta pergi
cita-cita
damai
danau
daun
detik
doa
dua sahabat
dunia
ekspresi
gadis
garis tangan
gerimis
gratis
gula
hak
hamba
harapan
harimau
hati
hidup
hujan
ide
ilmu
imajinasi
inspirasi
internet
istana
jarak
jeda
jejak
jemu
jerat
jiwa
kakek
kantuk
kelu
kenangan
kewajiban
khayalan
komentar
kondisi sosial
kotak pandora
kreasi
kunci
langit
langkah
lapar
lelaki
lucu
lupa
malam
mangga
mata
matahari
mendung
menikah
mentari
merdeka
mimpi
motivasi
Nabi Muhammad
nafas
naga
nasehat
noktah
ombak
paceklik
pagi
panah
pantai
pantun
pasir
pedagang
pelangi
pemain utama
pemanis
pemberani
pengelana
perasaan
percaya
perisai
perjuangan
pertanyaan
pesawat
pidato
pohon
prasangka
PRH1
PRH2
provokator
puisi
puisi absurd
puisi cinta
puisi islam
puisi jati diri
puisi motivasi
puisi rindu
purnama
pusaka
raja
razia
rindu
rintik-rintik
romantis
ruang hampa
ruang romantis
RYM1
RYM2
RYM3
RYM4
sahabat
sang penyair
sastrawan
sayap
sedih
sehat
selancar
semangat
sembunyi
semut
senang
sepi
sombong
sujud
surga
syair
syukur
tangga
tanya
tari
teh
terlena
timbangan
top up
tunggu
waktu
wudlu
No comments:
Post a Comment