Kaki langit telah memecahkan telur mentari
Dan warna gelap pergi terusir oleh binarnya
Soetrisno menegakkan dirinya dari pembaringan
Kini sinar duka yang berbinar suram telah mulai sirna
Rupanya ia telah menemukan sebuah pijakan harapan
Atau ia telah mampu menutup lukanya
Atau ia telah sejenak lupa akan lukanya
Menghampiri meja tempat ia berkarya
Ia pun menatapku dan berkata
'Sakit ini berkurang setiap aku menulis puisi'
'Aku akan menulis 100 puisi'
'Aku akan mengusir rasa sakitku dengan 100 puisi'
Ia pun tersenyum
Ia pun berlinangan air mata
Meski tak sederas dulu
Meski tak selemah dulu
Cintanya masih memberinya hadiah berbentuk kepedihan
Kepedihan itu akan dikeluarkan dari dadanya
Kepedihan itu akan diukirnya dalam puisi
Kepedihan itu akan ditanamnya dengan tinta ke dalam kertas-kertasnya
Agar ia bisa melanjutkan hidup
Agar hidupnya dapat diwarnai lagi
Mungkin dengan cinta yang lain
Mungkin dengan cita-cita yang lain
Mungkin dengan harapan-harapan yang lain
Dia sudah berniat
Dan kini ia sibuk bergulat
Mengeluarkan kepedihannya
Yang terkunci rapat meskipun ia sudah menumpahkannya dalam genangan air mata
Tangannya sibuk menari-nari
Menggoreskan kepedihan demi kepedihan
Matanya sudah mulai tak berair
Apakah ia tak sedih lagi ataukah telah kering dan habis air matanya
Tapi ia tak kan pernah peduli dengan pertanyaan itu
Ia hanya ingin menulis dan menulis
Hingga semua kepedihannya berpindah ke atas kertas
Hanya itu yang ia harapkan
Dan hanya itu yang kini ia kerjakan
Hari demi hari
Malam demi malam
Ia terus mengukir kesedihannya
Ia terus mengeringkan air matanya
Ia terus menyembuhkan lukanya
Hingga puisi ke 100
Hingga karyanya yang ke 100
Hingga akhirnya air matanya dapat ia tahan
Hingga ia merasakan lelah yang luar biasa
Tetapi ia tersenyum
Ia tersenyum dengan sepenuh hati
Ia tersenyum menunjukkan kepuasan
Ia tersenyum merasa sebagai jiwa yang sehat
Ia tersenyum karena ia akhirnya bisa merasakan senyum
Cintanya memberi hadiah kepedihan
Kepedihan menghadiahinya senyuman terindah
Kepedihan menghadiahinya 100 puisi
Digenggamnya 100 lembar puisi-puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan perlahan
Dibacanya satu demi satu dengan penuh rasa
Dibacanya satu demi satu dengan senyuman disetiap akhir puisinya
Dibacanya satu demi satu dengan binar-binar kehidupan
Dan matanya tak sembab lagi
Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya
Terbahak-bahak tiba-tiba
Dalam kesendiriannya ia tertawa setelah menangis
'Ah lepas juga beban ini.... aku bebas'
'Kepedihanku berbuah 100 puisi'
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
air mata
akar
akhirat
Allah
angin
apresiasi
balon
bayangan
beban
benci
berkelana
bidadari
biji zarah
buah
buku
CCL(1)
CCL(2)
CCL(3)
CCL(4)
cemas
cerita
cerita absurd
cerita cinta
cerita puitis
cermin
cinta
cinta pergi
cita-cita
damai
danau
daun
detik
doa
dua sahabat
dunia
ekspresi
gadis
garis tangan
gerimis
gratis
gula
hak
hamba
harapan
harimau
hati
hidup
hujan
ide
ilmu
imajinasi
inspirasi
internet
istana
jarak
jeda
jejak
jemu
jerat
jiwa
kakek
kantuk
kelu
kenangan
kewajiban
khayalan
komentar
kondisi sosial
kotak pandora
kreasi
kunci
langit
langkah
lapar
lelaki
lucu
lupa
malam
mangga
mata
matahari
mendung
menikah
mentari
merdeka
mimpi
motivasi
Nabi Muhammad
nafas
naga
nasehat
noktah
ombak
paceklik
pagi
panah
pantai
pantun
pasir
pedagang
pelangi
pemain utama
pemanis
pemberani
pengelana
perasaan
percaya
perisai
perjuangan
pertanyaan
pesawat
pidato
pohon
prasangka
PRH1
PRH2
provokator
puisi
puisi absurd
puisi cinta
puisi islam
puisi jati diri
puisi motivasi
puisi rindu
purnama
pusaka
raja
razia
rindu
rintik-rintik
romantis
ruang hampa
ruang romantis
RYM1
RYM2
RYM3
RYM4
sahabat
sang penyair
sastrawan
sayap
sedih
sehat
selancar
semangat
sembunyi
semut
senang
sepi
sombong
sujud
surga
syair
syukur
tangga
tanya
tari
teh
terlena
timbangan
top up
tunggu
waktu
wudlu
No comments:
Post a Comment