Wednesday, April 21, 2010

Cerita Cinta yang Lara (1) - Kertas yang Mampu

Dulu saat mentari terbit dari Timur seperti saat ini
Dulu saat mentari tenggelam dari Barat seperti saat ini
Saat bau rumput pagi tak bercampur polusi
Saat dedaunan memainkan musik
Kolaborasi angin dan daun yang terindah
Dan terdengar di setiap telinga dimana-mana
Hutan-hutan besi, beton, kini hanya bisa menyepi
Dulu saat pagi berarti segar semuanya
Sesegar rumput-rumput yang bermandikan air embun

Di atas sebuah bukit yang penuh dengan bunga edelweis
Seorang pemuda melukiskan puisinya di atas kertas
Setiap ia menulis air matanya menetes
Setiap ia menulis kata-katanya terhapus
Tintanya kalah oleh air mata
Tintanya tak memasung kata-kata
Kata-kata itu tak terekam
Berulangkali mencoba
Tak jemu mencoba
Hingga kertasnya menemui batasnya
Terluka dan tak ada tempat untuk kata-katanya
Tetesan air matanya sejenak berhenti
Terdiam ia membiarkan waktu tanpa laku
Dan kertas itu pun terserakkan
Tercampur dengan kertas-kertas yang lain
Kertas berikutnya berdoa
Berharap ia kuat merekam puisi sang pemuda
Berharap ia kuat meresap tinta
Tak terkalahkan oleh air mata

Pemuda itu masih terdiam
Tangannya memegang dadanya
Dada bidang seorang lelaki yang tertempa
Tertempa asam garam laku yang telah lalu
Tertempa oleh pedihnya kenyataan
Tertempa oleh hidup yang memihak waktu

Pemuda itu menatapku dan berbisik
'Tolong tuliskan rasa cintaku yang menjadi pedih, indahnya telah hilang entah kemana'
Ah rupanya cinta yang menyakitkan
Sayap sadarnya rupanya tak mampu mengepak
Sayap harapannya rupanya tak mampu mengepak
Sayap cintanya menjatuhkannya
Dan dia kini hanya seorang diri tenggelam dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya terombang-ambing dalam lautan lara
Dan dia kini hanya seorang diri membiarkan dirinya meneguk pedihnya cinta
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
'Aku harus mengeluarkan rasa ini !'
Dia mengambil kertas selanjutnya
Air matanya mulai menetes lagi
Tangannya diurungkannya menggoreskan kata
Dipandangnya ribuan kertas-kertas yang tak bermakna
Berserakan tanpa mempunyai cerita
Berserakan tanpa menyimpan makna
Berserakan tanpa menampung rasa nya
Rasa sakit sendiri tanpa makna bahkan tak bisa bercerita
'Sudahlah...'
'Sudahlah...'
Ia menatapku dan berbisik
'Aku akan membuat kertas yang mampu'

Siang dan malam ia bekerja
Siang dan malam ia mencari jalan
Seminggu telah berlalu ia pun tersenyum haru
Dan sejak itu setiap pagi menjelang ia nampak memintal benang
Hingga bulan berdendang
Hingga bintang-bintang senyum cemerlang
Lelah tak dirasa
Menyerah tak dikenal
Putus asa bukan namanya
Tapi cinta masih membuatnya merana
Tetes-tetes air matanya masih menetes
Tapi tak merusak benang-benangnya
Tapi tak merusak kertas-kertas baru yang jadi
Rupanya ia membuat kertas dari benang

Kertas ke seribu pun jadi
Ia kembali mencoba menuangkan rasa
Ia kembali meneteskan air mata
Ia kembali mengoreskan kata-kata
Puisinya jadi
Puisinya terselesaikan
Meskipun air matanya menganak sungai
Tintanya bertahan dan mengakar
Rasanya telah tertumpahkan
Meskipun matanya masih berlinang

No comments:

Post a Comment

Bahasa Merdu - Puisi Cinta

Bahasa Merdu - Pidato