Thursday, April 22, 2010

Cerita Cinta yang Lara (2) - Kubaca Puisiku

Tersenyum ia sejadi-jadinya
Senyuman dari dalam sanubari yang terluka
Senyuman yang mengkerut-kerutkan sejenak wajahnya
Senyuman bak air embun diterik matahari di jam 12
Luka hatinya sejenak segar
Luka hatinya sejenak terlupakan
Luka hatinya sejenak mengering
Tapi masih perih
Tapi matanya masih berlinang

Pemuda itu menatap, menengadah, dan menatap puisinya
Berulangkali menatapnya....berulangkali menarik nafas
Menyeka air matanya yang menggenang di sudut - sudut mata
Menyeka kesedihannya agar segera sirna
Berkurangkah ia...
Bebannya yang menggunung apakah menjadi pantai kelak?
Puisinya jawaban lukanya
Puisinya jawaban ragunya
Puisinya jawaban cintanya yang pedih
Ia tersenyum kembali
Dengan suara perlahan dan serak dibacanya puisi itu perlahan-lahan
Seperlahan datangnya harapan ke dalam jiwanya
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar bangkit
Yang berbisik pada telinga jiwanya agar hidup kembali

Merebahkan diri merasakan tanah
Mulutnya bergumam mengalahkan suara lebah
Membaca puisinya
Mengkerutkan tubuhnya seolah ingin lahir kembali
Atau ia terlalu rindu dengan rahim ibunya
Rahim yang ia tempati 25 tahun yang lalu
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya status anak
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberi kesempatan untuk berbakti
Rahim yang mengikat jiwanya dan memberinya cinta dari wanita tercantik di dunia
Wanita yang terlembut di dunia
Wanita yang terkuat di dunia
Yang memberi nama dirinya Soetrisno (cinta yang lebih baik)
Dan kini ia merasakan cinta itu
Cinta yang lebih baik dari miliknya
Dan kini ia mengerti perasaan ibunya itu
Ah... Soetrisno adalah nama yang indah

Ia pun bergumam kembali mengalahkan suara jangkrik
Dan ia pun meringkuk merasakan sensasi tulang-tulangnya
Merasakan semuanya dan membayangkan ibunya
Merasakan semuanya dan membayangkan ayahnya
Tiba-tiba ia merasa sangat bangga dengan dirinya
Dirinya adalah anak ayahnya dan ibunya
Mereka dua jiwa yang dicintainya
Mengingatkannya untuk bangkit
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cinta
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap harapan
Mengingatkannya untuk mengepakkan sayap cita-cita
Dan tiba-tiba ia tegar...
Tetapi cintanya masih pedih
Matanya sembab dan tergenang

Matahari pun masuk ke peraduan
Pemuda itu masih mengkerutkan tubuhnya di atas tanah lantai rumahnya
Ia membiarkan pipinya bertanah
Tanah yang setiap saat ia injak
Tanah yang setiap saat ia seka
Kini memberinya tanda di pipinya yang basah
Meskipun terasa ia membiarkannya
Ia membiarkan pipinya kotor
Ia juga membiarkan kesedihan menguasanya lagi
Ia juga membiarkan angan-angannya kotor
Kotor dengan ketakutan-ketakutan
Kotor dengan amarah yang berujung tapi tak berpangkal
Kotor dengan sumpah serapahnya
Kotor dengan untung rugi yang dibenaknya
Ia menatapku lembut
Ia berbisik pada ku di kejauhan
'Kenapa aku dulu baik padanya....'
Menatapku kembali, kemudian menatap bintang yang mulai genit bekerlip
Kemudian menatap bulan yang indah sendiri
Ah...dia belum mampu melawannya

Perlahan ia bangun
Dan bergumam membaca puisinya
Dan bergumam mencaci maki bulan
Dan bergumam mencaci maki bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ditujukan bulan dan bintang
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang pernah ia ucapkan
Mulutnya melontarkan kata-kata terkotor yang tak pernah layak kita dengarkan
Dan ia bergumam membaca puisinya
Dan ia bersuara keras membaca puisinya
Dan ia berteriak-teriak keras membaca puisinya
Di atas bukit yang dipenuhi edelweis
Dimana dirinya tinggal sendiri
Sendiri penuh luka
Sendiri dengan setitik sinar harapan
Tak peduli, terus berteriak
Tak peduli, terus mengusir lukanya
Akhirnya nafasnya tersengal-sengal
Tetapi ia tersenyum
Dan berkata padaku
'Kubaca puisiku, dan biarlah kulepas sedikit sedihku'
Ia tersenyum tetapi cintanya masih pedih

No comments:

Post a Comment

Bahasa Merdu - Puisi Cinta

Bahasa Merdu - Pidato