Dulu saat mentari terbit dari Timur seperti saat ini
Dulu saat mentari tenggelam dari Barat seperti saat ini
Saat bau rumput pagi tak bercampur polusi
Saat dedaunan memainkan musik
Kolaborasi angin dan daun yang terindah
Dan terdengar di setiap telinga dimana-mana
Hutan-hutan besi, beton, kini hanya bisa menyepi
Dulu saat pagi berarti segar semuanya
Sesegar rumput-rumput yang bermandikan air embun
Di atas sebuah bukit yang penuh dengan bunga edelweis
Seorang pemuda melukiskan puisinya di atas kertas
Setiap ia menulis air matanya menetes
Setiap ia menulis kata-katanya terhapus
Tintanya kalah oleh air mata
Tintanya tak memasung kata-kata
Kata-kata itu tak terekam
Berulangkali mencoba
Tak jemu mencoba
Hingga kertasnya menemui batasnya
Terluka dan tak ada tempat untuk kata-katanya
Tetesan air matanya sejenak berhenti
Terdiam ia membiarkan waktu tanpa laku
Dan kertas itu pun terserakkan
Tercampur dengan kertas-kertas yang lain
Kertas berikutnya berdoa
Berharap ia kuat merekam puisi sang pemuda
Berharap ia kuat meresap tinta
Tak terkalahkan oleh air mata
Pemuda itu masih terdiam
Tangannya memegang dadanya
Dada bidang seorang lelaki yang tertempa
Tertempa asam garam laku yang telah lalu
Tertempa oleh pedihnya kenyataan
Tertempa oleh hidup yang memihak waktu
Pemuda itu menatapku dan berbisik
'Tolong tuliskan rasa cintaku yang menjadi pedih, indahnya telah hilang entah kemana'
Ah rupanya cinta yang menyakitkan
Sayap sadarnya rupanya tak mampu mengepak
Sayap harapannya rupanya tak mampu mengepak
Sayap cintanya menjatuhkannya
Dan dia kini hanya seorang diri tenggelam dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya terombang-ambing dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya meneguk pedihnya cinta
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
Dia mengambil kertas selanjutnya
Air matanya mulai menetes lagi
Tangannya diurungkannya menggoreskan kata
Dipandangnya ribuan kertas-kertas yang tak bermakna
Berserakan tanpa mempunyai cerita
Berserakan tanpa menyimpan makna
Berserakan tanpa menampung rasa nya
Rasa sakit sendiri tanpa makna bahkan tak bisa bercerita
'Sudahlah...'
'Sudahlah...'
Ia menatapku dan berbisik
'Aku akan membuat kertas yang mampu'
Siang dan malam ia bekerja
Siang dan malam ia mencari jalan
Seminggu telah berlalu ia pun tersenyum haru
Dan sejak itu setiap pagi menjelang ia nampak memintal benang
Hingga bulan berdendang
Hingga bintang-bintang senyum cemerlang
Lelah tak dirasa
Menyerah tak dikenal
Putus asa bukan namanya
Tapi cinta masih membuatnya merana
Tetes-tetes air matanya masih menetes
Tapi tak merusak benang-benangnya
Tapi tak merusak kertas-kertas baru yang jadi
Rupanya ia membuat kertas dari benang
Kertas ke seribu pun jadi
Ia kembali mencoba menuangkan rasa
Ia kembali meneteskan air mata
Ia kembali mengoreskan kata-kata
Puisinya jadi
Puisinya terselesaikan
Meskipun air matanya menganak sungai
Tintanya bertahan dan mengakar
Rasanya telah tertumpahkan
Meskipun matanya masih berlinang
Wednesday, April 21, 2010
Cerita Cinta yang Lara (1) - Kertas yang Mampu
Labels:
CCL(1),
cerita cinta,
cerita puitis,
puisi,
puisi cinta,
sastrawan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
air mata
akar
akhirat
Allah
angin
apresiasi
balon
bayangan
beban
benci
berkelana
bidadari
biji zarah
buah
buku
CCL(1)
CCL(2)
CCL(3)
CCL(4)
cemas
cerita
cerita absurd
cerita cinta
cerita puitis
cermin
cinta
cinta pergi
cita-cita
damai
danau
daun
detik
doa
dua sahabat
dunia
ekspresi
gadis
garis tangan
gerimis
gratis
gula
hak
hamba
harapan
harimau
hati
hidup
hujan
ide
ilmu
imajinasi
inspirasi
internet
istana
jarak
jeda
jejak
jemu
jerat
jiwa
kakek
kantuk
kelu
kenangan
kewajiban
khayalan
komentar
kondisi sosial
kotak pandora
kreasi
kunci
langit
langkah
lapar
lelaki
lucu
lupa
malam
mangga
mata
matahari
mendung
menikah
mentari
merdeka
mimpi
motivasi
Nabi Muhammad
nafas
naga
nasehat
noktah
ombak
paceklik
pagi
panah
pantai
pantun
pasir
pedagang
pelangi
pemain utama
pemanis
pemberani
pengelana
perasaan
percaya
perisai
perjuangan
pertanyaan
pesawat
pidato
pohon
prasangka
PRH1
PRH2
provokator
puisi
puisi absurd
puisi cinta
puisi islam
puisi jati diri
puisi motivasi
puisi rindu
purnama
pusaka
raja
razia
rindu
rintik-rintik
romantis
ruang hampa
ruang romantis
RYM1
RYM2
RYM3
RYM4
sahabat
sang penyair
sastrawan
sayap
sedih
sehat
selancar
semangat
sembunyi
semut
senang
sepi
sombong
sujud
surga
syair
syukur
tangga
tanya
tari
teh
terlena
timbangan
top up
tunggu
waktu
wudlu
No comments:
Post a Comment